Revisi PUEBI
Diminta oleh orang tuanya untuk menyelesaikan persoalan hutang keluarga serta harus mengganti rugi dari kerusakan mobil yang Aruna tabrak.
Manakah takdir yang dipilih untuk menyelesaikan persoalannya. Menjadi istri muda Broto sebagai pelunasan hutang atau menjalani One Night Stand dengan Ben agar urusan ganti rugi mobil selesai. Juga cinta Alan pada Aruna yang terhalang status sosial.
Manakah pilihan yang diambil Aruna ? Dengan siapakah Aruna akan menjalani hidup bahagia penuh cinta. Ben atau Alan ? Ikuti terus kisah Aruna
Cerita ini hanya kehaluan author untuk hiburan para pembaca. Silahkan ambil pesan yang baik dan tinggalkan yang buruk.
ig : dtyas_dtyas
fb : dtyas auliah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jakarta dan Aruna
Abil dan Una tiba di kantin, suasana sudah ramai. Melewati beberapa meja yang sudah penuh, banyak yang melihat ke arah Una sambil berbisik bisik.
'Mungkin ini fans garis keras yang dimaksud Abil,' gumam Una
Tiba-tiba salah satu ada yang berceletuk "Cantik sih, tapi sana sini nemplok."
"Sugar baby kali ya."
Una hendak berbalik ke arah suara, namun Abil langsung merangkul bahunya. Kejadian tersebut disimak juga dari meja tempat para manajemen perusahaan, termasuk Vino dan Dimas.
Una sudah tidak berselera dengan makanan di depannya.
"Udah enggak usah dipikiranlah, mending cepet dihabisin tuh makanan. Perlu tenaga untuk hadapi cobaan hidup," ujar Abil sambil terkekeh. Una hanya menjawab dengan berdecak.
Sepertinya ide Meisya patut diikuti, cari calon suami lalu menikah dimana kebutuhan istri jadi tanggung jawab suami, enggak perlu ribet dan capek cari uang. Pendapat yang bersifat pro dan kontra, namun dengan kondisinya Una saat ini dirinya akan cenderung pro dengan pendapat Meisya.
Saat ini Una sudah memasuki lobby apartement Alan, ia ingin memperbaiki hubungannya dengan sang kekasih. Sebagai pasangan mereka cukup aneh, kadang berhari hari tidak saling berkabar, bertemu pun jarang.
Berdiri di depan unit Alan, Una ragu untuk menekan bel. Una sudah mengetahui pass code dari pintu digital tersebut, akhirnya ia menekan beberapa angka sambil berharap Alan belum menggantinya.
Berhasil, Alan belum mengganti pass codenya. Tampak semua ruangan dengan kondisi lampu menyala, berarti si pemilik memang ada di tempat.
Una meletakan tas kerjanya di atas meja tamu, matanya menatap sekeliling saat ia mendengar suara-suara aneh. Khawatir terjadi sesuatu pada Alan ia bergegas menuju sumber suara yang berasal dari kamar Alan.
Una terpaku di depan pintu kamar Alan yang pintunya tidak tertutup penuh, suara-suara aneh itu bukan hanya suara laki-laki namun juga suara perempuan saling bersahutan. Seperti suara mendesah, Una memejamkan mata sejenak untuk membuang pikiran negatif yang muncul. Walaupun dia dan Alan tidak pernah macam-macam namun suara itu mengingatkan malam yang pernah ia lewati dengan Ben.
Dengan jantung yang berdetak, tangannya sedikit tremor ia melangkah mendekati pintu, memegang handlenya dan mendorong ke arah dalam agar terbuka. Una menutup mulut dengan kedua tangan saat menyaksikan Alan berada di atas tubuh seorang wanita, keduanya tanpa busana dimana Alan sedang memaju mundurkan tubuhnya. Suara ******* keluar dari keduanya.
"Shiittt, Ka Alaannnn," teriak Una mengejutkan pasangan tersebut.
Kedua orang itu terkejut, Alan segera bangkit mencari penutup tubuhnya, mengejar Una yang hampir membuka pintu untuk keluar. Menarik siku salah satu tangan Una.
"Aruna, jangan pergi."
Una menghempaskan tangan Alan namun cengkramannya sangat kuat hingga Una harus pasrah untuk mendengar Alan bicara. Wanita yang bersama Alan keluar dari kamar dengan pakaian lengkapnya, Una menoleh sekilas merasa insecure karena wanita itu sangat cantik dengan postur tubuh yang tinggi dan bentuk tubuh terlihat seksi karena dress yang ia kenakan.
"Bye Alan, kamu tau kemana harus mencari aku kan," ucapnya
"Hahh" seru Aruna tidak menyangka dengan kalimat yang diucapkan wanita itu
"Just go, Clara."
