Novel Ketiga
Berdasarkan survei, sedia tisu sebelum membaca😌
--------
Mencintai, lalu melepaskan. Terkadang cinta itu menyakiti, namun membawa kebahagiaan lain di satu sisi. Takdir membawa Diandra Selena melalui semuanya. Merelakan, kemudian meninggalkan.
Namun, senyum menyakitkan selalu berusaha disembunyikan ketika gadis kecil yang menjadi kekuatannya bertahan bertanya," Mama ... apa papa mencintaiku?"
"Tentu saja, tapi papa sudah bahagia."
Diandra terpaksa membawa kedua anaknya demi kebahagiaan lainnya, memisahkan mereka dari sosok papa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka.
Ketika keegoisan dan ego ikut andil di dalamnya, melibatkan kedua makhluk kecil tak berdosa. Mampukah takdir memilih kembali dan menyatukan apa yang telah terpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah Ada Mama
Setelah makan siang bersama kedua anaknya, Dian mulai membereskan isi dapur yang sedikit berantakan. Hal seperti ini seharusnya sudah menjadi kebiasaan para ibu rumah tangga, namun banyak juga yang lebih memilih mempekerjakan pembantu daripada harus repot-repot bekerja sendiri.
Berbeda dengan Dian, meski termasuk kalangan atas yang berkecukupan, ia lebih suka bekerja sendiri menyangkut masalah rumah maupun anak. Kepribadiaannya cukup tertutup sehingga tidak memiliki banyak teman atau kenalan.
Dian menyeka keringat di dahinya dan mengibas-ngibaskan pakaiannya yang terasa gerah. Ia sedikit kelelahan setelah membersihkan perkarangan rumahnya yang luas, lalu dilanjutkan dengan pekerjaan dapur.
Jujur, ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Ia masih gadis remaja yang bahkan baru lulus SMA saat bertemu mantan suaminya, Nico. Ada banyak hal yang ia dapat dan pelajari selama berada di rumah besar itu.
Setelah selesai, Dian beranjak naik ke lantai atas. Ia membersihkan diri terlebih dahulu baru kemudian menemani Emily dan Emilio menyelesaikan tugas sekolahnya.
"Emi." Dian menegur putra kesayangannya yang sibuk dengan tugas sendiri. Anak ini lebih mandiri dibandingkan Emily yang terkadang manja.
"Butuh bantuan?" Duduk disampingnya seraya mengelus kepala Emi lembut.
"Tidak, aku akan mengatakan pada Mama jika ada yang tidak ku mengerti." Dian mengiyakan dengan tersenyum.
"Dimana Lily?" Baru menyadari hanya ada Emi disana.
"Ruang seni."
"Kalau begitu Mama menyusul Lily dulu." Emilio mengangguk.
Ruang seni merupakan salah satu tempat khusus yang disediakan Dian untuk Lily. Putrinya itu memiliki bakat dalam hal melukis serta bermain piano, bahkan gadis kecil itu selalu membawa buku gambarnya kemana-mana. Namun, satu hal yang selalu membuat Dian sedih. Lily begitu gemar melukis maupun menggambar sosok papanya.
Seperti sekarang, ketika ia masuk, ia sudah disuguhi pemandangan Lily yang memegang kuas dan kanvas. Gadis itu nampak serius melukis setiap detail wajah sang papa.
Dian tak pernah melarang anak-anaknya dalam mengenali papa mereka. Ia tidak ingin egois sehingga anak-anaknya tidak tahu papa mereka sendiri. Tak ingin mengganggu, Dian hanya mengitari ruang seni hingga ia berhenti di depan sebuah figura besar. Figura yang menampilkan sepasang wanita dan pria yang mengenakan pakaian pengantin.
Dian tersenyum. Sudah tujuh tahun, apa yang pria ini lakukan sekarang? Apa masih mengingat dirinya?
Aku menyimpan foto ini untuk Emily dan Emilio, agar mereka yakin jika mereka memiliki papa.
"Mama! Lihat ini." Lily dengan senang menunjukkan lukisan barunya. Dian sedikit terkejut dengan lukisan Lily kali ini.
"Lily ... apa yang kau gambar?" Pasalnya putrinya itu melukis dirinya, Nico, bahkan dirinya sendiri serta Emilio layaknya keluarga bahagia.
Melihat raut wajah ibunya yang berbeda, Lily menunduk takut. Ia hanya ingin memiliki keluarga lengkap meski hanya dalam sebuah lukisan. Ia tahu jika keinginan itu takkan terwujud, tapi tak ada salahnya bermimpi, kan?
"Maaf, Mama," cicitnya menyesal.
Dian menarik nafas pelan, mengatur emosinya agar tidak membuat Lily takut. Ia bukan lagi gadis remaja yang bisa melepaskan emosinya sembarangan, tapi ia seorang ibu yang harus sabar mendidik anak-anaknya.
"No. It's okay. Lukisan Lily sangat bagus, Mama suka!"
Lily yang menunduk langsung tersenyum cerah. "Sungguh?" Dian mengangguk.
"Ini hanya akan menjadi rahasia kita saja, Mama. Kita harus selalu bahagia dengan cara masing-masing."
Lily selalu mencoba mengingat apa yang diajarkan Dian, termasuk bahagia dengan cara masing-masing. Ia tidak akan merusak kebahagiaan sang papa hanya karena dirinya menginginkan orang tua lengkap. Lily yang manja namun pengertian.
"Mama tidak boleh sedih ya meski tidak ada papa. Kan sudah ada kakak dan Lily yang mencintai Mama." Lily tahu jika Dian sering menyembunyikan kesedihannya, berpura-pura bahagia di depan mereka.
Dian tak sanggup menahan diri. Air matanya mengalir pelan namun bibirnya tetap melengkungkan senyuman untuk sang buah hati. "Itu sebabnya Lily juga tidak boleh sedih. Bukankah ada kakak dan Mama yang mencintai Lily juga?" Lily tersenyum lebar dan memeluk Dian erat.
"Benar. Tidak apa-apa tidak ada papa. Kan sudah ada Mama." Suara bocah laki-laki menyahuti keduanya. Dian terkekeh dan membawa Emi ikut kepelukannya.
Terima kasih telah mengirimkan malaikat kecil ini padaku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...