"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Pisah Kamar
Dua hari setelah pernikahan kami, Mas Erik mengajak ku pindah ke rumah pribadinya. Sore itu aku segera berkemas memasukkan baju dan barang pribadiku ke dalam koper besar. Sebenarnya agak berat pisah rumah dengan orang tua dan harus tinggal berdua bersama Mas Erik. Terlebih ada jarak nyata antara aku dan Mas Erik meski kami sudah menikah. Jarak yang di buat Mas Erik membuat ku merasa asing dengan status pernikahan kami.
"Sudah selesai.?" Suara berat Mas Erik membuyarkan lamunan. Aku mendongak untuk menatap wajah pria yang berdiri menjulang di depanku.
"Sudah,," Kataku. Segera ku tutup koper yang sudah terisi penuh oleh baju-baju serba tertutup dan kerudung.
"Cuma ini.?" Mas Eric tampak heran melihat ku hanya menyiapkan 1 koper untuk di bawa ke rumahnya.
"Aku tidak punya banyak baju. Lagipula tidak selamanya aku tinggal dengan Mas Erik kan.?." Aku mengukir senyum penuh arti, Mas Erik pasti paham maksud ucapanku. Dia pun pasti berharap pernikahan kami bertahan sementara agar dia dan kekasihnya bisa hidup bersama.
"Ayo, aku ada pekerjaan yang harus di selesaikan malam ini." Mas Erik mengambil alih koper dari tanganku dan membawanya keluar kamar. Aku buru-buru mengekorinya untuk berpamitan pada Bapak dan Ibu, lalu dengan anggota keluarga yang lain.
...*****...
"Bapak titip Bulan ya nak Erik." Wajah keriput Bapak tampak berbinar ketika bicara pada Mas Erik. Sebahagia itukah orangtua ku karna putrinya menikah dengan Mas Erik.? Pada kenyataannya Mas Erik memang memiliki daya tarik lebih di mata para orang tua. Pria itu terkenal sopan, baik dan bertanggungjawab. Kerja kerasnya juga tidak perlu di ragukan lagi. Bahkan di usianya yang baru 30 tahun, Mas Erik sukses dengan kariernya di sebuah perusahaan kontruksi terbesar di Ibu kota.
"Bulan sudah jadi tanggungjawab saya, Pak. Sudah pasti saya akan menjaga dan melindungi Bulan. Bapak sama Ibu tidak usah khawatir." Mas Erik tersenyum meyakinkan pada kedua orangtua ku.
Lihat, bagaimana orangtua ku tidak bangga dan bahagia memiliki menantu bermulut manis seperti Mas Erik. Dia pandai menarik hati Bapak dan Ibu hingga mereka sangat bersemangat ketika menjodohkan kami. Di mata mereka, hanya Mas Erik,yang pantas menjadi pendamping hidupku.
"Bulan masih butuh bimbingan dan arahan. Seandainya melakukan kesalahan, tolong di nasehati baik-baik, jangan di bentak atau di kasari. Hatinya terlalu lembut, tidak bisa di bentak sedikit saja." Mama merangkul dan membawaku dalam dekapannya ketika berpesan pada Mas Erik. Aku bisa merasakan suara Ibu bergetar menahan tangis. Beliau pasti berat melepaskan anak perempuan satu-satunya.
Aku tiga bersaudara, Kakak laki-laki ku sudah menikah dan tinggal di luar kota. Aku juga punya adik laki-laki yang masih kuliah, dia masih tinggal di rumah ini.
Aku bisa melihat Mas Erik mengangguk kecil, artinya dia menyanggupi perkataan Ibu. Walaupun dia hanya pura-pura.
...*******...
Perjalanan dari rumah orangtua ku ke rumah Mas Erik memakan waktu sekitar 2 jam. Kami sampai di komplek perumahan Elit. Rumah di depan jalan utama komplek ini hanya di beri pagar terbuka dengan tinggi sekitar 2 meter. Aku sempat terdiam di samping mobil dan mengamati rumah lantai 3 dengan gaya Eropa yang didominasi warna putih. Ada 4 pilar yang menjulang tinggi, tersambung dengan balkon lantai 2.
Tak lama, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah dan menyambut ramah kedatangan kami.
"Malam Pak Erik. Selamat atas pernikahannya. Bibi sebenarnya ingin datang, tapi anak Bibi sakit. Baru tadi siang Bibi sampai disini." Sapanya ramah.
"Tidak masalah Bik." Jawab Mas Erik, pria itu kemudian beralih membuka bagasi untuk menurunkan koper.
