Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.
Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.
Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gudangnya Mafia.
Pagi ini, kabar berita terdengar dari blok bawah, mengabarkan berita baku hantam yang terjadi semalam. Ini bukan kali pertamanya kami mendengarkan berita kematian. Meski kami belum genap satu bulan di blok atas, sektor dua ini.
Di sela-sela kicau burung yang berterbangan. "Apakah kalian semua sudah mendengar berita hari ini," ucapnya Tamping kunci.
Kami yang berada di dalam sel tahanan mengiyakan.
"Begitulah nasibnya narapidana yang nggak mau dibina." Menakut-nakuti kami.
Sejurus kemudian, Tamping dapur datang membagikan makan. Tidak butuh waktu lama, makan yang baru dibagikan langsung habis bersih. Hanya menyisakan ompreng dekil, wadah tempat nasi.
"Aku butuh sepuluh orang!" serunya Tamping kunci pada kami. "Membersihkan rumput di halaman belakang tahanan," suruhnya.
Aku, Tegar dan delapan orang lainnya mengikuti Tamping kunci menuju ke halaman belakang tahanan.
Hangat sinar mentari pagi menyapa, embun-embun masih menggelantung di rerumputan yang terinjak, kami bermain-main di atasnya sembari memperhatikan blok bawah dari belakang tahanan blok atas.
Antara blok atas dan blok bawah hanya tersekat oleh pagar besi panjang dan tinggi. Nampak pepohonan rindang di sana. Rumah-rumah persegi empat berdempetan memanjang, berbaris saling berhadap-hadapan membentuk pola huruf U. Diantara dua huruf U terdapat lapangan sepak bola, juga sebuah warung makan, warung telepon umum, dan ada pula dua tempat ibadah besar. Masjid dan gereja. Suasananya hiruk. Namun, terisolir seperti perkampungan di dalam aquarium.
"Nanti kalau kalian sudah selesai sidang, di sanalah kalian akan tinggal," berkata Tamping kunci seraya menuding.
"Enak juga yah, di sana, bisa jalan-jalan. Nggak kayak di sini, terkurung dua puluh empat jam di dalam ruangan," celetuk Tegar.
"Enak bagi yang punya uang." Menghisap rokok.
Aku dan yang lainnya masih memotong rumput.
Tamping kunci menghembuskan asap rokok. "Kalau di sana, kalian nggak punya uang, sama saja kayak di sini. Bedanya di sini, aku yang mengurung kalian, kalau di sana, kalian yang akan mengurung diri kalian sendiri. Karena nggak punya uang." Tertawa. "Biaya hidup di blok bawah sangat mahal, masih mending kalian di blok atas," imbuhnya Tamping kunci.
"Raka!" seru Tegar.
"Tenang saja," celetukku lirih pada Tegar.
"Selain biaya hidup di blok bawah mahal, di sana juga keras. Lebih keras dari blok atas. Kalian sudah sering dengar, kan?" ungkapnya Tamping kunci pada kami.
"Kenapa bisa seperti itu? Masalahnya apa?" tanya Supri pada Tamping kunci.
"Nanti kamu tahu sendiri," sahut Tamping kunci.
Aku hanya menyimak sambil perlahan-lahan memotongi rumput liar yang menjulang tak beraturan.
Tamping kunci yang sedari tadi hanya meneduh di samping tembok tahanan, kembali bersuara. "Ayo, buruan ... selesaikan. Sebentar lagi jam dua belas." Melirik ke langit.
Aku, Tegar dan delapan orang lainnya. Masih menikmati waktu kami di luar ruangan sel tahanan. Pekerjaan memotong rumput, sengaja kami perlambat.
Gema adzan dhuhur terdengar syahdu dari blok bawah. Satu - dua orang melangkahkan kaki memasuki masjid, dan beberapa yang lainnya lagi masih berhamburan. Ada yang masuk ke dalam komplek, ada yang duduk di lapangan, warung, dan ada juga yang tiduran di bawah pohon besar, hanya beralaskan tanah dan berbantal sebelah lengannya.
"Ayo - ayo, buruan masuk!" seru Tamping kunci menghentikan pekerjaan kami. "Nanti bisa di lanjutkan lagi, lain waktu," pungkasnya Tamping kunci.
