Bekerja sebagai pelayan di Mansion seorang Mafia???
Grace memutuskan menjadi warga tetap di LA dan bekerja sebagai seorang Maid di sebuah Mansion mewah milik seorang mafia kejam bernama Vincent Douglas. Bukan hanya kejam, pria itu juga haus Seks wow!
Namun siapa sangka kalau Grace pernah bekerja 1 hari untuk berpura-pura menjadi seorang wanita kaya yang bernama Jacqueline serta dibayar dalam jumlah yang cukup dengan syarat berkencan satu malam bersama seorang pria, namun justru itu malah menjeratnya dengan sang Majikannya sendiri, tuanya sendiri yang merupakan seorang Vincent Douglas.
Apakah Grace bisa menyembunyikan wajahnya dari sang tuan saat bekerja? Dia bahkan tidak boleh resign sesuai kontrak kerja.
Mari kita sama-sama berimajinasi ketika warga Indonesia pindah ke luar negeri (〃゚3゚〃)
°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°
Mohon dukungannya ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OMLMM — BAB 32
SYARATNYA ADALAH MEMBUNUH
Sebuah kotak-kotak berukuran besar baru saja digotong masuk ke dalam sebuah truk serta kapal. Jangan tanyakan isi kotak tersebut karena isinya bukanlah benda biasa melainkan senjata-senjata ilegal dari penjuru dunia yang berhasil dikumpulkan dan dijual kembali dengan harga tinggi.
Satu kapal berisi kotak minuman keras ya siap diimpor.
Tepat di siang bolong, tak peduli meski ada beberapa pelaut di sana yang sibuk bekerja, anak buah Vincent masih melakukan pekerjaan sesuai perintah karena nanti malam akan ada pemeriksaan di laut tersebut.
Terlihat seorang pria berkemeja putih dengan lengan terlingkis tengah menghirup udara segar sambil berkacak pinggang, tanpa senyuman. “Haaaahh— Aku suka aroma kesuksesan!” gumam pria berparas tampan dengan sapphire biru bak langit yang kini terbuka kembali.
“Bos!” panggil Jack yang baru tiba memudarkan ketenangan Vin sehingga pria itu berbalik badan seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
Vicente menyipitkan matanya ketika melihat seorang pria tua berambut putih rapi dengan kumis dan brewok yang sepadan sambil menghisap cerutu.
Dia tak sendirian, melainkan ada dua penjaga disisi kanan dan kirinya sehingga nampak sekali kalau pria tua yang biasa disebut sugar Daddy itu adalah orang kaya.
Vincent masih diam ditempatnya dan tak pernah melangkah disaat seseorang ingin menemuinya seperti saat ini.
“Apa kabar Tuan Vincent!” sapa pria tua tadi bernama Markow setelah memberikan cerutunya kepada salah satu bodyguard di sebelahnya.
“Hm.” Balas Vin masih menatapnya.
“Anda tahu maksud kedatanganku kan Tuan Vincent!” ucapnya tersenyum ramah. Vin masih diam, mencerna ucapan pria didepannya itu dengan tatapan tegas, walaupun sebenarnya dia sudah tahu maksud kedatangan pria tersebut.
“Soal—”
Hendak menjawabnya, tiba-tiba kefokusan Vin teralihkan ketika seorang wanita datang ke tempatnya sendirian dengan wajah kesal dan langkah kaki cepat namun tidak sampai berlari.
Seringaian kecil terlihat di sudut bibir Vin saat melihat kedatangan tamu bernama Grace.
Tak cuma Vincent saja yang melihatnya, Jack dan para tamu tadi juga menoleh ke arah Grace yang kini sudah dekat dengan keberadaan pria bernama Vincent.
Tatapan mata Grace yang kesal membuat para pria di sana sungguh bertanya-tanya— siapakah dia? Sehingga berani menatap seorang Vincent Douglas dengan sorot menantang.
Napas Grace memburu saat kini dia berhadapan langsung dengan Vin. Sekilas Grace melirik ke tamu Vin lalu kembali menatap pria itu cukup lama. Dengan sabar pria itu masih menunggunya.
“Aku tidak tahu apa yang kau inginkan. Tapi... Protect me!” ucap Grace sedikit ragu dan tak setuju, namun tak ada lagi yang bisa menolongnya selain pria itu.
Vincent mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.
“Where's the box? (dimana kotaknya)?” tanya Vin yang kini melangkah mendekat sehingga pria itu sedikit menunduk karena tinggi badan mereka yang berbeda.
“Aku membuangnya.”
“Sudah kutemukan.”
Wanita itu terkejut dan menatap balik. Rupanya Vin menyuruh anak buahnya untuk terus memburuknya bahkan kotak persegi panjang itupun sudah ditemukan di tempat sampah pinggir kota.
Tak bisa berbuat apa-apa lagi, Vin masih menatapnya dengan seringaian sedangkan Grace berpaling malas.
