Tian Guo, ahli bela diri terkuat di Daratan Zhuyun yang dihormati sebagai pemimpin Istana Surgawi, menghadapi penderitaan terbesar dalam hidupnya ketika kekasihnya, Xie Mei, dan Ketua Sekte Naga Suci mengkhianatinya saat dia berusaha naik ke Alam Immortal. Dihancurkan oleh pengkhianatan yang tak terduga, Tian Guo hampir lenyap dalam petir kesengsaraan.
Namun, takdir berkehendak lain. Seratus tahun kemudian, jiwa Tian Guo reinkarnasi ke dalam tubuh seorang bocah bernama Tang Wuying. Dengan kesempatan kedua ini dari surga, Tian Guo bersumpah untuk membalaskan dendamnya. Memanfaatkan pengetahuan dan kekuatannya yang luar biasa, dia kembali menapaki jalan bela diri yang terjal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Van_Liev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21 - Hadiah Pertemanan
Setelah barang terakhir terjual, pelelangan akhirnya berakhir. Manager Li menuntun Wuying menuju sebuah ruangan untuk menyelesaikan urusan administrasi. Ruangan itu sangat luas dengan dinding yang dilapisi kayu mahal. Aroma teh yang harum menguar dengan kuat begitu mereka memasuki ruangan itu. Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit menambah kesan mewah ruangan itu.
Wuying melihat Feng Ruo Lan sudah duduk di salah satu kursi yang dihadapannya tersedia dua cangkir dan sebuah teko. Wanita itu tersenyum sambil mempersilakan Wuying untuk duduk.
"Selamat malam, Tuan. Saya harap anda puas dengan hasil pelelang hari ini," ucap Feng Ruo Lan begitu Wuying duduk dihadapannya.
"Tentu, saya sangat puas dengan hasilnya. Semua ini juga berkat keahlian Nona Feng dalam memimpin lelang. Saya sangat terkesan." Wuying tersenyum dibalik topengnya.
"Tuan terlalu memuji."
Feng Ruo Lan lalu menuangkan teh ke dalam cangkir milik Wuying. Setelah cangkir itu terisi penuh, dia memberi gestur kepada Wuying untuk menyicipinya. Wuying mengangkat cangkir itu lalu menyesapnya. Aroma melati yang kuat langsung memenuhi tenggorokannya.
Sambil meminum teh, mereka berbasa-basi sejenak dengan mengulas beberapa hal tentang pelelangan hari ini. Setelah beberapa saat, Feng Ruo Lan memberi isyarat kepada Manager Li. Pria tua itu lantas mengeluarkan sebuah gulungan transaksi dan menyerahkannya kepada Feng Ruo Lan.
"Teknik-teknik yang anda lelang sungguh luar biasa. Saya jadi penasaran dari mana anda mendapatkan mereka," ucap Feng Ruo Lan sambil tersenyum manis.
Wuying mengerti tujuan wanita di depannya ini. Dia sedang mencoba menggali identitasnya, namun dia bukanlah orang yang mudah.
"Ini adalah rahasia saya. Saya sarankan anda tidak mencari tahu lebih jauh," ucap Wuying dengan tatapan tajamnya.
Feng Ruo Lan tertegun. Wanita itu merasakan tekanan yang kuat dari tatapan Wuying. Dalam momen itu dia memutuskan, orang ini tidak boleh diganggu. "Saya melewati batas. Saya harap tuan bisa memaafkan sikap saya barusan."
Wuying tidak membalas dan kembali menyesap tehnya. Suasana diantara mereka menjadi sangat canggung. Merasa sudah banyak waktu berlalu, Wuying meletakkan cangkir tehnya lalu berkata, "Saya harus segera kembali."
"Ah, benar. Maafkan saya."
Feng Ruo Lan lalu menyapu udara dengan tangannya dan sebuah kartu emas dengan ukiran lambang Menara Langit muncul diatas permukaan tangannya. Dengan sopan, dia menyerahkan kartu itu kepada Wuying.
"Kartu ini berisi pembayaran untuk teknik-teknik yang anda lelang," ucap Feng Ruo Lan.
Wuying menatap kartu yang disodorkan oleh Feng Ruo Lan. "Potonglah pembayaran ini untuk Bunga Matahari Surga yang sebelumnya saya beli," kata Wuying.
"Tidak perlu, Tuan. Anggap saja bunga itu sebagai tanda pertemanan dari kami," ucap Feng Ruo Lan seraya menggelengkan kepalanya.
Wuying tersenyum tipis dibalik topengnya. Wanita ini sangat cerdik, pantas saja diusianya yang masih mudah sudah diberi kepercayaan untuk memegang Serikat Dagang Fenghua.
"Terima kasih atas kemurahan hati Anda, Nona Feng. Saya harus pergi sekarang, ada urusan yang harus diselesaikan."
Wuying bangkit dari duduknya dan dengan langkah tenang berjalan menuju pintu. Tetapi sebelum mencapai pintu, perkataan Feng Ruo Lan menghentikan langkahnya.
"Tuan, apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Anda terasa sedikit akrab ...."
"Saya tidak ingat pernah bertemu dengan anda, Nona Feng," kata Wuyung tanpa menoleh. Dia lalu melanjutkan langkahnya yang tertunda.
.
.
Wuying berjalan menyusuri jalanan Kota Yan yang sudah sepi. Malam telah larut dan hanya sedikit orang yang masih berkeliaran. Udara malam ini sedikit dingin dan angin malam bertiup pelan menggoyangkan daun-daun di sepanjang jalan yang dilewatinya. Wuying bisa merasakan seseorang mengikutinya sejak dia meninggalkan Menara Langit. Alih-alih panik, dia dengan tenang membelok ke sebuah gang yang gelap dan sunyi.
"Aku tahu kau ada disana, keluarlah."
Dari balik bayang-bayang, seorang pria dengan pakaian serba hitam muncul. Sebagian wajahnya tertutup kain.
"Serahkan semua hartamu dan Bunga Matahari Surga!" kata pria itu sambil mengacungkan sebuah pedang kehadapan Wuying.
"Kau dikirim oleh Wen Liang, kan?" ucap Wuying dengan tenang.
"Aku tak punya waktu untuk bicara. Serahkan bunga itu atau kau akan menyesal!" bentak pria itu.
"Ingin merebut barangku? Cobalah kalau kau mampu," tantang Wuying dengan senyuman remehnya.
Pria itu tersulut emosinya dan dengan cepat langsung menyerang Wuying dengan pedang tajamnya. Wuying dengan mudah menangkap pedang yang diarahkan kepadanya dengan dua jarinya, membuat pria itu terbelalak.
"Bagaimana mungkin!" seru Pria itu.
"Hmph, terlalu mudah."
Crak!
Dengan hanya dua jarinya, Wuying menghancurkan pedang itu menjadi berkeping-keping. Pria itu mundur beberapa langkah dengan tatapan tidak percaya.
"Pedangku ...."
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Wuying langsung melayangkan tinjunya yang dipenuhi qi dan menghantamnya tepat di wajah pria itu. Dia tidak memberinya waktu untuk meratapi pedangnya ataupun waktu untuk menyerang kembali. Serangan bertubi-tubi itu membuat wajah pria itu bengkak dimana-mana dan langsung jatuh tersungkur di tanah.
"Ti-tidak mungkin ...." racau pria itu dengan suara lemah.
Wuying menatap pria itu dengan remeh lalu berbalik dengan kedua tangan berada terlipat dibelakang punggung.
"Katakan kepada Wen Liang, suatu hari aku pasti akan membalasnya."
...-...