Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Leon melangkah masuk ke ruang tamu dengan langkah berat, menyeret tubuh seorang pria yang tampak babak belur. Tubuh pria itu terjerat di bawah cengkeraman Leon, dan saat sampai di hadapan Arina dan Althea yang duduk terdiam, Leon melemparkan tubuh pria tersebut ke lantai tanpa ampun.
Pria itu tergeletak dengan tubuh lemah, napasnya terengah-engah. Arina hanya bisa memandang dengan wajah pucat, sementara Althea menatapnya dengan ekspresi bingung dan ketakutan.
Reina, yang duduk dengan sikap tenang, melihat ke arah tubuh pria itu, lalu menatap Leon dengan sorot mata yang penuh ejekan. "Wah~ Ayah dapat mainan baru, ya? Kok nggak ngajak? Kau memang pria tua yang menyebalkan!" katanya sambil melipat tangan di dada, mencibir dengan suara penuh ketidakpedulian.
Leon hanya menatap Reina sekilas, tidak terpengaruh oleh sindiran itu. "Aku lupa," jawabnya dengan nada datar, seolah-olah apa yang baru saja terjadi hanyalah hal sepele.
Leon kemudian memandang tubuh pria yang tergeletak, lalu menatap Arina dengan tajam. "Dia harusnya bisa mendidik istri dan anaknya dengan benar. Bukan membiarkannya menjadi pelacur murahan," ujarnya dengan suara yang dipenuhi rasa jijik. "Lagipula, sejak awal aku tidak berniat menikah untuk mencarikan ibu pengganti untukmu, Reina."
Suasana di ruang tamu menjadi kaku. Arina yang mendengar kata-kata itu hanya bisa menunduk, wajahnya dipenuhi perasaan malu yang mendalam. Althea yang tadinya bingung kini tampak cemas, tidak tahu harus berkata apa.
Reina mengangkat alis, matanya tak pernah lepas dari Leon. "Jadi, Ayah selama ini cuma melindungiku saja?" katanya dengan nada mengejek. "Ternyata Ayah memang lebih paham daripada yang lain."
Leon menatap Reina tanpa ekspresi. "Aku melindungimu, Reina. Bukan karena aku ingin jadi orang baik. Itu hanya karena kau memang milikku, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak apa yang sudah aku bangun."
Di sisi lain, Arina hanya bisa menahan amarah yang hampir meledak, namun dia tahu, tak ada yang bisa dia lakukan lagi. Dalam situasi ini, kata-kata atau tindakan apapun hanya akan memperburuk keadaan.
Reina tersenyum ceria sambil melangkah mendekati pria yang tergeletak tak berdaya di lantai. Ekspresi riangnya tampak begitu kontras dengan kekejaman di matanya. Gadis itu tertawa kecil, kemudian tanpa ragu menginjak kepala pria itu dengan sepatu botnya, menciptakan suara benturan yang memekakkan telinga.
“Ya ampun, Ayah. Aku tidak menyangka mereka memainkan kita selama dua tahun. Apakah kita terlalu murah hati?” ucapnya dengan nada santai, hampir seperti sedang bercanda.
Leon yang bersandar di dinding hanya menatapnya dengan alis terangkat. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ada ekspresi samar di wajahnya—sebuah kekhawatiran yang enggan diakui.
Reina membungkuk sedikit, menatap pria itu dengan seringai lebar. “Sayang sekali, matanya bagus. Bagaimana kalau aku ambil satu? Pasti menarik melihat dia jadi seperti monster sungguhan. Cocok dengan perangainya yang selama ini tidak peduli pada anak-istrinya yang hidup seperti pelacur di rumah ini.”
Kalimat itu menusuk telinga semua orang di ruangan. Althea yang duduk mematung hanya bisa menggigit bibir, menahan diri untuk tidak berbicara. Arina, di sisi lain, langsung melompat dari tempatnya, wajahnya memerah karena marah dan malu.
“Reina! Apa yang kau lakukan?!” teriak Arina, suaranya melengking dengan penuh emosi.
Reina menoleh ke arahnya dengan tenang, senyumnya perlahan berubah menjadi seringai dingin. “Apa yang kulakukan?” Dia menatap Arina dengan tatapan menusuk, lalu menginjak kepala pria itu lebih keras hingga pria itu mengerang kesakitan. “Tentu saja aku mengembalikan apa yang kau lakukan padaku, Arina. Kau pikir aku lupa bagaimana kau menghancurkan hidupku?”
