HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Menerima keadaan, terkadang jalan hidup kedepan tak sesuai apa yang diinginkan. Ekspetasi dan realita bertolak belakang bahkan batin yang berakhir tertekan.
Tidur dalam genggamaan ketakutan, pada nyatanya hingga selarut ini Kanaya belum tidur juga. Deru napas Ibra terdengar begitu halus, menandakan pria itu sudah terlelap sejak tadi.
Kanaya berusaha memejamkan matanya, namun entah kenapa jiwanya justru meminta untuk menghadap ke depan walau sebentar saja. Hanya untuk beberapa waktu saja, dan dia juga bingung kenapa bisikan itu benar-benar mengusik pikirannya.
"Manis sekali."
Pada akhirnya, kini Kanaya sudah merubah posisi tidurnya. Beruntung saja Ibra sudah begitu lelap, tidur dengan menghadap Kanaya dan wanita itu kini dapat memandangi prianya dengan leluasa.
Bibirnya yang kini kalem luar biasa, seakan tak percaya bibir itu akan kerap berbicara semaunya jika nyawanya sudah terkumpul. Kanaya menarik sudut bibir, pertemuannya dengan Ibra selalu berakhir di tempat tidur.
Lucu sekali, meski dengan situasi yang berbeda, lagi-lagi hal itu ia rasakan kembali. Tanpa kegiatan yang mengarah ke sana, dan malam ini Kanaya merasakan Ibra yang berbeda.
Ibra yang melindungi dan rela jatuh berdarah demi mempertanggung jawabkan perbuatannya. Perbuatan yang bisa dikatakan adalah salah Kanaya, bukan karena Ibra curi kesempatan.
Andai saja Ibra tak jujur, luka itu takkan pernah ada tentu saja. Jemarinya mulai berusaha menyentuh memar di wajah Ibrahim, itu tentu sangat sakit.
Abygail bukan pria sembarangan, keahlian bela diri kakaknya patut diacungi jempol sejak sekolah. Begitupun dengan Adrian, namun anehnya Ibra justru tak melawan ketika disiksa Abygail namun justru meradang ketika berhadapan dengan Adrian.
"Harusnya kamu melawan, setidaknya wajahmu tidak warna-warni, Ibra."
Kanaya mengucapkan itu dengan lembut, pelan dan hati-hati takut saja jika nanti Ibra malah terbangun dan justru menjadi perangkap kedua untuk Kanaya.
Garis wajah yang luar biasa sempurna, memang benar bahwa nikmat Tuhan memang tidak bisa didustakan. Selama ini Kanaya memiliki hubungan baik dengan para pria tampan, namun tidak setampan Ibra tentu saja.
Batinnya bergejolak, jemari yang tadinya menelusuri luka dan memar di wajah, kini berganti pada jemari Ibra. Jemari yang sigap menarik pergelangan tangannya ketika keluarganya memperlakukan Kanaya seburuk itu.
Menawan, kenapa sekarang Kanaya justru mengagumi. Telapak tangan Ibra begitu berbeda dengan miliknya yang hanya selebar daun bayam muda.
Sekali tampar mungkin penuh sewajah, tiba-tiba saja Kanaya merasakan linu ketika mengingat bagaimana Ibra menampar dan memukul Adrian tanpa jeda. Huft, terpikir bagaimana nasib kakaknya itu kini.
Puas dengan apa yang menjadi sasarannya, kini Kanaya dapat merasakan kantuk yang perlahan menjadi betah dan mulai tertidur lelap.
Menarik selimut hingga leher dan kembali membelakangi Ibra, jelas saja dia tidak mau terua berhadapan, takutnya Ibra akan terbangun dan melakukan hal sebaliknya, pikir Kanaya.
"Hm, curang sekali."
Ibra menarik sudut bibir kini, matanya terbuka pelan namun mendapati di depannya gundukan selimut. Malam hari hatinya merasa berdebar sekaligus jantung itu ingin loncat dari tempatnya, sentuhan Kanaya yang sempat menelusuri wajahnya membuat Ibra berdesir saat ini.
"Ibra jangan gila, tepati janjimu padanya." Sontak Ibra memukul pelan kepalanya, tak bersuara karena takut Kanaya akan mendengar ulahnya.
-
.
.
.
Pagi-pagi sekali, matahari belum meninggi namun ketika terbangun Ibra sontak duduk dan mengedarkan pandangannya ke kanan kiri. Panik sekali kala meraba tempat tidurnya yang sudah kosong, belum lagi kala ia menatap sofa yang juga sama-sama kosong.
"Nay ... Kanaya, kamu dimana?"
Segera Ibra bangkit dan melempar selimutnya, bahkan pria itu mengecek lantai di sebelah ranjang, takut-takut jika Kanaya justru terjatuh dalam tidurnya.
"Kanaya ... Astaga, kemana dia?" Ibra bermonolog dan sembari mondar mandir tak jelas.
Sabar sekali bukan dia? Baru juga dua menit terbangun dan sudah uring-uringan ketika sadar wanita itu tidak berada di sisinya. Pria itu mengacak rambutnya, dan semakin kesal lagi Ibra ketika melihat ponsel Naya tetap utuh di dekat sofa.
"Kanaya ... Kamu di dalem?" teriak Ibra mengetuk pintu kamar mandi, memang otaknya sudah lari dari tempatnya, setelah beberapa menit baru dia sadar dan mencari Kanaya di sini.
Ceklek
"Ya Tuhan," desis Ibra lega luar biasa ketika melihat kembali wajah Kanaya yang tampak segar di depannya.
"Kenapa?" tanya Kanaya bingung, sejak tadi memang ia dengar tapi tidak mengira bahwa Ibra akan seperti ini.
"Tidak ada ... aku pikir kau pergi," ujarnya datar dan kini masuk ke kamar mandi dengan raut wajah masam, sungguh pemandangan yang sangat menarik, kekaguman tadi malam hilang sudah.
"Pergi kemana? Bahkan untuk menemui Lorenza rasanya aku tidak punya muka," ujar Kanaya tersenyum getir, berbicara sendiri walau Ibra takkan lagi mendengarnya.
**TBC
Votenya bestie jika berkenan buat Ibra, kali dia masuk 200 besar🌻 maaciw**.