Aura, gadis berusia 26 tahun yang selama hidupnya tidak pernah memahami arti cinta.
Karena permintaan keluarga, Aura menyetujui perjodohan dengan Jeno.
Akan tetapi, malam itu akad tak berlanjut, karena Aura yang tiba-tiba menghilang di malam pengantinnya.
Entah apa yang terjadi, hingga keesokan harinya Aura justru terbangun di sebuah kamar bersama Rayyan yang adalah anak dari ART di kediamannya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Rayyan lugas.
Aura berdecih. "Aku tidak butuh pertanggungjawaban darimu, anggap ini tidak pernah terjadi," pungkasnya.
"Lalu, bagaimana jika kamu hamil?"
Aura membeku, pemikirannya belum sampai kesana.
"Tidak akan hamil jika hanya melakukannya satu kali." Aura membuang muka, tak berani menatap netra Rayyan.
"Aku rasa nilai pelajaran biologimu pasti buruk," cibir Rayyan dengan senyum yang tertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Penasaran
Aura kebingungan saat keinginan untuk buang air kecil datang melandanya. Ini semua karena selang kateter nya sudah di lepas sehingga dia harus mengeluarkannya di kamar mandi.
Aura tidak tau Mama dan Papanya ada dimana. Sudah lebih dari setengah jam mereka pergi dan didalam ruangannya masih menyisakan Rayyan saja--yang justru membuat kepala Aura menjadi sangat pusing karena sepertinya dia tidak punya pilihan lain selain meminta pertolongan dari pria tersebut.
Rayyan sendiri sibuk mengontrol pekerjaannya lewat gadget yang masih berada dalam genggamannya, wajahnya tampak serius, tapi sesekali dia melirik Aura untuk memastikan jika perempuan itu baik-baik saja.
Saat Aura ingin memanggil pria itu karena sudah tidak tahan lagi, tiba-tiba dia kembali urung karena gengsinya masih terasa lebih tinggi. Beberapa kali bibir Aura terbuka tapi kemudian mengatup rapat kembali.
Saat Rayyan meliriknya kali ini, pandangan mata mereka bertemu dan pria itu seakan tau jika Aura tengah membutuhkan sesuatu.
"Kamu perlu apa? Udah ngerasa lapar?" Rayyan lebih dulu menyapa gadis yang sudah menjadi istrinya itu, sebab sejak tadi Aura menolak diajak makan dengan alasan belum lapar.
Aura menggeleng. Rasa-rasanya dia benar-benar harus mengatakannya pada Rayyan. Lupakan soal gengsi, daripada harus ngompol disini, pikirnya.
"A-aku mau ke toilet," kata Aura gugup. Akhirnya bibir mungil itu mampu berujar juga, meninggalkan gengsi yang sempat lebih mendominasi.
Rayyan langsung bangkit saat itu juga. Dia mendekati posisi Aura dan ingin membantu gadis itu untuk duduk, lalu berniat menggendongnya sampai kamar mandi.
"Eh, eh, mau ngapain?" Aura langsung protes saat Rayyan hampir saja membawa tubuh Aura dalam gendongan.
"Mau ke kamar mandi, kan? Ya udah, ayo aku bantu."
"Gak pake gendong-gendongan!" desis Aura.
"Terus kamu maunya gimana? Jalan? Emang udah bisa jalan ke kamar mandi?"
Aura mengangguk mantap, yakin dan tampak sangat percaya diri jika dia bisa melakukan itu. Sayangnya, saat kaki Aura hampir menginjak lantai justru dia meringis merasakan nyeri di kepalanya.
"Apa aku bilang, kamu baru di operasi kemarin. Pasti bakal pusing kalau maksain jalan, kamu belum pulih."
Tanpa ba-bi-bu, Rayyan segera menggendong Aura saat itu juga, dia membawa tubuh mungil itu didepan dada bidangnya. Aura refleks mengalungkan tangan ke leher pemuda itu, dia takut terjatuh dan menjadikan leher Rayyan sebagai pegangannya.
Dalam posisinya itu, Aura menatap pada wajah Rayyan yang mulai berjalan sambil menggendongnya dengan hati-hati untuk menuju letak kamar mandi.
Entah kenapa disaat yang sama--Aura justru merasa jika posisinya dan sang pria saat ini menjadi sangat intens. Dan tanpa sengaja Aura malah melihat pria itu yang menyunggingkan senyum hingga membuat lesung di pipinya terlihat.
Aura menggigitt bibirnya sendiri, rasa panas kini menjalari pipinya. Mungkin wajahnya sudah memerah sekarang. Tapi, belum puas ia mengagumi ketampanan ciptaan Tuhan itu, Aura segera dihantam kenyataan bahwa pria yang tengah menggendongnya ini adalah Rayyan. Iya, Rayyan. Kenapa Aura sempat tak sadar jika ini adalah pria yang sama dengan pria yang telah menodainya?
Kini, Aura langsung memejamkan mata rapat-rapat, merutuk diri karena sempat memuji paras Rayyan dalam hati.
Dan saat dia membuka mata, rupanya Aura sudah didudukkan oleh Rayyan diatas kloset duduk yang ada dalam toilet di ruangannya.
"Mau aku tungguin disini atau---"
"Keluar!" sergah Aura langsung.
"Tapi kamu gak apa-apa ditinggal?"
"Kamu tunggu didepan pintu! Jangan lupa tutup pintunya!"
Rayyan mengangguk tanpa banyak protes. Dia meninggalkan Aura saat merasa jika perempuan itu sudah dalam posisi aman dan nyaman.