Arina mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar hebat. Dia membuka mulut untuk membalas, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Leon akhirnya bergerak, berjalan perlahan ke arah Reina. Dia menarik napas panjang sebelum berbicara dengan nada dingin. “Reina, cukup.”
Reina menatap Leon, seringainya masih menghiasi wajahnya. “Cukup? Ayah, bukankah ini balasan yang pantas untuk seseorang yang mencoba menjadikan keluarga kita permainan? Kau tahu aku tidak suka setengah-setengah.”
Leon menatap gadis itu dalam-dalam, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik senyuman dinginnya. “Aku bilang cukup,” ulangnya, kali ini lebih tegas.
Reina mendengus pelan, lalu mengangkat kakinya dari kepala pria itu. “Baiklah, Ayah. Kali ini aku nurut. Tapi hanya kali ini.” Dia melangkah pergi dengan santai, meninggalkan suasana tegang di ruang tamu itu.
✨
Leon menghela napas panjang, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Tidak ada yang salah, setidaknya menurutnya. Dia selalu mencurahkan rasa sayangnya pada Reina sebelum Arina dan Althea datang ke dalam hidup mereka, mengacak-acak tatanan yang selama ini sudah ia bangun. Drama dan kekacauan yang mereka bawa benar-benar menguji kesabarannya.
Namun, mungkin dia telah melewatkan sesuatu. Mungkin trauma masa kecil Reina—perlakuan buruk dari keluarga kandungnya—masih membekas hingga kini. Leon tahu betul bagaimana Reina dulu tumbuh dalam rasa sakit yang sulit ia bayangkan. Gadis kecil itu kini telah menjadi seorang remaja cantik dan tangguh, meski dengan sarkasme yang seringkali bahkan lebih tajam dari miliknya sendiri.
Leon mengakui dalam hatinya: dia bukan pria yang baik, apalagi seorang ayah yang sempurna. Setelah mengetahui kebohongan Arina, dia tidak bisa menahan rasa kecewanya. Kata-kata tajam sering meluncur begitu saja dari mulutnya. Kini, ia hanya bisa menatap Reina yang sedang menendang tubuh pria yang tergeletak di lantai—pria yang menjadi alasan kehidupan damai mereka berakhir.
Pemandangan itu membuat Leon merasa asing. Reina yang dulu ia kenal kini menjadi lebih kasar, bahkan brutal.
“Reina,” panggilnya sambil menghela napas. Ada kelelahan dan sedikit keraguan dalam suaranya. “Kadang aku berpikir, apa yang salah dengan caraku membesarkanmu.”
Reina berhenti, gadis itu menoleh dan menatapnya dalam diam sejenak. Tatapan gadis itu tidak terbaca, namun senyum manis perlahan menghiasi wajahnya—senyum yang sangat jarang Leon lihat.
“Salah?” katanya santai. “Tidak ada, Ayah. Aku tumbuh jadi wanita independen yang tahu cara bertahan hidup.”
Leon menggeleng pelan, setengah tidak percaya. Ia teringat semua kekacauan yang Reina buat selama ini. “Tapi kau juga suka membuat lelucon gelap dan memukul orang tanpa alasan.”
Reina mengangkat bahu dengan santai. “Itu kan bagian dari genetika, Ayah. Aku cuma meneruskan tradisi keluarga.”
Leon mendengus pelan, setengah tertawa, setengah frustasi. Ia mengusap wajahnya, berusaha meredam rasa lelah yang semakin dalam. “...Tradisi keluarga, ya? Kalau begitu, aku bangga sekaligus takut pada saat yang sama.”
Reina terkekeh, lalu melangkah mendekati Leon. “Bangga itu cukup, Ayah. Takutnya jangan terlalu besar. Lagipula, kau sendiri yang mengajarkanku untuk tidak takut menghadapi dunia, kan?”
Leon hanya bisa memandang Reina, merasa dirinya terjebak antara kelegaan dan kekhawatiran. Gadis itu memang benar-benar seperti dirinya—hanya lebih sarkastis, lebih keras, dan mungkin... lebih patah di dalam.