Kami menyudahi pekerjaan hari ini. Berjalan Perlahan-lahan menuju ruangan sel tahanan sembari berbicara tentang hal-hal yang sudah terjadi.
Tegar berkata. "Ngeri juga, di blok bawah."
"Jangan takut bayangan, apa yang dikatakan tamping kunci, belum tentu benar," sahutku pada mereka.
"Buktinya, kita di sini, sudah tiga kali mendengarkan berita kematian," ucapnya Tegar.
Aryanto menyambungi. "Iya betul, satu minggu satu kali. Kira-kira persoalan apa yang terjadi di sana, yah?"
"Bisa jadi, perebutan wilayah. Atau mungkin gara-gara cekcok beda pendapat dan akhirnya terjadi baku hantam." Supri menebak-nebak.
"Yang pasti, di sana, ada pembayaran iuran yang lebih besar daripada di sini. Jelas, si korban nggak bisa bayar uang tersebut. Jadi, ia mendapatkan siksa, sampai akhirnya mati." Tegar mengkait-kaitkan apa yang sudah pernah didengar dan menjadikannya sebagai pembenaran.
"Kamu kok, bisa seyakin itu," celetuk Aryanto pada Tegar.
Tegar menyahuti dengan cepat. "Iya, kan, kalian sudah dengar sendiri dari tamping kunci. Biaya hidup di blok bawah mahal dan keras."
"Ayo masuk!" seru Tamping kunci yang sudah menunggu kami di depan pintu sel tahanan.
"Sabar sebentar kenapa?" sahut Tegar pada Tamping kunci.
Tidak lama, setelah kami masuk ke dalam sel tahanan. Tamping dapur datang seperti biasanya, membagikan makanan yang kedua. Setiap hari mereka datang tiga kali. Pekerjaannya mereka hanya memasak dan bergantian mengantarkan makanan kepada seluruh para tahanan, juga kepada seluruh narapidana yang berada di blok bawah.
Siapa saja, bisa mendaftarkan diri sebagai tamping dapur. Tetapi, setelah putus dari sidang atau sudah mendapatkan vonis dari pengadilan. Biasanya para narapidana yang menjadi tamping dapur, masa hukumannya akan dikurangi sesuai peraturan yang ada. Lain lagi dengan tamping kunci. Tidak semua narapidana bisa mendaftarkan diri menjadi tamping kunci. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menjadi tamping kunci. Secara prosedur untuk menjadi tamping kunci ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Masa tahanan paling rendah tiga tahun, sudah menjalani satu per tiga masa tahanan, tidak pernah melanggar tata tertib, berbakat, juga berjiwa sosial. Iya, prosedurnya sangat indah dan baik. Namun, realitanya berkata lain, untuk menjadi tamping kunci, narapidana harus berani membayar mahal pada ketua petugas blok tertentu. Dan masih banyak hal lain yang telah dijadikan komoditas oleh mereka yang berkuasa. Baik di dunia luar, maupun di dunia balik tembok, tak jauh berbeda. Aku, dia dan mereka, tak berguna kalau tidak diukur dengan angka.
"Raka, apakah kamu sudah mempersiapkan semuanya untuk besok pagi?" tanyanya Aryanto.
"Sudah," jawabku datar.
"Kita akan pergi jalan-jalan lagi, yah." Tegar menyeringai.
Supri meluruskan. "Sidang ... ."
"Sama saja," celetuk Tegar.
"Aku nggak mau, kejadian seperti kemarin terulang lagi," celetukku di sela obrolan mereka. "Aku harap, kalian bisa mengontrol diri kalian masing-masing. Apapun yang terjadi di persidangan besok pagi. Aku mohon, bersikaplah dewasa. Jangan sampai pikiran kalian mengacaukan rencana yang sudah berjalan dan disepakati bersama. Mulai sekarang, kita harus belajar menjadi satu, senasib sepenanggungan. Kalau kita sudah terbiasa kompak, kita nggak akan di remehkan oleh siapapun. Dan di manapun kita berada, nggak akan ada yang berani mengacam kita," tegasku pada mereka.
"Setuju ... " ucap Supri di susul yang lainnya mengikuti.
"Siap perintah!" serunya Aryanto.
"Oke, bisa diatur," pungkasnya Tegar.
karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
😅😅