"Hih, bisa-bisanya dia mau nungguin aku disini. Ya kali dia lihat aku pipis," gumam Aura sebal.
Aura segera menuntaskan keinginan yang sejak tadi sudah tertahan cukup lama. Syukurlah dia tak jadi mengotori bedcover dengan acara ngompol sembarangan.
Aura memanggil Rayyan lagi saat dia sudah selesai dengan hajatnya dan memakai celananya kembali.
Kejadian menggendong harus terjadi kembali. Tapi yang kali ini Aura memejamkan matanya rapat, dia tidak mau kecolongan dan khilaf memuji pemuda itu lagi meski itu hanya dalam hatinya saja.
Lain tadi, lain sekarang, jika saat membuka mata Aura jadi melihat mahakarya Tuhan yang tampan itu, sekarang saat menutup mata dia justru merasa tenang saat menghidu aroma tubuh lelaki yang sama. Rayyan sangat wangi, hingga membuat Aura larut dan seolah ingin berlama-lama diposisinya sekarang.
Akan tetapi, Aura terpaksa mengurungkan keinginannya saat tiba-tiba dia merasakan tubuhnya sudah menyentuh matras hospital bed. Aura pun segera membuka mata dan menghela nafas berat. Benar saja, dia sudah diatas tempat tidurnya lagi sekarang.
Aura berdecak kesal, tapi dia tidak mau mengakui jika itu karena kesenangannya yang harus terhenti tiba-tiba.
"Udah, kan? Kalau perlu apa-apa lagi, bilang, oke?"
Aura melengos, membuang pandangan ke arah depan, sengaja tak mau menyaksikan pemuda itu yang lagi-lagi pamer lesung pipi. Dan lagi dia takut Rayyan menyaksikan rona wajahnya yang mungkin sudah memerah.
Rayyan kembali ke posisi duduknya semula. Di sofa. Tapi matanya masih menatapi Aura yang nampak cuek.
"Gak bilang makasih?" tanya Rayyan dari tempatnya.
"Hah? Ngapain," jawab Aura tak acuh.
"Ya udah kalau gitu." Rayyan mengulas senyum kemudian kembali berkutat dengan ponsel miliknya.
Entah kenapa Aura merasa udara disekitar ruangannya menjadi panas. Apa yang terjadi padanya? Tidak mungkin dia tertarik pada Rayyan, kan? Tidak, tidak, dia hanya merasa, sepertinya dia pernah bertemu Rayyan sebelum hari ini. Bukan saat malam nahas itu, bukan. Bukan juga saat pertama mereka berkenalan. Tapi, kapan? Aura tidak mengingatnya meski dia sudah berusaha mengingat.
"Iya, bagaimana? Sudah dapat infonya tentang gadis itu?"
Suara Rayyan yang menerima panggilan seluler, berhasil membuat Aura membuyarkan pemikirannya. Samar-samar tadi dia mendengar Rayyan menyebut-nyebut soal 'gadis'. Gadis siapa?
Aura ingin kembali mencuri dengar percakapan Rayyan itu, tapi sang pria buru-buru beranjak dan berderap keluar dari dalam ruangan.
Aura mengesahh sebal. Sebenarnya pemuda itu sedang menerima telepon dari siapa?
"Kenapa juga aku mau tau urusannya? Ingat Aura, dia bukan siapa-siapa!" Aura berkata-kata pada dirinya sendiri. Kemudian dia memutuskan untuk memejamkan mata agar rasa ingin tahunya sedikit mereda.
Akan tetapi, ketika Rayyan kembali memasuki ruangan itu lagi, Aura sontak membuka matanya lebar-lebar. Dalam posisinya yang berbaring, Aura melirik pada Rayyan yang tersenyum kecil.
Heh, siapa sebenarnya yang tadi menelpon Rayyan? Kenapa pria itu tampak semringah? Apalagi tadi dia membahas soal gadis? Gadis itu siapa?
Aura larut dalam pemikirannya, tanpa dia sadari jika sebenarnya dia mulai tertarik dan penasaran pada pria diujung sana.
Rayyan menoleh pada Aura, dia merasa sedang ditatapi oleh perempuan itu.
"Kamu mau ke kamar mandi lagi?" tanya Rayyan menebak kembali.
"Enggak." Aura menyahut ketus.
"Jadi? Butuh apa lagi?"
"Gak ada."
"Kamu makan ya, biar nanti bisa minum obat."
"Kalau kamu beneran mau bantu aku, tolong panggilkan Mama dan Papa karena aku gak mau makan sama kamu, aku maunya sama salah satu dari mereka."
Rayyan kembali mengangguk. "Tapi, gak apa-apa kalau aku tinggalin kamu disini sendiri?" tanyanya.
"Ya gak apa-apa lah."
"Ya udah, aku keluar ya, cari Papa sama Mama dulu."
"Telepon aja gak bisa?" Entah kenapa sekarang Aura malah takut ditinggalkan Rayyan sendirian dalam ruangan itu. Hanya takut sendirian, bukan takut Rayyan pergi.
Rayyan menunjukkan ponselnya kearah Aura. "Hp aku lowbet, tadi aja terima telepon gak selesai bicaranya," jelasnya.
Aura mendesis. "Aku gak mau tau tuh," katanya lagi-lagi cuek.
"Ya udah, aku keluar dulu. Kamu jangan coba-coba turun dari tempat tidur, ya. Aku takut kamu jatuh."
"Hmm..."
"Oke."
Rayyan pun keluar dari ruang perawatan Aura dan perempuan itu menatapnya dengan tatapan kesal, namun juga dengan rasa penasaran yang membumbung tinggi dalam hatinya.
...Bersambung ......