Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Awal Menuju Puncak.
Di lembah yang dikelilingi gunung-gunung terjal, terdapat sebuah desa kecil bernama Lintasan. Desa ini dikelilingi kabut tebal, seolah-olah kabut itu adalah pelindung alam dari apa yang tersembunyi di balik pegunungan. Orang-orang di desa itu hidup dengan tenang, namun di balik ketenangan itu tersimpan banyak misteri, salah satunya adalah Gunung Puncak Angin. Bagi penduduk desa, puncak gunung tersebut adalah tujuan yang tak tersentuh. Setiap orang yang pernah mencoba mendaki, entah kembali dengan ketakutan atau tak pernah kembali sama sekali.
Farhan, seorang pemuda dengan jiwa petualang, selalu merasa gelisah saat memandangi puncak gunung dari kejauhan. Ia tumbuh dengan cerita-cerita seram tentang gunung itu, tapi baginya, setiap cerita justru menjadi tantangan. Farhan ingin membuktikan bahwa puncak tersebut bisa ditaklukkan, dan ia yakin dirinya adalah orang yang bisa melakukannya.
"Farhan, jangan gegabah. Gunung itu berbeda. Kita bukan berbicara soal mendaki biasa," kata Arya, sahabatnya sejak kecil. Mereka sedang duduk di tepi desa, memandang ke arah gunung yang menjulang tinggi.
"Tidak ada yang berbeda. Semua hanya soal tekad dan persiapan," jawab Farhan dengan suara tegas, meski dalam hatinya ada sedikit keraguan yang ia coba abaikan.
"Tapi kau tahu, orang-orang yang berpengalaman pun tak bisa mencapai puncaknya. Bahkan beberapa dari mereka hilang. Kau tak takut?" Arya melanjutkan, raut wajahnya jelas memperlihatkan kekhawatiran.
Farhan terdiam sejenak. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak hal yang tidak dapat dijelaskan tentang gunung itu. Tapi rasa penasaran dan ambisinya untuk menjadi yang pertama menaklukkan puncak itu lebih besar daripada rasa takutnya.
"Aku harus mencoba, Arya. Jika tidak, aku akan menyesal seumur hidup," kata Farhan akhirnya.
Arya mendesah panjang. Ia tahu betul bagaimana keras kepala sahabatnya itu. Farhan selalu merasa tertantang ketika diberitahu bahwa sesuatu itu mustahil.
"Baiklah, tapi aku ikut. Aku tak akan membiarkanmu mendaki gunung itu sendirian."
Farhan tersenyum tipis. Ia tahu Arya mungkin tidak menyukai ide ini, tetapi ia bersyukur memiliki teman yang setia.
---
Persiapan dimulai. Farhan dan Arya mengumpulkan segala peralatan yang mereka butuhkan untuk pendakian. Mulai dari tenda, makanan, sampai perlengkapan keselamatan. Malam sebelum keberangkatan, mereka berkumpul bersama di rumah Arya. Mereka menyusun rencana matang untuk perjalanan yang akan mereka tempuh esok.
“Kita mulai saat fajar. Jalur awal sepertinya mudah, tapi setelah zona hutan, kita akan menghadapi medan yang lebih sulit,” jelas Farhan sambil menunjukkan peta usang yang ia dapat dari orang tua di desa.
“Dan setelah hutan?” tanya Arya dengan nada cemas.
Farhan menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Tak ada yang tahu, Arya. Di sanalah petualangan sebenarnya dimulai.”
---
Pagi itu, mereka berdua memulai perjalanan. Langkah pertama yang mereka ambil terasa ringan, dengan semangat menggebu. Mereka melewati hutan lebat, dengan pepohonan tinggi yang menjulang seperti tiang-tiang raksasa. Sesekali, suara burung-burung liar dan gemerisik dedaunan menjadi pengiring perjalanan mereka.
Namun, seiring waktu, jalur semakin sulit. Semakin tinggi mereka mendaki, semakin tipis udara yang bisa mereka hirup. Rasa lelah mulai menyerang, tapi mereka terus melangkah. Setelah seharian berjalan, mereka tiba di sebuah dataran kecil di tengah gunung. Mereka memutuskan untuk mendirikan tenda di sana dan beristirahat.
“Aku tak menyangka akan seberat ini,” Arya mengeluh sambil berbaring di dalam tenda. Wajahnya dipenuhi keringat, meskipun udara di sekitarnya sudah mulai dingin.
“Ini baru awal,” balas Farhan yang duduk di luar tenda, menatap ke arah jalur berikutnya. Matanya tajam, seolah sedang menimbang-nimbang tantangan yang akan mereka hadapi.
“Tapi lihat ke sana,” Arya menunjuk ke arah bawah gunung. “Dari sini, kita bisa melihat desa, rumah-rumah kecil itu terlihat seperti titik-titik kecil di tengah alam yang luas. Rasanya seperti kita sudah jauh sekali.”
