Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Ikatan Batin
"Terimakasih!" Setibanya di rumah, Nisa langsung duduk di sofa. "Kamu pasti lelah!"
"Begini caramu menyambut tamu?" Abiyyu mulai protes. "Aku haus. Seharusnya kamu memberiku air."
Mendengarnya, Nisa tertawa. "Baiklah, aku akan,-"
"Bercanda!" potong Abiyyu. Pria itu melarang Nisa berdiri. "Aku bisa membuat kopi sendiri."
Abiyyu pun melenggang ke dapur, membuat dua gelas kopi untuk dirinya dan Nisa. Selain terampil dan cekatan, ternyata Abiyyu tahu di mana Nisa meletakkan barang-barang.
"Dengan kaki seperti itu, bagaimana caramu merawat anak?" Abiyyu mengaduk kopinya. "Malam ini Raya tidur di rumahku saja. Bagaimana menurutmu, Nis?"
Tak ada jawaban, Abiyyu pun menoleh. Sempat tersenyum sebelum menggelengkan kepala karena ternyata Nisa tidak ada di tempat semula. "Dasar keras kepala!"
Kopi yang masih mengepul itu pun Abiyyu tinggalkan. Takut, kalau-kalau Nisa melakukan sesuatu yang akan memperparah lukanya. "Lihat saja. Aku akan mengomelimu nanti!"
Begitulah rencananya. Tapi urung dia lakukan.
Mana mungkin Abiyyu tega melakukan itu sementara Nisa tampak murung saat menengok Raya yang sedang tidur. "Maafin mama ya?" ucapnya dengan suara pelan.
Wajar kalau Nisa meminta maaf. Dia merasa bersalah karena akhir-akhir ini tidak memiliki waktu yang cukup untuk dihabiskan bersama Raya.
"Yang sabar ya, Nak?" Nisa mencium tangan itu. "Ini semua demi masa depan kamu."
Setelah mengucapkan itu, Nisa pun berdiri. Rencananya pergi ke ruang tamu untuk menikmati kopi buatan Abiyyu.
Tapi, saat dirinya berbalik arah, Abiyyu sudah berdiri di belakangnya. Pria itu bersandar di kusen pintu sembari melipat tangannya di dada.
"Sejak kapan kamu berdiri di situ?" Dengan langkah pincang, Nisa melewati Abiyyu. "Apa kamu mau menguping?"
"Enggak," jawab Abiyyu.
Pria itu mengikuti Nisa dari belakang. Lalu duduk di samping Nisa yang tengah meniup kopi.
"Menikahlah denganku, Nis!" ucap Abiyyu tiba-tiba.
Pria itu menghela nafas, ekspresi dan nada bicaranya kelihatan serius. "Aku akan memberimu nafkah, jadi kamu tidak perlu bekerja terlalu keras. Cukup di rumah dan perhatikan tumbuh kembangnya."
"Aku ini,-"
"Aku belum selesai bicara!" potong Abiyyu.
Akhirnya, Nisa menoleh. Mendapati Abiyyu yang saat itu juga sedang melihatnya. "Boleh aku bertanya alasannya? Kenapa kamu menolakku?"
"Alasan?" Nisa berpikir sejenak. Lalu menyeruput kopi yang mulai dingin. "Tidak ada alasan. Aku hanya tidak ingin menikah. Itu saja!"
"Selain itu ... " Nisa kembali menoleh. "Kenapa kamu terus mengajakku menikah? Kamu pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku."
"Tapi aku hanya menginginkanmu!" Kali ini, Abiyyu yang menyeruput kopinya. Lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku bahkan sudah menyukaimu saat kamu masih jadi istri orang."
"Dasar aneh!" Nisa tertawa ringan. "Kurasa kamu harus mengunjungi dokter untuk memeriksakan diri."
"Jadi, kamu menolakku lagi?" Abiyyu tersenyum tipis. "Sejauh ini, sudah berapa kali kamu menolakku, Nis?"
Pria itu menggembungkan salah satu pipinya. Lalu mulai berhitung sembari menekuk jari-jari tangannya.
"Apa yang kamu lakukan?" Nisa tertawa melihat kelakuannya yang konyol. "Hentikan itu!"
Begitulah, meskipun Abiyyu di tolak lagi untuk yang kesekian kali, tapi tak ada yang namanya suasana canggung. Mereka masih akur, bahkan terkesan semakin akrab.
Tapi, tiba-tiba ...
"Aku punya ide," kata Abiyyu. Pria itu tersenyum, lalu menggeser posisi duduknya lebih dekat. "Haruskah aku menitipkan anak di perutmu dulu agar kamu menerima lamaranku?"
"Apa?" Jujur saja, Nisa berkeringat dingin mendengarnya. Spontan, dia menjauh. Sedikit demi sedikit menjauhi Abiyyu yang semakin mendekatkan dirinya.
"Apa yang kamu lakukan?" Panik, Nisa memukul Abiyyu meskipun tak serius. "Aku tidak akan menemuimu seumur hidup kalau kamu melakukan hal tak senonoh itu!"
"Bercanda!" kata Abiyyu.
