Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Sheina Elviana
Nampak beberapa mahasiswi memperhatikan Alfi yang sedang mendribble bola. Usai mencetak three point shot tiga kali berturut-turut melawan satu mahasiswa dari UKM basket, ia pun meminta istirahat.
"Assalamu'alaikum mas Alfi", seorang perempuan berhijab syar'i menghampiri Alfi yang tengah istirahat di bawah pohon.
"Wa'alaikum..", ucap Alfi terhenti saat menoleh ke arah suara perempuan yang menyapanya. Mata Alfi tak berkedip menatap wajah perempuan berwajah oval berhidung mancung, berdarah campuran Syiria itu.
"El vi?", Alfi terbata. Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum. Ia berdiri satu meter dari Alfi.
"Bagaimana kabar kamu?", Sheina Elviana, adik sepupu Alfi, keturunan seorang pria Yahudi asal Suriah yang telah berislam.
"Aku, baik. Bagaimana kabarmu dan paman bibi?", sahut Alfi seraya berdiri, menatap wajah Elviana.
"Bisa kah kita makan siang bersama atau sekedar ke cafe untuk berbincang?", tawar Elviana.
"Oh, tentu. Ayo ke kantin", ajak Alfi, lantas berjalan mendahului ke arah kantin fakultas, di mana fakultas ekonomi syariah memiliki satu lokal kantin yang didesain layaknya cafe yang instagramable.
"Pesan lah, aku yang traktir", ucap Alfi seraya menyerahkan menu sajian kepada Elviana.
"Em, ikut mas Alfi saja. Aku sudah lama nggak pulang ke Indonesia, sudah lupa rasa makanan di sini", tolak Elviana, menunjukkan lesung pipi yang sejenak membuat Alfi terpaku menatap eloknya wajah itu.
"Mas", panggil Elviana, karena Alfi masih terkesima.
"Eh, iya. Em, bagaimana kalau beef burger dan fruit punch?", tawar Alfi.
"Aku ikut mas Alfi saja", sahut Elviana, menatap mata Alfi.
"Ehem. Ikut pulang atau ke mana ini?", canda Alfi, mencoba mengurai kecanggungan dan memesan dua porsi yang ia pilih.
"Bukankah harus akad dulu jika ikut pulang mas Alfi?", balas Elviana.
Alfi tak berkutik, pria itu menggaruk rambutnya tak gatal.
"Sampai kapan kamu akan di Indonesia?", tanya Alfi, mengalihkan topik pembicaraan.
"Entahlah mas, belum kupastikan. Kenapa mas? Apa kedatanganku ke sini mengganggu mas Alfi, sampai harus dideportasi?", ujar Elviana dengan maksud bercanda.
"Eh, mana mungkin aku begitu. Kamu kan adikku, tentu kamu boleh mengunjungiku sesukamu, Vi", sahut Alfi.
"Iya iya mas, aku cuma bercanda kok. Mas Alfi masih kaku seperti dulu ya. Tapi semakin tampan", ujar Elviana tanpa canggung, sembari menerima pesanan mereka dan mulai menyesap fruit punch.
"Ah, kamu bisa saja, Vi. Kamu juga dari dulu selalu cantik. Sudah nikah kah?", Alfi jarang berkomunikasi semenjak dirinya menolak dijodohkan dengan Elviana mulai remaja. Apalagi Elviana harus ikut bibi dan pamannya ke Suriah untuk kembali ke kampung halaman pamannya.
"Sudah sih, kalau calonku dulu mau menikahiku segera", ujar Elviana, membuat Alfi tersedak.
"Uhuk", Alfi pun menepuk dadanya pelan, lantas meminum fruit punch.
"Maaf mas, bukan maksudku", Elviana merasa bersalah meski sebenarnya dia tidak bermaksud mengungkit penolakan Alfi saat remaja.
"Tak apa Vi. Kita sudah dewasa, bukan remaja seperti dulu kala", sahut Alfi setelah nafasnya lega.
"Maksud mas Alfi?", Elviana merasa butuh penjelasan.
"Ya, dulu kita hanya dijodohkan, bukan kemauan kita sendiri. Lagi pula, kita tidak bisa menilai lebih mendalam saat pikiran kita belum matang", terang Alfi. Elviana masih bungkam, menunggu Alfi menyelesaikan ucapannya.
"Jadi, apa kamu sudah menjadi istri seseorang sekarang?", Alfi pun tidak tahu, kenapa harus membahas hal itu.
"Penasaran ya?", canda Elviana, tersenyum dan menyipitkan matanya, semakin membuat Alfi gemas.
