Emily, seorang pekerja kantoran ambisius, memiliki dua kehidupan yang sangat berbeda. Di luar kesibukannya sebagai seorang profesional, ia menemukan pelarian dan kepuasan dalam menulis novel online sebagai hobi.
Suatu malam, setelah pulang dari kantor, Emily mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya. Namun, kematian tidak mengakhiri kisahnya. Saat Emily membuka mata, ia mendapati dirinya tidak lagi berada di dunia nyata. Sebaliknya, ia terbangun dalam tubuh Putri Adeline, salah satu tokoh figuran di novel yang selama ini ia tulis. Putri Adeline adalah karakter kecil dalam narasi Emily, yang memiliki nasib tragis—mati karena salah minum anggur beracun dalam sebuah pesta kerajaan. Dengan pengetahuan dari dunianya yang lama, ia mulai merancang strategi untuk memanipulasi alur cerita dan menjadikan Adeline sebagai protagonis, bukan sekadar korban.
"Ah, Aku seorang Author! Kenapa harus menjadi peran pendukung yang akan mati menyedihkan? Lebih baik jadi protagonis sekalian!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melsbay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Cinta Dipertanyakan
Ketika Elisa pamit dan meninggalkan ruangan, Nathaniel merasa seperti dunianya runtuh di sekitarnya.
Dia merasa kehilangan dan terluka, bertanya-tanya apakah dia telah membuat kesalahan besar padahal dia belum mengungkapkan perasaannya.
Namun, dia tidak bisa menyerah begitu saja. Dengan hati yang penuh penyesalan, dia berusaha mengejar Elisa, berharap bisa memberikan penjelasan dan mungkin meraih kembali hatinya.
"Elisa, tunggu!" Nathaniel berdiri tegak, mencoba mengejar Elisa. Elisa tidak mendengar dan menghentikan langkahnya, mengambil gaun nya yang berada di ata sofa dan terus berjalan keluar ruangan.
Nathaniel berusaha mengejar, namun langkah Elisa terlalu cepat. "Elisa, tolong dengarkan aku!" Elisa tidak melihat ke belakang, tetapi terus berjalan menjauh.
Nathaniel menghela nafas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang ingin keluar.
"Apa yang telah aku lakukan?"
Elisa meninggalkan ruangan, suaranya hilang di kejauhan.
Nathaniel duduk kembali di sofa, menundukkan kepalanya dalam kebingungan dan kesedihan yang mendalam.
"Apakah aku benar-benar telah membuat kesalahan besar? Apakah ini akan membuatnya menjauh dariku? Elisa..." Tanya nya di ruang sepi yang menyisakan kenangan indah yang bergulir begitu singkat.
Nathaniel terdiam dalam keheningan dan hanya merasakan nyeri di dada nya yang seakan robek. Dia merasakan Luka yang tidak berdarah untuk pertama kali nya karena ucapan nya yang membuat Elisa pergi tanpa memandang ke belakang.
Nathaniel duduk sendirian di ruang baca yang sepi, membiarkan kesedihan dan penyesalan menghantamnya. Matanya terpaku pada lantai, mencoba memahami apa yang telah terjadi.
Baru saja ia merasa mulai terbuka pada Elisa, merasakan kehangatan yang ia pikirkan hanya bisa dirasakan ketika bersama Adeline atau Ibunya. Namun, sekarang, suasana yang tadinya begitu nyaman berubah menjadi hampa dan dingin.
Dinding-dinding ruangan terasa mengepung, menggambarkan perasaan yang mencekam di dalam hatinya. Ia bertanya-tanya, apa kesalahannya? Apa yang telah dilakukan yang membuat Elisa berbalik dan melarikan diri? Namun, tidak ada jawaban yang muncul dari keheningan ruangan baca itu.
Nathaniel merasakan kekosongan yang begitu mendalam di dalam dirinya. Rasanya seperti bagian yang baru saja dibuka dalam hatinya sekarang tertutup rapat, membuatnya merasa terasing dan sendirian.
Elisa merasakan hutan menyelimutinya dengan kerinduan yang dalam, seperti memahami kesedihannya yang mendalam.
Dalam gaun pertunangannya yang anggun, dia terlihat begitu rapuh di tengah hutan yang rimbun. Langkahnya terhenti sesekali ketika rasa perih dari luka-lukanya membuatnya merasakan kembali penderitaannya.
Dia melepaskan selimut yang dipeluknya erat, menggelarinya di bawah pohon besar yang menawarkan perlindungan dan keteduhan.
Sambil duduk di tanah yang lembut, air mata tak henti-hentinya mengalir dari matanya yang sayu. Hatinya terasa hancur, dipecahkan oleh harapan-harapan yang kini berkeping-keping di dalam dirinya.
Elisa menyedari betapa bodohnya ia telah berharap untuk mendapatkan cinta sejati dari seorang pangeran. Dia merasa seperti telah ditipu oleh ilusi romantis yang dia bawa, mempercayai bahwa cinta sejati dapat mengatasi segala halangan dan perbedaan status.
Namun kini, di bawah bayangan hutan yang sunyi, dia menyadari betapa naifnya ia telah berharap bahwa seorang pangeran akan jatuh cinta padanya, yang hanya seorang saintess tanpa kedudukan bangsawan.
