Karena dendam pada Seorang pria yang di yakini merebut wanita pujaannya sejak kecil, Alvino Maladeva akhirnya berencana membalas dendam pada pria itu melalui keluarga tersayang pria tersebut.
Syifana Mahendra, gadis lugu berusia delapan belas tahun yang memutuskan menerima pinangan kekasih yang baru saja di temui olehnya. Awalnya Syifana mengira laki-laki itu tulus mencintainya hingga setelah menikah dirinya justru mengetahui bahwa ia hanya di jadikan alat balas dendam oleh sang suami pada Kakak satu-satunya.
Lalu, apakah Syifana akan terus bertahan dengan rumah tangga yang berlandaskan Balas Dendam tersebut? Ataukah justru pergi melarikan diri dari kekejaman suaminya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurma Azalia Miftahpoenya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syifana menghilang
Begitu sampai di rumah duka, Aldev turun dari mobil dan segera menggendong sang istri yang belum juga tersadar. Laki-laki itu membawa sang istri ke dalam kamar mereka. Dia terlihat begitu telaten mengurus sang istri yang dia tahu bahwa gadis itu masih terpukul, atas kepergian ibunya.
"Fana, bangun." Aldev mendekatkan botol minyak aromatherapi untuk membangunkan sang istri.
Tidak memakan waktu lama, Syifana terbangun dari pingsannya. Gadis itu melihat sekeliling, dia sudah berada di kamar miliknya. Pandangan Syifana menatap lurus ke depan, akan tetapi Aldev tahu bahwa istrinya itu tengah melamun.
Mungkin gadis remaja itu masih bernostalgia dengan kenangannya bersama sang ibu. Aldev tahu itu, untuk itu pria yang baru saja resmi menjabat sebagai seorang suami itu tidak ingin mengganggu sang istri.
"Kamu disini dulu, yah! Biar aku ambilkan makanan." Aldev pergi meninggalkan Syifana seorang diri.
Laki-laki itu turun ke bawah, melihat keadaan sekitar. Rumah besar itu tidak memiliki satupun pekerja yang mengurus rumah ataupun orang-orangnya. Karena memikirkan keadaan sang istri yang terlihat sangat lemah, akhirnya pria itu memutuskan untuk memasak makanan untuk istrinya.
Dia melangkah menuju dapur, memakai celemek agar pakaiannya tidak terkena cipratan kotoran yang meninggalkan noda bandel. Sebenarnya, Aldev bisa saja menyuruh salah satu anak buahnya untuk mencarikan pembantu di rumah sang mertua, tetapi dia yang merupakan orang baru di tempat itu, merasa tidak berhak untuk memutuskan hal tersebut.
Laki-laki itu mengambil segelas beras, lalu memasaknya menjadi sebuah makanan halus yang mudah untuk di telan, bahkan oleh bayi sekalipun.
30 menit berada di dapur untuk membuatkan semangkok bubur untuk sang istri. Begitu masakannya sudah matang, Aldev segera membawa masakan yang dia buat itu ke kamar.
Pria dewasa itu masuk ke dalam kamar, tetapi saat melihat di dalam kamar itu tidak ada tanda-tanda keberadaan sang istri. Dia melangkah cepat untuk meletakkan nampan berisi makanan dan juga teh hangat buatannya di atas nakas.
Memeriksa kamar mandi, siapa tahu istrinya itu tengah buang air atau membersihkan diri. Namun, nyatanya kamar mandi kosong. Aldev kembali menutup pintu kamar mandi, lalu keluar dari kamar. Dia berkeliling rumah besar keluarga Mahendra, tanpa bertanya pada siapapun. Karena tampaknya rumah itu sepi, mungkin penghuninya tengah berusaha berdamai dengan diri sendiri atas kehilangan seorang ibu rumah tangga yang berperan besar dalam jalannya rumah tangga itu.