Alan mengajak Aruna duduk, dengan tangan dilipat di dada serta wajah tidak menatap Alan.
"Oke, aku salah Na. Tapi kamu harus tau kalau aku laki-laki normal. Kamu itu kekasih aku Na, tapi pegang tangan aja kita enggak pernah. Komunikasi kita enggak bagus dan bertemu juga jarang."
"Masalah komunikasi itu kesalahan kita berdua jangan menyudutkan aku. Masalah kebutuhan biologismu itu belum tanggung jawab aku untuk memenuhinya dan bukan berarti kamu bisa seenaknya dengan perempuan lain. Harusnya kamu itu cepat nikah."
"Kamunya enggak mau."
"Apa pernah tanya?"
"Kita belum dapat restu Na."
"Dari pihak kamu, sejak awal aku sudah bilang masalahnya pasti restu. Aku bukan siapa-siapa, keluargamu enggak akan setuju."
Alan terdiam, memang sejak dia mendekati Aruna, gadis itu sudah menyampaikan kemungkinan hambatan di masa depan.
"Kita bisa perjuangkan Na "
"Kak Alan, kalaupun hubungan kita dalam kondisi baik dan direstui keluarga, tapi bukan berarti aku akan toleransi dengan adegan kalian tadi."
"Come on Na, dia bukan siapa-siapa."
"Lalu aku harus tutup mata dengan kejadian tadi."
"Tapi aku ingin kamu tetap sama aku Na, kamu harus jadi istri aku. Karena aku tahu kamu gadis baik-baik."
"Hah, jadi laki-laki brengsek pun tetap mencari perempuan yang baik. Kayaknya kita beda pemikiran kak, maaf ka aku enggak bisa teruskan ini."
Alan menarik tangan Una "Kenapa kamu bersikeras kita berakhir ?"
"Harusnya kamu tanya diri sendiri."
"Atau kamu sudah ada yang lain, kamu duakan aku Na."
"Enggak ada kak."
Alan semakin mencengkram erat tangan Una "Atau kamu tidak selugu yang aku kira ya. Kamu udah enggak pera_wan Na ?" Tanya Alan
Una menatap mata Alan, "Lepasin Kak"
"Jawab Una," bentak Alan
Una terkejut dengan suara Alan dengan oktaf lebih tinggi dan intonasi yang berbeda, matanya mengembun mengingat alasan dia kehilangan mahkotanya. Tidak mungkin ia menjelaskannya pada Alan.
"Kenapa diam, apa aku benar." Alan tertawa, cengkramannya sudah ia lepaskan. "Ternyata keluguanmu hanya menutupi kekuranganmu. Munafik."
Una menatap benci kepada Alan
"Posisi kita sama Na, aku sudah pernah menyentuh orang lain dan kamu sudah tersentuh orang lain."
Air mata Una meluruh, ia merasa direndahkan oleh pernyataan Alan. "Kak, kita sudah selesai. It's over," ucap Una meninggalkan Alan.
Una berjalan gontai, menuju rumah kost tempatnya selama ini tinggal. Saat masih kuliah dulu ketika mengalami masalah atau sedang galau, Meisya adalah tempatnya mengadu. Namun sekarang berbeda Meisya sudah berkeluarga tidak mungkin dia berlari kesana dan menumpahkan keluh kesahnya.
Rindu, ia rindu kehangatan keluarganya. Kondisi keluarganya bukan dalam kategori harmonis, sejak 4 tahun lalu dia memutuskan tinggal terpisah dengan keluarganya.
Merebahkan dirinya pada ranjang yang ada pada kamar kostnya. Tanpa membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.
Ditempat lain, Bian sedang menunggu penjemputan atasannya. Ben Chandra menginjakan kakinya di Jakarta dijemput oleh orang kepercayaannya.
Bian menunggu diapartemen yang disiapkan untuk Ben, memastikan semuanya sudah siap termasuk pakaian-pakaian sang pimpinannya.
"Welcome home," ucap Bian pada Ben.
Ben hanya tersenyum lalu mereka berpelukan sebagai ungkapan persahabatan dan symbol saling mengucapkan terima kasih.
"Kirain pulang udah bawa gandengan."
"Ck, belum ada yang cocok."
"4 tahun di Singapur, masa enggak ada yang klik. Jangan-jangan belum move on nih."
Ben menatap ke jendela apartemennya, tampak suasana jakarta saat malam.
"Okey, silahkan istrahat dulu. Tenang aja, Jakarta enggak banyak berubah kok," ucap Bian lalu meninggalkan Ben.
'Ya, Jakarta tidak berubah tapi apakah Aruna berubah' gumam Ben
Perjodohan Arini
Suami absurd
Suami rupa madu mulut racun