Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Teka teki masa lalu.
Entah berapa jam Bang Ratanca dan Dinar tertidur. Saat bangun, makanan sudah terhidang di meja makan dan Kung sedang asyik memangkas rumput di halaman belakang rumah Bang Ratanca.
Bang Ratanca bangun lebih dulu dan melihat belakang rumah sudah bersih dan rapi.
"Kenapa di pangkas rumput di luar pagar, Kung. Halaman belakang rumahku hanya sampai sebatas pagar saja." Tegur Bang Ratanca.
"Daripada ada ular, lagi pula ada ibu hamil. Biar rumahnya sekalian bersih." Jawab Mbah Kakung yang memang tidak bisa diam dan selalu mencari kesibukan sekecil apapun.
"Jangan bilang sebentar lagi kung mau berkebun." Tebak Bang Ratanca sudah mencemaskan Akungnya.
"Daripada nganggur lahan seluas ini. Kasihan bumil." Lagi-lagi Mbah Kakung membawa bumil dalam hobbynya.
Bang Ratanca membuang nafas berat. Rasanya percuma berdebat dengan Mbah Kakung. Ia pun segera mengambil parang untuk membantu Mbah Kakung.
Mbah Kakung melihat cucunya begitu rajin, anak yang dulu ia rawat kini sudah menjadi pria gagah. Anak yang tersia-siakan karena pernikahan kedua membuat seorang Ratanca sempat menjadi pribadi yang buruk bahkan mungkin terburuk dan paling buruk dari tumpukan sampah busuk. Namun akhirnya sang cucu kembali kepada jalan yang benar.
"Apa Dinar tau soal Airin?" Tanya Mbah Kakung.
Sontak Bang Ratanca terperanjat dan meminta Mbah Kakung untuk diam.
"Tolong kecilkan suaranya Mbah. Jangan sebut nama Airin..!!" Pinta Bang Ratanca cemas, seketika hatinya gelisah. Kakinya gemetar mengingat sosok Airin.
"Jangan secemas itu. Semua akan baik-baik saja. Nawang sudah sekolah, dia sering bertanya tentangmu.. tentang Papanya." Jawab Mbah Kakung.
Parang di tangan Bang Ratanca terjatuh. Bang Ratanca terduduk lemas.
"Rancaaa.. jangan selemah ini Ngger..!! Kita jelaskan pelan-pelan. Insya Allah Dinar tidak akan marah, tidak akan ada apa-apa. Ada bukti kuat untuk mematahkan semuanya. Tapi kau harus jujur siapa.........." Kata Mbah Kakung.
"Saya tau Kung. Tapi kondisi Dinar sedang hamil. Saya tidak mau mental anak dan istri saya terganggu. Tolong, Kung..!! Beri saya waktu..!!" Pinta Bang Ratanca.
//
Pak Navec duduk seakan kehabisan tenaga mendengar panggilan telepon dari seniornya.. Pak Farial.
"Saya kecolongan, saya benar-benar kecolongan dan tidak melihat lebih detail tentang silsilah keluarga Ranca. Ranca berpotensi menghancurkan keluarga saya, Bang" Jawab Pak Navec.
"Coba kau awasi sekali lagi..!!" Kata Pak Farial di seberang sana.
"Siap, Bang..!! Terima kasih infonya..!!" Panda
...
Malam ini Mbah Kakung tidak sengaja bertemu dengan Bang Langkit setelah sekian lama beliau tidak bertemu dengan sahabat dari cucunya tersebut.
Bukan main kagetnya hati Bang Langkit, ia pun langsung menyalami Mbah Kakung.
"Assalamu'alaikum, selamat malam Kung..!! Kapan datang??" Sapa Bang Langkit.
"Tadi pagi jam sepuluh, tidak di buka kan pintu juga sama si Ranca." Jawab Mbah Kung masih tenang setengah mengadu.
"Apa kabar Nawang, Kung." Tanya Bang Langkit penasaran.
"Anakmu sehat, sudah sekolah." Jawab Mbah Kakung.
"Kalau.. Airin??"
"Tidak berubah. Masih sama seperti yang dulu." Mbah Kakung menatap kedua bola mata Bang Langkit sampai akhirnya Dinar keluar membawa nampan berisi kopi dan camilan.
"Kung.. ini tehnya. Di letakan dimana?" Tanya Dinar kemudian tidak sengaja bertemu wajah dengan Bang Langkit. "Lho.. Ada Om Langkit?? Dinar panggilkan Om Ran dulu ya..!!" Dinar mengalihkan pandangan dan segera masuk ke dalam rumah.
"Kenapa nampannya di bawa masuk lagi?" Bang Ratanca tersenyum kemudian mengambil alih nampan di tangan Dinar kemudian mengecup keningnya. "Tolong buat kopi dua lagi..!! Terima kasih, Dinar sayang..!!"
Dinar membalas senyum kemudian segera kembali ke dapur menemani Mbah putri.
Raut wajah Bang Ratanca beralih pada mode serius lalu melangkah menuju teras depan rumah.
~
"Nawang sudah besar. Kung tau kalian sudah punya kehidupan masing-masing, terutama langkit yang akan menikah besok pagi. Kung sudah ingatkan untuk kalian agar setidaknya tidak melupakan Nawang dan Airin." Kata Mbah Kung.
Tiba-tiba Dinar membawa nampan dan Bang Ratanca segera menyambutnya.
"Kopi Om Ran, hitam dengan sedikit gula. Yang ini..!!" Dinar mengangsurkan kopi tersebut dengan tangan gemetar.
"Aduuuhh.. bumil sampai gemetar." Kung pun membuang nafas berat. "Kung heran.. Dinar sudah jadi istri Ranca, kenapa masih panggil Om Ran. Panggil 'Akang' juga bisa to ndhuk. Jangan lupakan trah suamimu..!!" Tegur Mbah Kakung.
"Iya, Kung."
"Adek masuk, ini urusan laki-laki..!! Tunggu Om Ran di kamar..!!" Kata Bang Ratanca mengarahkan.
"Ini lagi, suami nggak jelas. Istrinya itu di ajarin to Ngger, biar enak di dengar..!! Telinganya Kung sampai gatal." Suara Mbah Kakung meninggi karena terlalu gemas.
Dinar tak menjawabnya dan langsung masuk ke dalam rumah.
Setelah memastikan Dinar tidak terlihat lagi, ketiga pria kembali pada mode serius.
"Bagaimana ini Kung?? Besok aku akan menikah dengan Nada, wanita yang kucintai." Bang Langkit mulai menampakan kecemasannya.
Mbah kung menyeruput kopi hitamnya lalu melirik tajam ke arah wajah Bang Langkit.
"Bukan Dinar?? Usia Kung boleh tua, tapi dia bola mata ini, juga mata hati tidak bisa di bohongi. Ada hatimu untuk Dinar..!!" Kata Mbah Kakung.
Seketika Bang Ratanca bereaksi tapi Mbah Kakung menahannya.
"Cukup Ngger, jangan mudah tersulut emosi..!!!!" Tegur Mbah Kakung.
"Bagaimana aku tidak emosi kalau istriku di lirik laki-laki lain?????? Aku sudah merasa ada yang tidak beres dengan pandangan matanya." Jawab Bang Ratanca, darahnya seakan langsung mendidih. Ternyata dugaannya selama ini tidak meleset.
Bang Langkit membuang nafas berat, matanya berkaca-kaca tak sanggup menjawab perkataan Mbah Kakung.
"Kau hutang penjelasan padaku..!!" Tatapan mata Bang Ratanca begitu tajam menusuk sahabatnya.
.
.
.
.