Sekuel SEKRETARIS KESAYANGAN
~
Meira pikir, setelah direktur marketing di perusahaan tempat dia bekerja digantikan oleh orang lain, hidupnya bisa aman. Meira tak lagi harus berhadapan dengan lelaki tua yang cerewet dan suka berbicara dengan nada tinggi.
Kabar baik datang, ketika bos baru ternyata masih sangat muda, dan tampan. Tapi kenyataannya, lelaki bernama Darel Arsenio itu lebih menyebalkan, ditambah pelit kata-kata. Sekalinya bicara, pasti menyakitkan. Entah punya masalah hidup apa direktur baru mereka saat ini. Hingga Meira harus melebarkan rasa sabarnya seluas mungkin ketika menghadapinya.
Semakin hari, Meira semakin kewalahan menghadapi sikap El yang cukup aneh dan arogan. Saat mengetahui ternyata El adalah pria single, terlintas ide gila di kepala gadis itu untuk mencoba menggoda bos
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darel atau Dimas?
Nasib berurusan dengan orang kaya, suka berbuat semaunya. Apapun bisa dilakukan dengan cara cepat dan singkat asal ada dananya. Tidak masuk akal rasanya ketika bundanya Darel ingin berangkat ke Magelang pagi itu juga, jelas ditolak oleh Meira.
Perdebatan selesai tepat jam dua dini hari, para tamu tak diundang yang datang ke kamarnya itupun sudah pada pergi. Meira mengambil waktu sejenak untuk rebahan. Dia sedang memikirkan bagaimana cara memberitahu pada sang ibu tentang lamaran dadakan ini. Meira masih berusia dua puluh empat tahun, memang tidak muda lagi, namun memikirkan tentang pernikahan, otaknya tak bisa diajak kompromi. Menikah dan bersedia diperistri oleh seorang Darel Arsenio si ganteng, arogan, dan songong, berarti Meira harus menyerahkan seluruh hidupnya pada lelaki aneh itu.
Sial!
Masih dengan posisinya yang sedang berbaring, Meira hanya bisa menendang nendang ke udara, menumpahkan rasa kesal yang tak bisa dia tumpahkan ke siapapun.
“Dikasih waktu beberapa hari, kamu jangan coba-coba kabur, ya!” ucap Inayah penuh peringatan, pada Meira, sebelum dia beranjak dari kamar kos berukuran enam kali lima meter itu.
\~
Bermodalkan jam tidur sekitar tiga jam saja, Meira siap menjalani aktifitas hari ini. Berdasarkan kesepakatan sepihak dini hari bersama Darel sekeluarga, mereka akan berangkat ke Magelang menemui Ibu Meira pada weekend nanti, sekitar tiga hari lagi.
Pagi ini, sebelum berangkat kerja, Meira memberanikan menghubungi sang ibu. Memang, menghubungi ibu sudah menjadi rutinitasnya setiap hari, hanya sekedar bercerita tentang aktifitas dan menanyakan kabar. Namun, pagi ini, ada hal penting yang harus dia sampaikan pada ibunya.
Bertepatan dengan Meira yang hendak menghubungi ibunya, ponselnya juga berdering, tertera “Ibu” di sana.
“Ya ampun pas banget, tapi, ibu nggak pernah menelpon sepagi ini.” Meira mengambil napas dalam sebelum menerima panggilan itu, dia sudah menyusun dan merancang kalimat sebaik mungkin untuk berbicara pada ibunya perihal pernikahan paksa yang akan dia jalani.
“Assalamualaikum Ibu,” Meira menyapa.
“Nduk, ya Allah… maaf ganggu kamu pagi-pagi.” suara ibunya terdengar bergetar disertai isak tangis, membuat Meira panik mendengarnya.
“Ada apa bu?”
“Almarhum bapakmu… ternyata meninggalkan utang banyak, Nduk. Sekarang, ibu dan adikmu terancam.” dengan tangis yang tersedu-sedu, ibunya menjelaskan tentang hal yang tak pernah Meira bayangkan sebelumnya.
“Apa Bu? utang? berapa dan dengan siapa?” Meira memejamkan matanya sekilas, pikirannya kangsung tertuju pada tabungannya yang kini berjumlah sekitar dua puluh juta. Mungkin, bisa membantu.
“Dua ratus juta, Nduk—“
“Apa, Bu? du-dua ratus juta?!” Meira memekik kaget, tak habis pikir. Bahkan jumlah utang yang ditinggal bapaknya adalah berkali-kali lipat dari tabungan yang dia miliki.
