Sebuah insiden membawa Dinda Fahira Zahra dan Alvaro Davian bertemu. Insiden itu membawa Dinda yang yatim piatu dan baru wisuda itu mendapat pekerjaan di kantor Alvaro Davian.
Alvaro seorang pria dewasa tiba-tiba jatuh hati kepada Dinda. Dan Dinda yang merasa nyaman atas perhatian pria itu memilih setuju menjadi simpanannya.
Tapi bagaimana jadinya, jika ternyata Alvaro adalah Ayah dari sahabat Dinda sendiri?
Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf jika ada yang tak sesuai norma. 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Empat
Alvaro kembali melajukan kendaraannya menuju kantor. Masih ada pekerjaan yang ingin dia selesaikan. Jika tidak, pasti dia malas kembali ke perusahaan.
Saat akan keluar dari mobil kembali gawainya berdering. Dia mengabaikan karena berpikir itu dari istrinya. Karena berdering beberapa kali, pria itu penasaran ingin melihat siapa yang menghubungi. Ternyata sang putri. Dia lalu menyentuh tombol hijau untuk menerima panggilan.
"Daddy, di mana?" tanya suara di seberang.
"Lagi di kantor, Sayang. Kenapa?" tanya Alvaro.
"Apa benar Daddy tak mau memberi uang buat mami?" tanya suara di seberang lagi.
Alvaro tersenyum mendengar ucapan sang putri. Dia yakin istrinya mengadu yang bukan-bukan lagi.
Pasti banyak yang bertanya, kenapa dia tak memutuskan berpisah dari sang istri? Putrinya lah yang menjadi alasan semua itu. Dia meminta kedua orang tuanya harus tetap utuh. Bahkan pernah mengancam akan bunuh diri saat tahu Alvaro ingin mengajukan perceraian.
"Mami kamu sudah menghabiskan uang terlalu banyak. Ini semua untuk memberikan efek jera dan agar dia bisa berhemat. Bulan kemarin hampir satu milyar dihabiskan mami hanya untuk berfoya-foya bersama geng nya itu!" seru Alvaro dengan penuh penekanan.
Alvaro berharap sang putri juga memahaminya. Dia sangat menyayangi maminya, sehingga selalu mendengarkan apa pun yang Devi katakan. Tak peduli benar atau salah.
"Daddy berikan aja sedikit. Anggap saja bonus belanja. Tak akan bangkrut hanya memberikan uang seratus juta!" balas putrinya.
"Maafkan, Daddy. Kali ini Daddy tak akan memberikan tambahan uang untuk mami. Cobalah kamu mengerti kali ini, Vina. Semua demi kebaikan mami kamu. Mungkin dengan begini dia akan betah di rumah karena tak ada uang buat pergi-pergi lagi!" tegas Alvaro.
Terdengar helaan napas sang putri. Dia pasti serba salah. Karena tak mau salah satu orang tuanya merasa tersakiti.
"Baiklah, Daddy. Tapi Daddy janji akan pulang," ucap Vina akhirnya.
"Iya, Sayang. Jangan kamu pikirkan mami. Dia pasti memiliki uang lain. Kamu pasti tau seberapa besar uang yang Daddy berikan untuk mamimu!"
"Iya, Dad." Hanya itu jawaban sang putri. Sambungan telepon seluler mereka terputus. Alvaro menghela napasnya. Kembali berjalan memasuki perusahaan miliknya.
Karena pikirannya sedang kacau, akhirnya Alvaro meninggalkan kantor lebih cepat. Setelah menyelesaikan sedikit pekerjaannya, sekitar jam empat sore, dia langsung keluar dari ruangan. Dia memberikan pekerjaannya pada sang sekretaris.
Alvaro lalu menghubungi Dinda dan bertanya, apakah gadis itu telah siap menyusun barangnya yang akan di bawa pindah. Gadis itu menjawab sudah. Setelah itu dia langsung menuju kost Dinda.
Alvaro sempat bertanya di mana kost gadis itu. Dia tak menghubungi ketika telah sampai di depan toko tempat biasa Dinda turun.
Setelah merasa yakin dengan alamatnya, Alvaro lalu mengetuk pintu. Dinda yang masih asyik beberes dan hanya mengenakan tanktop dan hotpants langsung membuka pintu. Dia pikir Vina yang datang bertamu.
"Sabar ...!" ucap Dinda karena orang itu kembali mengetuk pintu.
Dinda membuka pintu dengan rambut di Cepol dan baju seadanya. Saat melihat siapa yang berdiri di belakang pintu, gadis itu terkejut. Begitu juga dengan Alvaro. Dia menatap tak berkedip.