Dia merasa kebodohannya tertempa oleh kenyataan yang menyakitkan, menyadari bahwa mungkin cinta yang ia rasakan hanya ada di dalam hatinya sendiri, tanpa ada yang menerima atau membalasnya.
Elisa duduk dengan tubuh yang gemetar di bawah pohon besar itu, meratapi kebodohannya dan menyesali harapannya yang hancur.
Dalam keheningan hutan yang sepi, Elisa membenamkan diri dalam pertimbangan-pertimbangan yang menyiksa. Dia memahami dengan tulus bahwa segala sesuatu di antara mereka, termasuk perasaannya sendiri, hanyalah hasil dari perintah Raja dan petunjuk dari paus atas wahyu tentang keberadaan Naga Iblis.
Air mata terakhir bergulir di pipinya saat ia menolak perasaannya yang dalam dan melepaskan keinginannya untuk mencari cinta di tempat yang salah.
Elisa menemukan keberanian dalam kedalaman hatinya untuk menghapus harapan palsu dan mengakui kenyataan yang menyakitkan.
Dia tahu bahwa kebaikan yang Nathaniel tunjukkan padanya mungkin hanya tanggapan atas perintah, bukan cinta sejati.
Dengan hati yang berat, Elisa berdiri, menyeka air mata yang masih menetes di wajahnya, dan mengukur langkah-langkahnya menuju arah yang benar.
Meskipun hatinya hancur, dia tidak ingin terus terjebak dalam ilusi palsu. Dengan tersenyum lirih yang mencerminkan kedewasaan dan keteguhan hatinya, Elisa memutuskan untuk menutup pintu hatinya untuk Nathaniel, memilih untuk tidak salah sangka atas kebaikan yang ditunjukkan olehnya.
Dengan langkah yang tegar, Elisa bergerak maju, dia mengarahkan langkahnya kembali ke kuil suci, tempat dia akan menemukan kedamaian dalam melayani Dewa dan memenuhi panggilannya sebagai saintess.
Nathaniel berhasil kembali ke naluri dan akal sehatnya. Dengan cepat, dia mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, pikirannya tertuju pada Elisa yang hanya pergi dengan gaun.
Berlari keluar dari ruang baca, Nathaniel mencoba mengatasi rasa khawatir dan kegelisahannya, tapi upaya pencarian itu tak menghasilkan apapun.
Dia menyusuri lorong-lorong istana, bahkan pergi ke hutan yang dekat dengan ruang baca, berharap menemukan jejak Elisa.
Namun, waktu terus berlalu tanpa keberhasilan. Hari mulai memudar menjadi senja, memancarkan warna oranye dan ungu yang mengisi langit. Nathaniel merasa semakin frustrasi, meratapi kehilangan Elisa yang menghilang tanpa bekas.
Ketika kegelapan mulai menyelimuti istana, dia akhirnya memutuskan untuk kembali. Langkahnya terasa berat, penuh dengan rasa kecewa dan kekosongan.
Meskipun hatinya dipenuhi dengan kerinduan untuk Elisa, dia tidak bisa melupakan bahwa seiring waktu berlalu, kehadirannya di hutan semakin tidak mungkin ditemukan.
Dengan langkah-langkah yang tergesa-gesa, dia kembali ke Istana, keinginannya untuk menemukan Elisa tidak akan padam begitu saja.
Nathaniel, tanpa ragu, segera mengambil kuda yang telah siap sedia, menyadari bahwa satu-satunya harapannya adalah menemukan Elisa di kuil suci.
Hanya satu tujuan yang mengembara dalam pikirannya: menemukan Elisa. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan akan kemungkinan bahaya yang mungkin menimpa Elisa di tengah malam yang sunyi.
Nathaniel memasuki kompleks kuil dengan hati-hati, menyadari bahwa suasana yang gelap memperumit pencariannya. Namun, ingatannya tentang taman bunga lily yang disebutkan oleh Elisa memberinya sedikit harapan. Dengan langkah berhati-hati, dia bergerak menuju arah yang dia ingat Elisa sebutkan.
Nathaniel menghirup udara dingin malam itu saat dia berjalan dengan langkah hati-hati menuju taman bunga lily yang dikatakan Elisa.
Saat dia mendekati taman, kecantikan dan keharuman bunga-bunga lily memenuhi udara. Mereka berdiri tegak, bersinar dalam cahaya bulan, memberikan pesona yang tak terbantahkan. Di tengah-tengah bunga-bunga itu, dia melihat siluet Elisa yang duduk termenung di bawah pepohonan.
Elisa terlihat rapuh di bawah cahaya bulan, tatapannya yang kosong terpaku pada hamparan bunga lily di depannya.
Nathaniel merasakan getaran rasa pilu dalam hatinya saat melihatnya. Dia ingin sekali menghampiri Elisa, merangkulnya, dan memberinya kehangatan yang dia butuhkan. Namun, Dia takut kehadirannya akan membuat Elisa melarikan diri nya lagi dan justru membencinya.
Dengan hati yang berat, Nathaniel memutuskan untuk hanya berdiri di tempat, diam, menyaksikan Elisa dari kejauhan.
Dia membiarkan pesona taman bunga lily meredakan pikirannya yang kacau, sambil berharap Elisa bisa menemukan ketenangan dalam hening malam itu.