Lisna seorang istri penyabar dan tidak pernah mengeluh pada sang suami yang memilih menganggur sejak tahun ke tiga pernikahan mereka. Lisna dengan tulus menjadi tulang punggung keluarga.
Setelah tujuh tahun pernikahan akhirnya sang suami terhasut omongan ibunya yang menjodohkannya dengan seorang janda kaya raya. Dia pun menikahi janda itu atas persetujuan Lisna. Karena memang Lisna tidak bisa memberikan suaminya keturunan.
Namun istri kedua ternyata berhati jahat. Dia memfitnah Lisna dengan mengedit foto seakan Lisna sedang bermesraan dengan pria lain. Lagi lagi suaminya terhasut dan tanpa sadar memukul Lisna bahkan sampai menceraikan Lisna tanpa memberi kesempatan Lisna untuk menjelaskan.
"Aku pastikan ini adalah air mata terakhirku sebagai istri pertama kamu, mas Fauzi." Ujarnya sambil menghapus sisa air mata dipipinya.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Saksikan di serial novel 'Air Mata Terakhir Istri Pertama'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggil 'ibu'
Saat Lisna menata meja makan, meletakkan piring, gelas dan juga nasi goreng yang di masakknya tadi bersama bik Siti, Wulan turun dari lantai atas dengan wajah sumringah. Handuk bertengger dikepalanya khas pengantin baru, habis keramas. Sengaja dia mengeringkan rambut dengan handuk, padahal dia punya pengering rambut listrik hanya sekedar untuk memanas manasi Lisna.
"Mbak Lisna, kok malah repot repot menyiapkan sarapan sih. Ini tugas bik Siti loh mbak." Ujar Wulan sok sok baik.
"Tidak apa. Karena aku sudah biasa melakukan ini setiap pagi selama tujuh tahun menjadi istri mas Fauzi. Ya, meski aku bekerja, aku tidak pernah melewatkan waktu untuk menyiapkan sarapan, makan siang dan makam malam untuk suamiku." Jawab Lisna santai dan pembawaan yang tenang.
Wulan menghela napas, kesal rasanya mendapat jawaban seperti itu dari madunya itu.
"Terimakasih ya mbak, karena mbak Lisna sudi berbagi suami denganku. Mas Fauzi benar benar perkasa. Dia sampai meminta aku untuk melakukannya berkali kali loh mbak."
Wulan tidak ingin kalah dari Lisna. Dia ingin membuat Lisna merasa sakit secara perlahan, sampai akhirnya Lisna menyerah dengan sendirinya untuk bertahan menjadi istri pertama Fauzi.
Bohong kalau Lisna tidak merasa sakit mendengar pengakuan Wulan. Tapi dia harus mencoba untuk terlihat tenang dihadapan wanita yang telah merebut suaminya itu. Ya setidaknya saat ini Lisna mengira Wulan yang merebut suaminya. Padahal kenyataanya, Fauzi sendiri yang juga menginginkan Wulan.
"Ah iya, mas Fauzi memang luar biasa soal ranjang. Saya sudah bosan dan merasa permainan mas Fauzi biasa saja, makanya saya bersedia berbagi dengan kamu. Ya, supaya mas Fauzi bisa punya tempat pelampiasan lain saat aku sedang tidak mood untuk melakukan itu."
Lagi lagi jawaban Lisna membuat Wulan kalah telak. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk duduk diam menunggu Fauzi dan Queen untuk sarapan bersama.
"Lisna, kenapa kamu menyiapkan sarapan. Harusnya biarkan bik Siti saja."
Itu Fauzi. Dia baru tiba di dapur dengan keadaan yang sudah rapi, memakai stelan jas senada dengan celananya.
"Iya mas, aku sudah bilang sama mbak Lisna, tapi katanya dia sudah biasa menyiapkan sarapan pagi." Sahut Wulan mendahului Lisna.
"Aku tahu kamu sudah terbiasa menyiapkan sarapan dan makanan untukku, Lis. Tapi, sekarang kamu tidak usah melakukan itu lagi, ya. Aku mohon. Aku hanya tidak ingin kamu merasa diperlakukan seperti menumpang di rumah ini."
Fauzi mendekati Lisna dan mengelus lembut wajahnya dihadapan Wulan.
"Justru jika aku tidak melakukan apapun selama tinggal di sini, semakin membuat aku sadar, bahwa aku hanya menumpang di rumah ini, mas." Jawab Lisna.
"Mbak Lisna tidak usah merasa seperti itu loh mbak. Ini rumah kita, tempat keluarga kita tinggal bersama."
"Iya, sayang. Kamu coba seperti Wulan, dia saja sudah bisa menerima kamu sebagai bagian dari keluarga kita. Aku harap kamu juga bisa menerima kehadiran Wulan sebagai bagian dari keluarga kamu juga, ya!" Seru Fauzi.
Huh hah… kamu memintaku menerima Wulan? Kamu salah sasaran mas. Bukan aku yang tidak bisa menerima Wulan, tapi Wulan yang tidak bisa menerima aku. Andai mas tahu, Wulan sedang berusaha untuk membuatku menyerah mempertahankan rumah tangga kita. Apa reaksimu akan tetap sama atau malah sebaliknya, saat kamu tahu niat Wulan yang sebenarnya, mas?