"Ini Bu Rembulan kan.? Ternyata lebih cantik dari bayangan Bibi. Mana pakai kerudung, Pak Erik pintar memilih istri solehah." Ujarnya dengan senyum ramah yang tak pernah luntur.
"Saya Bik Asih, Bu. Sudah 1 tahun terakhir kerja di rumah Pak Erik." Beliau mengulurkan tangan padaku, aku menerima uluran tangannya untuk berjabat tangan.
Aku jadi ikut senyum-senyum mendengar Bik Asih berceloteh hampir tanpa jeda.
"Salam kenal Bik Asih. Panggil Bulan saja, tidak usah pakai embel-embel Bu. Saya merasa sangat tua di panggil Bu." Jawabku seraya terkekeh kecil.
"Tapi tidak sopan cuma panggil nama. Saya jadi sungkan,," Tolak Bik Asih sopan.
"Panggil Bulan saja Bik, Bulan mungkin tidak nyaman di panggil Ibu." Suara tegas Mas Erik mengakhiri sesi perkenalan ku dengan Bik Asih. Kemi bertiga kemudian masuk ke dalam rumah.
Mas Erik membawaku ke lantai 2. Dia masih setia membawakan koper milikku. Aku akui Mas Erik memang baik dan bertanggungjawab, dia bahkan tidak membiarkanku mengangkat koper besar itu.
"Ini kamar kamu,," Katanya setelah membuka pintu kamar. Aku menatapnya dengan dahi berkerut.
"Maksud Mas Erik, kita akan pisah kamar.?" Tanyaku memastikan.
"Memangnya kamu berharap kita tidur satu kamar.? Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak menyentuhmu, jadi lebih baik memang pisah kamar." Mas Erik menarik koper ku ke dalam kamar, lalu keluar lagi setelah meletakkannya di dekat pintu.
"Kamar ku ada di sebelah, tapi aku tidak mengijinkan siapapun masuk ke dalam, termasuk kamu. Bik Asih juga tidak pernah masuk ke kamarku." Katanya memberi tau. Aku sempat melirik sekilas ke kamar sebelah, lalu kembali menatap wajah Mas Erik.
"Baik, aku sangat paham."
"Terimakasih sudah memberiku tumpangan untuk tempat tinggal. Aku masuk dulu,," Tanpa menunggu jawaban dari Mas Erik, aku menyelonong masuk ke dalam kamar dan menguncinya.
...******...
Flashback
"Maaf Mas Arlan, Bapak sudah menyiapkan calon imam untukku. 2 minggu lagi kami akan menikah."
Bisa ku lihat keterkejutan di wajah Mas Arlan ketika aku mengatakan akan menikah dengan pria lain. Ada gurat kecewa di matanya, namun Mas Arlan masih terdiam menatap netraku lekat-lekat.
Di antara aku dan Mas Arlan memang tidak ada hubungan. Pria 29 tahun itu juga belum mengikat ku. Orangtua ku bahkan tidak mengenal Mas Arlan. Tapi pria yang berprofesi sebagai Dokter itu sempat mengutarakan ingin melamarku setelah mendapat restu dari orang tuanya. Tapi hingga 4 bulan lamanya kami berteman, Mas Arlan tak kunjung diberi restu. Mungkin orangtua Mas Arlan punya kriteria calon menantu sendiri, tentunya bukan aku.
"Bagaimana kepribadiannya.? Apa dia pria yang baik.?"
Tanya Mas Arlan setelah cukup lama terdiam karna sibuk dengan pikirannya sendiri.
"InsyaAllah. Bapak dan Ibu selalu memuji kepribadiannya." Aku menundukkan pandangan karna tidak tega melihat ekspresi wajah sendu Mas Arlan.
"Lalu Bagaimana perasaan Bulan dengan pria itu.? Kamu tertarik.?" Mas Arlan masih bisa bicara santai, padahal aku bisa melihat kerisauan dalam sorot matanya.
"Itu hanya soal waktu. Aku hanya berusaha menuruti perkataan Bapak dan Ibu." Lirih ku.
Mas Arlan tampak mengangguk paham.
"Semoga dia bisa menjadi imam yang baik untuk kamu." Ucapnya. Tampak senyum yang dipaksakan mengembang di bibir Mas Arlan. Pria itu kemudian pamit pergi.
Aku hanya bisa menghela nafas saat mengingat hari itu, rasanya tidak tega melihat kehancuran di mata Mas Arlan, sedangkan dia tidak bisa berbuat apa-apa.
semoga bisa update 2 bab kak🥰