“Iya, Nak. utang sama Pak Darmi, tuan tanah orang terkaya di kampung kita. Ya Allah… semalam dia datang bersama anak buahnya, tiba-tiba menagih. Ibu nggak tau menau soal itu. Ibu bilang nggak punya uang untuk bayar. Dikasih waktu sampai hari minggu, kalau nggak bayar, ibu dan Laras harus angkat kaki dari rumah. Mereka juga ngasih pilihan lain, supaya utang bapak di anggap lunas…” Ibu menjeda kalimatnya. Ini yang paling berat untuk di katakan.
“Dari mana kita dapat uang sebanyak itu, Bu. Dan apa pilihan lain yang mereka tawarkan?” tanya Meira, lututnya terasa lemas. Belum selesai satu masalah, masalah lain yang tak disangka, malah datang.
“Pak Darmi masih ingat kamu dan tau kalau kamu belum menikah, dia minta kamu jadi menantunya Nak… Ibu nggak sanggup mengatakan ini, dan ibu sebenarnya juga nggak akan rela kamu menikah dengan orang jahat begitu, kamu nggak pantas bersamanya Nak.”
“Bu, maksudnya, Mei harus nikah dengan anaknya? dengan Dimas?”
Bukan Meira tak mengenal Dimas, dia sudah akrab dengan lelaki itu sejak kecil, bisa dikatakan mereka adalah teman sepermainan. Namun karena Dimas adalah anak tunggal dari saudagar kaya, hidupnya selalu enak, dia harus dan bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan hingga Dimas terjerumus dalam pergaulan yang salah.
“Iya, anaknya l, si Dimas, yang sekarang jadi pengusaha kayu. Tapi Nak, kamu tau kan dia suka mabuk-mabukan, suka main perempuan, satu kampung juga tau gimana kelakuannya. Ibu nggak ridho kamu punya suami begitu, Nak. Tapi… kita nggak punya pilihan lain.”
Kenapa masalah datang di waktu yang bersamaan, Meira takkan mungkin mengatakan bahwa dia akan pulang dan ada yang ingin melamarnya. Tapi, menikah dengan Dimas juga bukan pilihan yang tepat. Pemuda yang punya kebiasaan buruk itu, sudah sangat terkenal dikampungnya. Pilihan yang sulit, Darel, atau Dimas? tapi Meira kembali berpikir, demi Ibu dan adiknya, dia akan lebih memilih menebus utang bapaknya dengan cara menyerahkan dirinya menjadi menantu tuan tanah, dan menikah dengan teman kecilnya.
“Nduk, kamu masih di sana?” tanya Ibu, suaranya terdengar melemah. “Maafkan kami ya jadi orang tua yang nggak bisa bahagiakan kamu, tapi, uang yang bapak pinjam itu sepertinya untuk biaya kuliah dan biaya hidup kamu selama di Jakarta, Mei,” jelas Ibu lagi. Semakin meyakinkan Meira bahwa dia memang harus menjadi alat penebus utang tersebut.
“Ya udah Bu, kasih Mei waktu beberapa hari, karena nggak mudah meninggalkan perusaahaan begitu aja. Nanti Mei pasti akan bantu dan selamatkan rumah kita, Ibu tenang ya.”
Meira sudah pasrah, dia memilih mengakhiri panggilan karena sudah tidak tahan lagi ingin menangis. Di hadapan ibu, dia harus kuat dan tegar agar ibunya tenang.
\~
Meira menyelesaikan pekerjaan yang belum dia selesaikan beberapa hari lalu. Hari ini, dia memiliki janji dengan beberapa orang, dan Darel harus turut serta. Namun, jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, lelaki itu tak kunjung muncul dan dengan sangat terpaksa, Meira menghubunginya karena ini sangat penting.
“Pak—“
“Ada apa? kangen? baru juga beberapa jam kita nggak ketemu.” suara di seberang sana, terdengar sangat santai, tanpa beban, Darel menggoda Meira.
“Jangan bercanda, Pak. Sebentar lagi, kita akan ketemu klien, tolong segera datang ke kant—“
“Jangan terlalu formal Mei, aku nggak suka. Kita bisa ngobrol dengan santai.”
“Kita harus profesional.” tegas Meira.
“Terserah kamu aja!” hentak Darel dengan perasaan kesal, sebab dia paling benci jika di bantah.
🌸🌸🌸