Sampai tatapan Vin pudar saat Markow membuka suaranya. “Permisi Tuan Vincent, bagaimana dengan kesepakatan kita? Siapa yang akan membunuhnya? Apakah Anda sendiri atau anak buah Anda?”
“Nope! Tapi dia.” Jawab Vin menggerakkan dagunya sebagai petunjuk.
Mendengar hal itu Grace terkejut begitu juga dengan Markow. Tatapan Vin tak luput dari wanita di depannya yang saat ini terlihat tak terima dengan keputusannya barusan.
“Apa Anda yakin Tuan Vincent? Apa Anda bisa menjamin kalau wanita itu bisa melakukannya tanpa diketahui?” sedikit heran dengan keputusan Vin karena Markow juga sudah membayar mahal mafia itu hanya untuk meminta tolong membunuh seorang politikus beserta seluruh pengawalnya.
Vin menoleh dan menatap tajam sehingga pria tua tadi langsung bungkam.
“Lakukan saja.” Ucapnya.
Markow menoleh ke arah Jack, namun malah mendapat anggukan kecil seakan semuanya akan baik-baik saja sesuai rencana.
Tak butuh waktu lama, pria itu mempercayakan semuanya kepada Vincent dan pamit pergi.
Setelah kepergian pria itu, Grace yang masih kurang paham dengan rencana kedua orang tadi, dia pun akhirnya tak tinggal diam. “Apa maksud semua itu?” tanya wanita cantik dengan dengan kemeja putih ringan dan celana putih.
“Just follow me.” Pinta pria itu berjalan menuju mobilnya.
Grace masih berdiri di tempatnya sehingga hembusan angin terus menerpa dirinya. Sangat kesal dan tak sabaran, Grace pasrah hingga berjalan cepat menuju ke mobil pria sialan tadi.
Mobil hitam Vin melaju cepat saat Grace baru saja masuk. Berapa jantungan nya wanita itu saat Vin menyetir dengan kecepatan bak pembalap mobil. Sangat gila.
Melihat kepergian bosnya, Jack berbalik badan, melepas kacamatanya. “It's not time yet, Jack.” Gumam pria itu menarik napas dalam-dalam lalu memakai kembali kacamata nya dan mulai membantu anak buah Vin lainnya yang masih sibuk dengan kotak-kotak berat itu.
...***...
“Kita mau kemana huh?” tanya Grace yang saat ini nampak tegang karena cara mengemudi Vin yang sungguh tak takut peraturan lalulintas.
“Gedung opera.” Jawab singkat pria itu tanpa menoleh dan masih menatap fokus ke depan.
“Kenapa kita ke sana? Kenapa tidak ke Mansion?”
Wanita memang banyak tanya. Vincent tak memperdulikannya dan terus fokus ke depan sampai Grace lelah sendiri karena semua pertanyaannya tak ada jawaban dari sang pria.
Tak butuh waktu lama. Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
Grace menatap takjub sebuah gedung besar yang belum pernah dia kunjungi semenjak datang ke Los Angeles. Dia tidak akan bisa berkedip dan iya! Grace merasakan insecure karena penampilannya yang sederhana tanpa persiapan.
Ia belum faham bahwa kedatangannya kesana hanya untuk membunuh seorang politikus seperti kemauan Markow.
“Ayo.” Ajak Vin yang baru saja berdiri di samping wanita itu.
Mereka berdua segera masuk ke dalam, pertunjukan yang sebentar lagi akan dimulai. Keadaan ruangan yang begitu gelap karena memang seperti itulah jika ada teater di panggung dalam ruangan karena semua lampu menyorot ke arah panggung.
Sambil tersenyum Grace menatap para penonton yang sudah mengambil tempat duduk mereka.
“Tuan Vincent?” kata seorang penjaga pintu masuk.
“Hm.”
Penjaga itu tersenyum tipis dan mempersilahkan Vin ke tempat VIP. Ya! Di kursi atas, kursi singel VIP. -‘Ini benar-benar luar biasa!’ batin Grace sangat menyukainya.
Pria itu sekilas menoleh ke Grace yang masih menikmati kekagumannya akan opera yang akan dimulai. Sampai di kursinya, senyuman Grace pudar ketika Vin mulai berucap.
“Ekspresi yang bagus untuk mengecoh.” Ucap pria itu membuat Grace menoleh bingung.
“Sebenarnya apa yang kita lakukan di sini?” tanya Grace sekali lagi dan berharap kali ini Vin menjawabnya.
Pria itu mengeluarkan pistol dari dalam kotak persegi panjang yang entah sejak kapan sudah ada di pangkuannya.
kedua mata Grace terbelalak melihat kotak tersebut sampai pria itu benar-benar mengeluarkan pistol dan mengisinya dengan peluru.
“A-a-apa yang akan kau lakukan?” jantung Grace berdetak cepat dan rasa takut mulai menjalar.
“Memangsa.” Jawab pria itu terlihat tenang saat memasukkan pelurunya, tanpa rasa takut jikalau ada penjaga yang melihatnya. Untungnya mereka ada di atas.