Lagi-lagi, pria itu tersenyum. Lalu meyakinkan Nisa untuk yang kesekian kali. "Dengar, aku masih belum menyerah. Tidak akan menyerah sampai kamu menerima lamaranku!"
"Aku mendengarnya! T-tapi, tolong menjauh sedikit. Ini agak ... aneh, kan?" omel Nisa.
"Jangan marah-marah terus!" Bukannya menyingkir, Abiyyu malah merebahkan dirinya dan menyandarkan kepalanya di pangkuan Nisa. "Aku lelah sekali. Jadi, tolong biarkan aku istirahat sebentar, okay?"
.
.
.
Satu jam yang lalu, di sudut kota yang lain.
Hanni, istri konglomerat itu tengah sibuk merajut. Benang wol berbagai macam warna tampak memenuhi seluruh meja, bahkan beberapa diantaranya tergeletak di lantai.
Di ruangan berukuran besar nan mewah itu, Hanni tidak sendirian. Dua pelayan wanita tampak setia menemaninya, kalau-kalau Hanni membutuhkan sesuatu.
"Bagaimana?" Hanni menunjukkan hasil rajutannya dengan wajah berseri. "Bukankah ini bagus?"
Kedua pelayan itu tersenyum dan mengangguk bersamaan. "Ini sangat bagus, Nyonya!"
"Menurutmu, bagaimana kalau Al memakai ini?" Hanni menerawang. Membayangkan kalau putri kesayangannya memakai baju bermotif lucu itu. "Dia pasti terlihat sangat cantik, kan?"
Sekali lagi, kedua pelayan itu mengangguk. Dan Hanni pun kembali merajut dengan suka cita.
Tapi, tiba-tiba ...
"Sayang, aku pulang." Senyum hangat menghiasi wajah Darmawan ketika menghampiri istrinya.
Melihat Tuan mereka datang, dua pelayan tadi pun menyingkir ke samping.
Sementara itu, Darmawan langsung mencium kening Hanni. Sebuah rutinitas yang selalu dia lakukan sejak mereka menikah dulu. "Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyanya.
"Seperti yang kamu lihat." Senyum Hanni mulai merekah. "Aku sedang membuat pakaian hangat untuk Al."
Darmawan sempat tersenyum, lalu mengangguk beberapa kali. Selanjutnya, pria itu mengambil salah satu pakaian yang sudah jadi.
Pakaian itu lebarnya hanya sekitar satu setengah jengkal saja. Sangat tidak muat untuk dipakai Al di usianya sekarang. "Sayang, ini terlalu kecil untuk Al."
Tiba-tiba Hanni cemberut. Dia pun melengos ke samping mendengar ucapan suaminya. "Kalau begitu, Al bisa memakaikannya untuk anak bayinya nanti."
Ya, seperti itulah Hanni. Wanita itu sebenarnya sehat. Hanya saja mentalnya sedikit terganggu karena terlalu merindukan Al.
Iya, namanya Al. Satu-satunya putri kandung mereka yang belum mereka temukan setelah dinyatakan hilang lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
"Baiklah." Melihat istrinya cemberut, Darmawan pun mencoba menghiburnya. "Tapi tolong buatkan pakaian rajut untuk anak laki-laki juga. Siapa tahu cucu kita laki-laki. Iya, kan?"
"Benar juga!" Wajah Hanni kembali sumringah. "Lain kali aku akan merajut untuk anak laki-laki," katanya.
Hanni pun kembali merajut, sementara Darmawan menyemangatinya. Sesekali, Hanni tertawa, tak jarang pula dia memukul suaminya kalau pria itu mengganggunya.
Sayangnya, suasana romantis itu terhenti karena tiba-tiba Hanni berteriak. "Aduh!"
Wanita itu mengaduh. Meringis sembari memegangi dadanya yang sakit.
"Ada apa, Sayang?" Spontan, Darmawan bangkit dari duduknya. Lalu memegang tangan Hanni yang mulai gemetaran.
"Cepat!" Darmawan berteriak. "Beritahu sopir untuk menyiapkan mobil. Kita akan segera membawa nyonya ke rumah sakit!"
"Tidak perlu!" Hanni menggeleng. Mulai mengatur nafas dan menenangkan diri. "Tidak perlu ke rumah sakit. Bukan aku yang sakit!"
Setelah mengatakan itu, Hanni pun melepaskan tangannya dari genggaman suaminya. Wanita itu berdiri. Berjalan beberapa langkah menuju dinding kaca yang ada di depannya.
Di luar sana, Hanni melihat burung-burung beterbangan. Terbang ke angkasa karena angin kencang meniup pepohonan yang menjadi tempat mereka berpijak.
"Sayang?" Darmawan yang mencemaskan keadaan istrinya pun mendekat. "Ada apa denganmu? Apa ada sesuatu yang membuatmu cemas?" tanyanya sembari memeluk istrinya dari belakang.
Hanni mengangguk dan berkata pelan, "Al, Pa!"
"Al kenapa?" tanya Darmawan.
"Mama nggak tahu." Hanni menggelengkan kepalanya lalu menangis. "Tapi mama rasa Althafunnisa Az-Zahra kita sedang kesakitan sekarang."
**