"Tante Lisna.."
Suara Queen mengalihkan atensi mereka.
"Papa.."
Queen berlari mengejar Fauzi yang menunduk merentangkan tangannya untuk memeluk Queen.
"Papa, telimakasih sudah membawa tante Lisna untuk tinggal belsama kita. Queen sayang tante Lisna." Ucap Queen sambil tersenyum manis mendongak untuk menatap Lisna yang juga tersenyum padanya.
"Berterimakasih sama mama. Karena mama yang memberi izin tante Lisna tinggal bersama kita." Bisik Fauzi.
Queen-pun melangkah mendekati Wulan. "Telimakasih mama."
"Iya sayang. Tapi, mama rasa Queen harus memanggil tante Lisna dengan panggilan ibu, bagaimana?"
"Kamu yakin mengizinkan Queen memanggil Lisna dengan sebutan ibu?" Tanya Fauzi pada Wulan.
"Iya yakin dong mas. Lagian kan mbak Lisna istri mas juga, Queen juga sudah menjadi anak mas Fauzi, berarti mbak Lisna juga sudah menjadi ibu-nya Queen. Iya kan, mbak Lisna?" Tanya Wulan pada Lisna.
Lisna hanya tersenyum, kemudian mengangguk lalu dia duduk di kursi meja makan tepat di sebelah Fauzi. Sementara Queen duduk di sebelah Wulan.
"Yee, aku punya mama, punya papa dan punya ibu juga. Aku bahagiaaa.."
Queen benar benar bahagia. Setidaknya hanya Queen yang memang benar benar bahagia. Sedangkan Wulan, merasa khawatir Queen akan bertambah akrab dengan Lisna, Fauzi malah merasa tidak enak hati pada Lisna dan merasa ingin meminta maaf terus menerus. Sedangkan Lisna, kalian tahu sendiri bagaimana hatinya. Hancur lebur, namun dia berusaha untuk tetap kuat, sabar dan terlihat tenang dihadapan orang orang itu.
"Ini mas nasi gorengnya."
Lisna memberikan piring berisi nasi goreng pada Fauzi. Dengan senang hati Fauzi mengambil piring itu dan mengusak lembut kepala Lisna yang terlapis jilbabnya.
Adegan itu membuat Wulan berdehem tiba tiba seolah memberi kode pada Fauzi untuk memperhatikannya juga.
"Kamu mau aku ambilkan nasi goreng, sayang?" Tanya Fauzi pada Wulan.
"Ini untuk kamu Wulan."
Lisna menyodorkan piring berisi nasi goreng berikutnya untuk Wulan. Dengan berat hati Wulan mengambilnya terlebih Fauzi malah menatap Lisna dengan tatapan penuh cinta.
"Queen juga mau yang banyak?" Tanya Lisna kemudian pada si kecil.
"Mau, tapi sedikit saja ibu. Aku tidak suka makan nasi goleng banyak banyak." Ocehnya.
"Ya sudah, ini nasi gorengnya hanya sedikit tuan putri." Ujar Lisna sambil mengulurkan piring itu pada Queen.
"Telimakasih ibu."
"Sama sama, cantik."
Wulan malah terdiam melihat keadaan yang terjadi saat sarapan pertama mereka sebagai keluarga. Rasanya sakit melihat Fauzi yang terus menerus menatap Lisna. Sedangkan Queen juga jadi lebih suka mengobrol dengan Lisna ketimbang dengan dirinya.
"Wulan sayang, kamu kok nggak makan? Kenapa?" Tanya Fauzi yang akhirnya menyadari istri ke duanya itu tidak juga kunjung menyendok nasi goreng dihadapannya.
"Aku tidak suka nasi goreng pakai bawang putih. Dan aku rasa mbak Lisna membuat nasi goreng ini menggunakan bumbu termasuk bawang putih."
Lisna terdiam, dia bahkan berhenti menyuap sarapannya. "Maaf Wulan, aku tidak tahu kalau kamu tidak suka bawang putih. Biar aku buatkan lagi nasi goreng tampa bawang putih."
Lisna berdiri untuk kembali menuju meja konter dapur. Fauzi hanya bisa diam. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Tidak usah mbak. Aku bisa sarapan di kantor saja nanti. Di sana sudah ada kantin yang juga menyediakan menu sarapan."
Langkah Lisna terhenti dan dia berbalik menengok kearah Wulan. "Maafkan aku, Wulan."
"Tidak apa mbak. Jangan meminta maaf padaku.."
"Maafkan Lisna ya, sayang. Dia baru sehari tinggal bersama, jadi belum tahu pasti apa yang kamu dan Queen sukai serta apa yang tidak kalian sukai."
"Iya mas, biasa saja. Kalian jangan meminta maaf terus. Kesannya aku jadi yang paling jahat disini." Gumam Wulan.
uh..ampun dah..
biarkan metrka berusaha dengan keangkuhanya dulu