Pria gagah itu melangkah mengitari rumah, hingga dia sampai di halaman paling belakang rumah tersebut. Sekilas dia melihat ada orang yang duduk di kursi taman di pekarangan itu. Dia segera mendekati tempat itu, untuk memastikan siapakah yang berada di sana.
Aldev menghembuskan nafas lega, ketika melihat sang istri duduk sendirian disana. Dia bahkan hampir frustasi untuk mencari keberadaan sang istri yang tiba-tiba menghilang.
"Fana." Aldev menyentuh bahu sang istri dengan lembut.
Gadis itu tidak merespon, masih tetap asik menatap ke depan. Banyak berjejer bunga indah di tempat itu. Mulai dari bunga sederhana hingga yang berharga fantastis.
"Sudahlah, Fana. Dengan kamu seperti ini, itu hanya membuat Ibumu semakin sedih. Dunia tetap akan berputar, ada atau tanpa adanya beliau. Kamu seharusnya lebih bisa mengontrol diri, bukankah setiap yang bernyawa, pasti akan mengalami kematian?"
Syifana baru saja tersadar dari lamunannya, gadis itu menoleh ke arah sang suami yang tengah berkata dengan bijak. Itu sedikit menghibur hatinya, meskipun itu tidak akan mengubah keadaan.
"Bang Vino pernah kehilangan seseorang?" tanya gadis itu dengan suara lemah.
Aldev tersenyum kecut saat mendapat pertanyaan itu dari istrinya. Tentu saja dia sering kehilangan, entah itu karena kematian atau karena takdir yang tidak berpihak padanya.
"Kamu tahu, Fana, baru beberapa Minggu yang lalu aku kehilangan ayahku."
"Maaf, Bang," Syifana langsung merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, Fana. Kamu berhak tahu tentang mertuamu," ujar Aldev dengan senyum tipis tercetak di bibirnya.
Syifana mengangguk. "Bang, boleh Fana pinjam bahu Abang sebentar?" tanya Syifana memberanikan diri.
"Tentu saja, semua yang ada padaku adalah milik kamu." Aldev langsung menarik Syifana untuk bersandar di bahu bidangnya.
Gadis remaja itu memejamkan matanya, kembali mengusap mata yang akan menumpahkan air dari sana. Dia sudah cukup lama menangis, itu akan membuat keluarganya ikut merasakan beban selain sama-sama berusaha merelakan kepergian sang ibu.
"Bang, di tempat ini, banyak sekali kenangan Fana bersama Ibu. Karena Fana belum bekerja, jadi setiap pulang sekolah, ibu selalu mengajak Fana untuk menanam bunga. Abang tahu, bunga kesukaan ibu adalah bunga Daisy." Syifana menunjuk deretan pot bunga yang terlihat bunga Daisy tengah bermekaran.
"Bunga yang indah, cantik, seperti istriku." Aldev menatap sang istri yang masih setia menyandarkan kepala di bahunya.
Gadis yang baru saja menyandang gelar seorang istri itu hanya membalas pujian suaminya dengan senyuman tipis. Dia tahu sang suami tengah berusaha menghiburnya.
"Fana, sekarang kita kembali ke kamar, yah!"
"Mau apa, Bang? Fana masih ingin di sini," tolak Syifana dengan lembut.
"Kamu harus makan, Fana. Kalau kamu tidak mau berjalan, baiklah. Akan aku gendong sampai ke kamar," ancam Aldev.
Syifana membenarkan posisinya menjadi tegak. "Malu, Bang. Kalau di lihat orang, dan lagi, Fana itu berat!" ujar gadis itu.
Aldev memicingkan matanya. "Kata siapa berat? Kamu kira, aku tidak akan kuat menggendongmu?"
"Tentu saja, tidak!" Syifana bangkit dan menjulurkan lidahnya.
Gadis itu berjalan meninggalkan suaminya sendirian di tempat itu. Melangkah semakin jauh dari tempat sang suami duduk. Laki-laki itu belum beranjak, hanya seringai licik yang tercetak di bibir tipisnya.
"Kita tunggu tanggal mainnya,"
Bersambung...