Beberapa saat keduanya terdiam. Dinda akhirnya sadar, dan tersenyum malu. Apa lagi menyadari pandangan mata Alvaro yang tak berkedip ke arah tubuhnya.
"Maaf, Om. Aku kira tadi temanku. Tunggu sebentar aku ganti baju dulu. Om kenapa tak menghubungi aku?" tanya Dinda.
"Aku takut barangmu banyak yang akan di bawa. Lebih baik langsung ke sini, jadi aku bisa bantu," jawab Alvaro.
"Aku cuma bawa baju. Kebetulan perabot lainnya milik ibu kos. Aku mandi sebentar. Om tunggu di mobil saja," balas Dinda.
"Aku tunggu di bawah pohon itu aja. Kebetulan ada bangku," tunjuk Alvaro.
"Baik, Om..Aku cepat kok mandinya," ucap Dinda.
Dinda langsung kembali masuk dan segera mandi. Setengah jam kemudian dia telah rapi dan mulai mengeluarkan tas berisi pakaian dan barang yang perlu dibawa saja. Hanya ada sekitar tiga tas semuanya.
Alvaro membantu gadis itu membawa tas menuju mobil yang numpang parkir di salah satu toko. Pria itu lalu memberikan uang lima puluh ribu untuk kang parkir.
Sepanjang perjalanan menuju apartemen baik Dinda maupun Alvaro hanya diam. Larut dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu. Sedangkan Dinda masih meragukan keputusan yang dia ambil ini.
"Apakah keputusan untuk pindah ke apartemen Om Alvaro ini adalah pilihan tepat?" tanya Dinda pada dirinya sendiri.
Sesekali Alvaro melirik ke arah gadis itu. Dia tersenyum sendiri. Entah apa yang ada dalam pikiran pria dewasa itu.
Satu setengah jam perjalanan, barulah mereka sampai, karena jalanna agak macet. Alvaro meminta bantuan satpam untuk membawa tas milik Dinda. Awalnya gadis itu menolak dan ingin membawa sendiri. Namun, pria itu tak mengizinkan.
Sampai di depan apartemen, satpam itu kembali setelah mendapat uang saku dari Alvaro. Detak jantung Dinda berpacu lebih cepat. Dia tak pernah tinggal di apartemen atau rumah. Biasanya panti asuhan dan kos.
Alvaro membuka pintu dan mempersilakan gadis itu masuk. Dinda takjub melihat isi dalamnya yang dominan warna hitam dan putih. Sangat mewah bagi gadis itu.
Dengan perlahan Dinda masuk sambil matanya terus memandangi ruangan. Alvaro langsung menuju dapur dan mengambil dua botol air mineral di kulkas.
"Nanti aku bantu kamu bersihkan apartemen dan setelah itu aku temani belanja buat isi kulkas," ucap Alvaro. Pria itu meletakan dua botol air mineral di meja dan mempersilakan gadis itu minum.
"Om, apa ini tak berlebihan jika aku tinggal di sini?" tanya Dinda. Dia duduk di sofa yang berhadapan dengan pria itu.
"Kanapa berlebihan? Apartemen ini jarang aku tempati. Dari pada kosong, dan tak terurus mending kamu yang huni!" seru Alvaro.
"Jika ada yang tau aku diberi fasilitas begini padahal aku baru bekerja, pasti mereka berpikiran yang bukan-bukan," jawab Dinda.
"Jangan terlalu memikirkan ucapan orang-orang. Kita tak akan maju jika selalu mengikuti ucapan mereka. Jika kita merasa tidak salah, lanjutkan saja. Lagi pula kita tak bisa menutup mulut mereka dengan kedua tangan ini, tapi kita bisa menutup telinga kita dengan kedua tangan ini, dan tak mendengar omongan mereka!"
Dinda menarik napas dalam. Sepertinya dia memang harus menutup telinga saja dari omongan orang-orang nantinya. Seperti kata Om Alvaro, tak selamanya kita harus mengikuti apa yang mereka inginkan dan menjauhkan apa yang tak mereka suka. Hidup kita, kita yang tentukan. Selagi kita merasa itu benar.
Jika kamu peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain, kamu tidak akan pernah bisa membuat keputusan sendiri dalam hidup. Jangan pusing dengan pendapat orang lain karena mereka takkan menolong saat dirimu terjatuh. Kamu tidak bisa mengontrol omongan orang lain, namun kamu bisa mengontrol diri kamu sendiri.
Bonus Visual
selesaikan dulu sama yg Ono baru pepetin yg ini
semoga samawa...
lanjut thor...