Farhan menoleh dan tersenyum. “Kita memang sudah jauh. Tapi perjalanan sebenarnya baru dimulai.”
---
Malam itu, suara angin menderu keras di sekitar mereka. Farhan terbangun di tengah malam ketika ia mendengar suara gemeretak yang tidak biasa. Ia keluar dari tenda dan menemukan batu-batu kecil berjatuhan dari atas.
“Ini bukan pertanda baik,” pikirnya.
Ketika ia hendak membangunkan Arya, tiba-tiba sebuah bayangan besar melintas di depan mereka. Sosok itu bergerak cepat di antara pepohonan, suaranya hampir tak terdengar, hanya seperti desiran angin.
“Arya! Bangun!” Farhan berbisik keras, mengguncang tubuh sahabatnya yang tertidur lelap. Arya terbangun dengan wajah bingung.
“Ada apa? Apa yang terjadi?”
“Ada sesuatu di luar sana,” jawab Farhan, matanya masih mengarah ke tempat bayangan itu bergerak. “Aku tidak tahu apa itu, tapi kita harus berhati-hati.”
Mereka duduk di dalam tenda, mencoba menenangkan diri. Rasa takut yang mulai muncul tidak bisa disangkal. Sesuatu sedang mengintai mereka, dan meskipun mereka tidak tahu pasti apa itu, intuisi mereka mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah hewan biasa.
---
Pagi harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Namun, ada perasaan berat yang terus membayangi mereka. Langkah-langkah mereka terasa lebih lambat, seolah-olah ada yang mencoba menarik mereka mundur.
Saat mencapai ketinggian tertentu, kabut tebal mulai menyelimuti jalur mereka. Pandangan menjadi sangat terbatas, membuat mereka harus lebih berhati-hati dengan setiap langkah.
“Ini pasti bagian paling berbahaya,” kata Farhan. “Kabut seperti ini bisa membuat kita tersesat.”
“Apa kita harus melanjutkan?” tanya Arya, kali ini lebih ragu. “Mungkin ini peringatan, Farhan. Mungkin kita harus mundur.”
Farhan berhenti sejenak, berpikir keras. Mundur bukanlah pilihan yang ia pertimbangkan, tetapi ia juga harus memperhitungkan keselamatan mereka. Namun, rasa penasaran yang membara di dalam dirinya terus mendorongnya untuk maju.
“Kita lanjut. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.”
Dengan tekad yang bulat, mereka melanjutkan perjalanan. Namun, semakin tinggi mereka mendaki, semakin terasa bahwa sesuatu sedang mengawasi mereka. Setiap kali mereka berhenti, ada suara samar di kejauhan, seperti napas berat yang terdengar dari balik kabut.
Tiba-tiba, kabut di depan mereka terbuka, memperlihatkan jurang yang dalam di sisi jalur. Mereka tertegun, nyaris tergelincir karena kehilangan keseimbangan.
“Ini gila!” teriak Arya. “Kita bisa mati di sini!”
“Tetap tenang, kita hampir sampai,” Farhan berusaha menenangkan Arya meski dalam hatinya juga ada kecemasan yang sama.
---
Malam terakhir sebelum mencapai puncak adalah malam terberat. Di dalam tenda, suara-suara aneh terus menghantui mereka. Angin membawa bisikan-bisikan yang tidak bisa mereka pahami, seolah ada banyak suara yang berbicara bersamaan.
“Apa kau dengar itu?” bisik Arya dengan wajah pucat.
Farhan mengangguk, jantungnya berdegup kencang. “Kita tak boleh mundur sekarang. Kita sudah terlalu dekat.”
Dengan sisa tenaga yang mereka miliki, mereka bangun pagi-pagi sekali dan melanjutkan perjalanan. Puncak sudah di depan mata, namun jalur yang mereka hadapi menjadi semakin tak terduga. Batu-batu besar dan tebing curam menghalangi langkah mereka. Tubuh mereka mulai terasa lelah, tapi semangat untuk mencapai puncak tetap ada.
Saat akhirnya mereka mencapai puncak, pemandangan di depan mereka begitu luar biasa. Langit terbuka dengan matahari yang terbit perlahan, dan kabut yang menutupi lembah di bawah mereka mulai terurai. Namun, di tengah keindahan itu, ada sesuatu yang membuat bulu kuduk mereka merinding. Di puncak itu, berdiri sebuah batu besar dengan ukiran-ukiran kuno yang tidak bisa mereka pahami.
Farhan mendekat, dan saat tangannya menyentuh batu itu, tiba-tiba angin kencang berhembus, membawa bisikan-bisikan yang lebih jelas.
"Kalian telah sampai, tapi ini baru permulaan," suara itu terdengar, bukan dari arah angin, tapi dari dalam kepala mereka.
Farhan dan Arya saling berpandangan, wajah mereka pucat pasi. Puncak yang mereka daki bukanlah akhir.