Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20 - Ritual (2)
Naina tidak dijelaskan apa-apa. Dia hanya dituntun menuju ke tengah-tengah hutan. Tepat di mana sebuah batu melayang di atas kubangan air berbentuk bulat.
“Berbaringlah di sana,” titah rusa raksasa tersebut.
Naina celingukan, menatap satu per satu wajah binatang berbulu putih yang berdiri di sampingnya. Perasaannya berubah jadi tidak enak, merasa ada hal yang aneh di sini.
“Ada apa? Itu tidak akan membuatmu mati hanya karena berbaring di sana,” ujar sang rusa, perlahan tubuhnya mengitari Naina.
Para binatang yang sebelumnya berada di sisi kanan dan kiri Naina, seketika menjauh. Tubuh rusa itu mengambil habis tempat untuk berjalan mondar-mandir, mengitari tubuh Naina.
Lantas kepalanya menunduk, mendekat pada telinga gadis itu untuk membisikkan sesuatu, “Ini adalah salah satu cara untuk membuatmu lepas dari jeratan pria buruk rupa yang selalu membuatmu berada dalam neraka.”
Mendengar bisikan itu Naina jadi merinding sebadan-badan. Matanya membulat sempurna, perlahan melirik dan menjatuhkan pandangannya pada rusa raksasa di depannya.
Naina menelan ludah susah payah. “Benarkah?”
Meski ada keraguan yang muncul dalam hati kecilnya, Naina tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Selama tinggal di kastil tua bersama dengan Tuan Minos, Naina jauh dari kata bahagia.
Dan jika dengan cara ini dirinya bisa terlepas dari pria yang pantas disebut monster itu, maka Naina tidak akan berpikir dua kali untuk menjalani ritual ini.
“Betul, Naina. Kami di sini untuk membantumu. Ini semua tidak kebetulan. Kau adalah manusia pilihan yang aku percaya untuk bisa mengemban tugas di sini,” balas rusa dengan nada yang terlampau lembut.
Keraguan pun sirna dari hati Naina. Tapi rasa penasaran muncul saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan rusa tersebut.
“Memangnya aku harus mengemban tugas apa nantinya?”
Rusa dengan mata teduh menyala langsung terkekeh. Gerakan kepalanya menatap ke sekeliling, membuat Naina ikut melihat-lihat.
“Setelah menjalani ritual, kau resmi bergabung jadi penduduk di sini. Kau akan tinggal di sini bersama kami, selamanya. Di tempat ini, kau akan mendapat kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah kau dapatkan. Tugasmu sederhana, kau hanya perlu setia mengabdi padaku. Sama seperti para binatang lainnya di sini.”
Dengan diberi penjelasan seperti itu, Naina pun langsung tersenyum sumringah. Kepalanya angguk-angguk setuju.
Langkahnya menjadi enteng kali ini. Terlihat semangat saat mendekati batu yang berada di tengah kubangan sana.
Ketika tubuh Naina sempurna berbaring di atas batu melayang tersebut, sesuai interupsi ia pun memejamkan mata. Entah apa yang dilakukan rusa tersebut, tapi Naina mendengar suara komat-kamit seperti sedang merapalkan mantra.
“Tenang saja. Kau hanya perlu rileks. Sebentar lagi kau pasti akan menemui suatu hal jawaban yang kau cari selama ini,” ucap kuda putih dari kejauhan.
Naina jadi tontonan. Satu per satu para penghuni hutan di sini mulai berdatangan. Berdiri, duduk, ataupun bertengger di atas dahan pohon hanya demi bisa melihat ritual yang akan dijalani oleh Naina.
Ritual tersebut amat sederhana. Tidak perlu menggunakan properti atau butuh persyaratan khusus. Cukup mantra yang dirapalkan oleh rusa yang menjadi Tetua di hutan tersebut.
“Mendadak kepalaku pusing sekali,” batin Naina dengan kening yang mengerut-ngerut.
Saat mencoba membuka mata, Naina justru tidak dapat melihat apa-apa. Seolah dirinya sudah berpindah ke alam lain, berada dalam ruangan gelap gulita yang entah apa maksudnya ini.
Naina mencoba untuk bangkit dari posisi baring, meraba-raba sekitar. Mulai berjalan seraya menggapai-gapai angin, menuju titik cahaya di depan sana yang semakin membesar saat didekati.
“Aku tidak tahu harus apa, tapi mungkin itu adalah jalan keluarnya,” gumam Naina sambil terus melangkah ke depan.
Saat sudah berada di ujung dan lingkaran cahaya sudah ada di depan mata, Naina memasukkan tangannya ke dalam sana. Memeriksa apakah aman untuk dimasuki atau tidak.
“Apa yang akan terjadi jika aku masuk ke dalam?” monolog Naina yang mulai bimbang.
Karena tidak tahu harus apa dan tidak mendapat petunjuk apapun di sini, Naina memutuskan untuk masuk ke sana meskipun tidak tahu apa yang akan ditemuinya nanti.
Silau dari cahaya di depannya, membuat Naina menutup matanya sesaat. Sampai tibalah di tempat baru, Naina mengerjap-ngerjap untuk beradaptasi dengan rangsangan cahaya yang menyorot.
Ketika pandangannya mengabsen sekeliling, Naina merasa tidak asing. Tempat yang dipijakinya mirip seperti kastil tua milik Tuan Minos, yang membedakan hanyalah kastil di sini seperti masih terawat.
