" Menikah dengan siapa?! om pamungkas?!!" suara Ratih meninggi, di tatapnya semua anggota keluarganya dengan rasa tak percaya.
" Pamungkas adalah pilihan terbaik untukmu nduk.." suara papanya penuh keyakinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lupakan
Pamungkas tau, Ratih sedang menyimpan kesal padanya, tapi Pamungkas tidak tau apa yang menjadi penyebabnya.
" Kau merasa aku sedang mengganggumu?" tanya Pamungkas heran.
" Tentu saja" jawab Ratih cepat,
" kau merasa terganggu gara gara aku menanyakan kenapa pacarmu tidak kau bawa masuk?" tanya Pamungkas yang sama sekali tidak mengerti apa yang membuat Ratih berubah sinis terhadapnya.
" Wah.. pintar sekali om mencari sumber masalah baru?"
keduanya saling menatap,
" Coba jelaskan apa sesungguhnya yang menjadi ganjalan di hatimu? jika kau berbelit seperti ini mana om tau?"
tanya Pamungkas tetap tenang dan sabar.
" Aku tidak ingin bicara dengan om, jadi pergilah dari kamarku om?!"
" kenapa? kenapa tidak mau bicara padaku?" Pamungkas tetap berdiri di tempatnya.
" Ratih..?" Pamungkas berharap mendapat penjelasan,
" Karena aku tidak mau menghabiskan waktu untuk orang yang tidak bisa menghargai perasaan orang lain" Ratih berjalan ke lemari, mengambil handuknya.
" Aku mau mandi, kalau om mau tetap disini monggo, toh bukan aku yang akan malu..!" Ratih berjalan ke arah pintu kamar mandi,
tapi lagi lagi Pamungkas mencegahnya.
" Apa yang sesungguhnya kau bicarakan Ratih..?
aku pulang setelah satu setengan tahun, berharap akan mendapatkan sikap yang ramah dan baik dari keponakanku?!"
Pamungkas mulai tegas.
" Jangan karena om mu ini bersikap lembek lalu kau boleh berkata dan berbuat semaumu,
orang tuamu tidak bisa tegas padamu, tapi tidak denganku Ratih,"
" Wah.. om menunjukkan taring om padaku?" Ratih tak bergeming dia berdiri di hadapan Pamungkas tanpa gentar sedikitpun.
" Kau liar sekarang, om benar benar tidak suka melihatmu seperti ini.."
mendengar itu Ratih tersenyum sinis.
" Lalu om mau aku bagaimana?"
" Ratih.. om perduli padamu?"
" perduli? perduli om bilang? mana ada orang perduli yang pergi tanpa pamit dan mengacuhkan ku begitu saja, padahal dia sudah menikmati bibirku?!" ujar Ratih tajam.
Pamungkas terbelalak, wajahnya seperti di tampar oleh Ratih.
" Tak apa om tidak meminta maaf padaku, tapi setidaknya om pamit?!"
imbuh Ratih,
Pamungkas sontak tertunduk, ia benar benar malu,
ia tak menyangka apa yang terjadi di sarangan satu setengah tahun yang lalu itu masih belum bisa dilupakan oleh Ratih.
" Maafkan aku Ratih.." ucap Pamungkas mengangkat wajahnya,
" maafkan aku yang sudah bersikap kurang ajar padamu.." imbuhnya pelan.
Di raihnya tangan Ratih,
" Om mengira.
dengan pergi dan tidak membicarakan apapun akan lebih baik untukmu..
jujur saja, om tidak ada muka untuk bertemu denganmu.."
Ratih tak menjawab, ia membuang pandangannya ke arah lain.
" Om salah.. benar benar salah.. tidak seharusnya om begitu padamu..?"
" pergilah om," Ratih belum bisa melepaskan kekesalannya.
" Bagaimana om bisa meninggalkan mu dalam kondisi marah,
apalagi besok om sudah pergi..?"
" lalu om mau aku bagaimana?!" Ratih kesal,
" berjanjilah untuk memaafkanku dan bersikap seperti dulu.."
" enak sekali om?!"
" apa aku harus jujur pada papa mamamu kalau sudah berbuat hal yang.. tidak pantas pada keponakanku?"
" edan?! mau ngomong kalau kita ciuman?!" Ratih melotot,
" aku harus mengakui dosaku.. mereka saudaraku dan orang tuamu.."
Ratih mengatupkan bibirnya gemas.
" Sudah! lupakan saja!" ujarnya kesal,
" toh ciuman om seperti ciuman orang tua.." gerutu Ratih.
" Adikmu mana kok tidak turun turun?, Pamungkas juga?" tanya Adi pada Ana istrinya.
" Ah, tidak tau, kita makan duluan saja.. Hendra lapar..?!" Hendra yang baru saja duduk di kursi makan menyahut.
" Kebiasaanmu.." komentar mamanya,
" ah, mama.. nanti mereka juga turun kalau lapar,
Hendra capek mengecat seharian..?!"
" Kau bilang sudah dapat orang?"
" iya, tapi om menyuruhku mengecat bagian bengkel sendiri,"
" baguslah.." komentar Adi pada putranya,
" seharusnya sejak lulus kau di didik Pamungkas.. atau seharusnya dulu kau kumasukkan tentara juga.."
" duhh! papa mulai, aku sudah bilang jiwaku ini bebas.."
" jadilah burung sana jika kau ingin bebas! sudah tua pikiranmu main dan gonta ganti mobil saja!".
Semakin lama semakin sulit untuk melepaskan Ratih dari pelukannya.
Bibirnya tak henti memberi Ratih pelajaran atas kata kata Ratih yang menggores harga diri Pamungkas sebagai seorang laki laki.
Perempuan yang bertinggi tubuh 156 cm itu seperti hilang di telan tubuh Pamungkas yang tinggi dan tegap.
Hanya jemari tangan Ratih saja yang terlihat mencengkeram erat pinggang Pamungkas.
" Ratih? ratih? cepat turun makan? sekalian panggil om mu suruh turun?!" terdengar suara ibunya di depan pintu kamar Ratih.
Pamungkas sontak melepaskan ciumannya.
" iya ma! mama duluan saja, ratih masih mandi..!" jawab Ratih cepat dengan suara yang masih bergetar.
" Ya sudah!" jawab mamanya, lalu terdengar langkah kaki menjauh.
Mendengar langkah kaki kakak iparnya menjauh ,Pamungkas kembali menangkap bibir Ratih, seperti belum lega laki laki itu menggendong tubuh keponakannya.
Namun di saat ratih mulai pasrah ia terhenti, kesadarannya pulih.
" Aku sudah meminta maaf, tapi aku malah mengulanginya lagi.." keluhnya lirih, sementara Ratih bersandar pasrah di dada Pamungkas.
Perasaan Pamungkas benar benar berantakan sekarang.
" Mari kita lupakan ini Ratih.." ucap Pamungkas pelan, membuat Ratih yang bersandar di dadanya itu menatapnya bingung.
emang kamu pikir si ratih itu ga punya hati apa.....
luka karna dikhianati sama org terdekat itu susah sembuhnya, kamu malah ngerecokin si ratih mulu
slading online juga nih
istri rasa ponakan itu perlu pemahaman yang besar 😆😆