"Ya sudah lah, abaikan pertanyaanku. Ada yang bisa kubantu selama di Indonesia?", Alfi pun mengganti topik pembicaraan agar tidak salah tingkah di hadapan Elviana.
"Aku didesak ayah untuk segera menikah, karena telah menolak beberapa lamaran pria di Ar-Raqqah", jelas Elviana, berhenti sejenak, melihat ekspresi wajah Alfi.
"Aku ke sini untuk menyegarkan pikiran, karena belum siap menjadi istri orang asing", lanjut Elviana.
"Orang asing? Apa kamu butuh rekomendasiku untuk wisata?", Alfi mencoba menebak tujuan Elviana.
"Tidak juga sih mas. Aku di sini sudah bersama pria yang kukenal, itu cukup untuk menenangkan hatiku sementara waktu. Siapa tahu, aku bisa bertukar pikiran dengan mas Alfi terkait pernikahan", ungkap Elviana, sontak membuat Alfi tak bisa berkata-kata. Dia tak tahu bagaimana merespon.
"Kenapa mas? Apa mas Alfi keberatan dengan keinginanku?", lanjut Elviana, karena Alfi malah termenung.
"Eh, tidak. Tapi", Alfi jelas tidak mungkin mengabaikan keinginan Elviana, apalagi menolak tanpa alasan yang tepat. Namun ia sendiri tengah bingung memaknai hubungan dan perasaannya kepada asisten yang baru saja ia rekrut. Juga, Alfi belum punya pengalaman menikah meski sudah belajar dan memahami beberapa ilmu terkait pernikahan dan tujuannya.
"Tapi apa mas?", Elviana mendesak penjelasan.
"Apa yang bisa kubantu untukmu, Vi?", Alfi ingin mengetahui lebih jelas maksud Elviana.
"Ya, diskusi ringan, berbincang santai saat mas Alfi punya waktu luang. Sementara itu, aku akan tinggal di rumah kakek. Masih terawat kan mas?", Elviana merujuk rumah kakeknya yang telah lama kosong namun dirawat oleh orang suruhannya.
"Tentu, akan kukabari jika aku punya jadwal luang. Juga, rumah kakek masih aman dan siap ditinggali. Kalau begitu, akan kupesankan bi Nilam untuk mempersiapkan kamar yang biasa bibi Elisha tempati dulu ya", sahut Alfi. Elviana hanya mengangguk dan tersenyum puas, sejenak membuat Alfi tidak fokus untuk mengambil ponsel dan mengirim pesan kepada bi Nilam.
Mereka pun berbincang santai mengenang masa kecil bersama, mengabaikan puluhan pasang mata yang menatap iri kepada Alfi dan Elviana yang nampak seperti pasangan yang begitu serasi. Apalagi ekspresi keduanya yang begitu natural saat tertawa dan bercanda, seolah mereka adalah pasangan yang sudah lama menjalin kisah asmara.
"Ayo, kuantar ke rumah kakek, Vi. Tapi, usai aku mengajar 10 menit saja", tawar Alfi, karena ia memang masih punya tanggung jawab mengajar hari ini.
"Tentu, tapi apa boleh aku ikut kelas mas Alfi? Penasaran, bagaimana mas Alfi menjadi dosen", pinta Elviana. Alfi bingung, secara aturan tentu itu sebuah pelanggaran, namun tak enak hati atas permintaan adik sepupunya ini.
"Kenapa? Ngga boleh ya? Ngga usah deh mas. Aku pergi ke rumah kakek sendiri saja. Aku masih ingat kok", ujar Elviana, membuat Alfi merasa sedikit bersalah.
"Kamu, yakin masih hafal? Sudah sepuluh tahun lebih loh kamu pergi dari Indonesia", Alfi juga khawatir jika gadis secantik ini pergi sendirian di kota Tanon. Meski kota ini terhitung aman, tapi tetap perlu jaga diri untuk gadis secantik Elviana yang mungkin lupa jalan ke rumah kakek mereka.
"Aman mas, kalau menunggu di sini tanpamu, bisa mati bosan nanti", ujar Elviana, membuat Alfi mengangguk lantas memesankan taksi online untuknya.
"Sudah kupesankan kendaraan untuk mengantarmu, sekalian akan kupesankan makanan favoritmu, karena pasti bi Nilam belum sempat menyiapkannya", ujar Alfi.
"Eh, memang mas Alfi masih ingat makanan favoritku?", Elviana penasaran.
"Ingat lah, pallubasa kan", ujar Alfi dengan sangat yakin. Elviana tersenyum dan menurut pengaturan Alfi saja.
Alfi pun menunggu sampai taksi Elviana tak nampak lagi di pandangan. Ia pun bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka dan mengambil bahan ajar ke ruang dosen.