Cat pada dinding kastil tersebut masih berwarna, dan banyak sekali tanaman-tanaman hias yang menempati halaman kastil. Namun atensi Naina teralihkan ketika telinganya sayup-sayup mendengar suara dari seseorang.
Kakinya reflek melangkah ke sumber suara, mulai memasuki area kastil. Suara tersebut menuntunnya pada halaman belakang kastil. Tawa senda gurau pun kian terdengar jelas.
“Gaun itu...” Naina buru-buru menutup mulutnya, takut terdengar oleh sepasang remaja yang sibuk mengobrol di depan sana.
Kakinya berlarian kecil menuju semak-semak. Mencoba bersembunyi agar kehadirannya tidak terendus.
Hal yang paling menarik perhatian adalah gadis itu memakai gaun merah menyala, mirip dengan gaun yang Naina coba kenakan beberapa hari lalu. Yang mana pada saat itu membuat Tuan Minos marah besar.
Selain itu, siapa pemuda yang tampak bahagia sekali di sana? Wajahnya begitu tampan, tapi lagi-lagi itu tidak asing bagi Naina. Dilihat dari warna mata pria itu, Naina jadi teringat seseorang.
“Mungkinkah dia...”
“Hei!”
Naina terperanjat kaget, pikirannya buuar seketika. Matanya melotot sempurna dengan mulut yang nyaris menjerit.
Belum sempat dirinya menoleh ke belakang, tiba-tiba saja tangannya ditarik hingga membuat tubuhnya berdiri dan langsung berhadapan dengan seseorang yang baru saja membuatnya kaget.
“Tempatmu bukan di sini! Kau tidak seharusnya ada di sini. Kau harus pergi dan kembali ke dunia asalmu,” ujarnya dengan raut serius.
Alih-alih mendengarkan apa yang dikatakan oleh perempuan di depannya, Naina justru terpaku pada parasnya. Bagaimana tidak, seseorang yang ada dihadapannya saat ini sama persis dengan gadis yang sedang bersenda gurau bersama pemuda di sana.
Bahkan pakaiannya pun sama persis. Sama-sama mengenakan gaun merah. Yang membedakan hanyalah usianya saja. Perempuan didepannya saat ini mungkin lebih tua sekitar beberapa tahun. Seperti ada dua versi dari dua orang yang sama di sini.
“Hei! Kau tidak mendengarkanku?” Tangan perempuan itu menggoyang-goyangkan kedua bahu Naina, membuatnya langsung mengerjap-ngerjap, tersadar.
“Ah, itu. Sebenarnya aku sedang—”
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, mendadak Naina ditarik paksa oleh sesuatu dari belakang. Membuat tubuhnya melayang dan tertarik jauh secepat kilat, meninggalkan perempuan yang menyuruhnya pergi tadi.
Naina seperti terseret ke lorong waktu, melewati ruangan hitam yang sebelumnya ia datangi dan langsung terlempar ke dunia tempat dirinya berasal.
Detik itu Naina langsung terbangun dengan kedua mata yang terbuka. Melihat beberapa binatang yang berdiri mengerumuninya, sementara rusa raksasa yang membawanya pada ritual ini tengah terduduk lesu seperti sedang kesakitan.
“Ki-kita ... tidak bisa melanjutkan ritual ini sekarang,” ujar sang rusa dengan napas yang ngap-ngapan.
Naina segera merubah posisi, duduk menghadap rusa tersebut. “Ada apa? Tadi aku seperti terlempar ke dunia lain. Dan samar-samar, aku merasa itu seperti ingatanku dalam mimpi. Aku melihat dua orang remaja yang rasanya pernah muncul di mimpiku. Di sana aku bisa melihat mereka secara jelas. Dan aku—”
“Cukup!” teriak rusa tersebut, membuat suasana menjadi tegang. “Itu adalah cara yang dilakukan oleh pria buruk rupa tersebut agar kau tetap berada dalam jeratannya!”
Naina menelan ludah setelah tidak lagi melihat tatapan teduh dari rusa itu. “La-lalu, aku harus apa sekarang?”
“Satu-satunya cara adalah dengan kau mengambil beberapa helai rambut miliknya. Lalu kau bisa berikan rambut itu padaku. Dengan begitu, aku bisa melepaskan ikatan kalian,” jawab rusa tersebut sambil memasang tatapan penuh arti.
Seperti menaruh harapan agar Naina mampu berhasil membawakan rambut milik Tuan Minos padanya.
“Apa tidak ada cara lain?” tanya Naina dengan ekspresi menahan takut, sudah bisa membayangkan bahwa itu hal yang bisa dikatakan mustahil baginya.
“Tidak ada. Hanya itu. Lakukan apa saja agar kau bisa mendapatkan rambutnya. Dan asal kau tahu, pria buruk rupa itu bisa berubah wujud. Dalam wujud yang berbeda, kau bisa mengambil rambut miliknya,” papar sang rusa yang membuat lawan bicaranya mengerutkan dahi kebingungan.
“Berubah wujud?”
Naina jadi penasaran. Apakah wujud berbeda yang dimaksud akan lebih menakutkan atau justru suatu hal baru yang akan dilihat Naina nantinya?
Sambil memasang senyum penuh maksud, rusa itu menjawab, “Kau bisa melihat wujud itu ketika dia sudah berendam dengan air mawar biru. Kalau kau tidak percaya, silakan buktikan sendiri.”
***