✨
Leon menarik alat bantu pendengarannya dengan gerakan kasar, lalu menginjaknya hingga hancur. Suara retakan yang tajam mengisi udara, membuat Althea, Reina, dan Arina yang ada di ruangan itu terdiam dengan tatapan sulit dipercaya.
Reina, dengan sikap ceria yang kontras, mendekat ke arah Leon sambil menatap alat bantu pendengaran yang sudah hancur itu. "Ah, sepertinya alat itu perlu diganti, Ayah," ucapnya dengan nada ringan, meskipun suasana yang tercipta jauh dari kata ringan.
Leon melepas masker yang menutupi wajahnya, memperlihatkan sisi wajah tampannya yang kini dihiasi bekas luka bakar yang mulai memudar. Arina, yang selama ini tidak mengetahui tentang luka tersebut, terkejut dan membelalak. Pandangannya beralih antara Leon dan wajah yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
"Kenapa kau menipuku, Leon?" teriak Arina, emosi yang sudah terkendali selama ini pecah. Suaranya tinggi dan penuh amarah. "Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?"
Leon menatapnya tajam, suaranya dingin dan penuh penekanan. "Aku tidak menipumu, Arina. Inilah kenyataannya. Kau yang terlalu terpaku pada imajinasi bodohmu. Kau pikir aku tidak tahu?"
Arina terdiam, mulutnya terbuka tapi tak ada kata yang bisa keluar. Rasa marahnya bergulir menjadi kekesalan yang tak tertahankan. Namun, sebelum ia bisa melontarkan lebih banyak perkataan, suara lembut Althea terdengar dari samping, terisak.
"Bu, sudah hentikan! Apa ibu tidak lelah seperti ini, Bu?!" seru Althea, suaranya penuh dengan kesedihan dan keputusasaan. Gadis itu menatap ibunya, wajahnya dipenuhi ketidakmengertian. Althea merasa hancur mengetahui bahwa ibunya telah memanipulasi keadaan demi keuntungan pribadi, sementara ia—anak yang tak tahu apa-apa—menjadi korban dari semua ini.
Arina menatap putrinya dengan tajam, tubuhnya bergetar dengan marah. "Diam kamu, Althea! Kamu itu sama sekali nggak membantu!" teriaknya.
Namun, Althea tak bisa lagi menahan amarah dan rasa sakitnya. "Seharusnya Ibu yang sadar diri! Aku capek tahu nggak!" teriaknya kembali, air mata mengalir di pipinya. "Ibu hanya sibuk dengan diri sendiri dan melupakan aku! Ayah juga sama! Nggak peduli dengan aku dan sibuk di luaran sana! Kalian berdua egois tau nggak!"
Tak ada jawaban dari Arina. Satu-satunya yang terdengar adalah suara keras ketika Arina menampar wajah Althea.
"Plak!"
Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat Althea terhuyung mundur, matanya membelalak tak percaya.
"Ibu benar-benar jahat!" Althea berteriak, suaranya pecah, kebingungannya berubah menjadi rasa kecewa yang dalam. "Aku kecewa sama Ibu!" Gadis itu lalu berbalik, meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi, melangkah keluar dengan langkah cepat dan penuh kebingungan.
Saat berada di ambang pintu, Althea melirik ke arah ayah kandungnya yang masih terkapar tak berdaya, wajahnya tampak lelah dan penuh luka. Dengan langkah berat, ia berhenti sejenak dan menatap pria itu dengan tatapan penuh kekecewaan. "Seharusnya, pukulan dari Om Leon bisa menyadarkanmu, Pa," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar, "Tapi, Reina benar. Kalian terlalu egois. Kalian melupakan aku sebagai anak dan sibuk dengan banyak simpanan kalian di luaran sana."
Althea terdiam sejenak, air mata mulai mengalir perlahan dari sudut matanya. "Andai aku memilih, aku lebih malu punya orang tua seperti kalian," lanjutnya dengan suara yang semakin serak, penuh rasa sakit yang mendalam.
Pria itu, yang terbaring lemah, mencoba memanggilnya, "Althea..." suaranya lirih, penuh penyesalan. Namun, Althea hanya menatapnya sekali lagi, seolah tak bisa lagi menahan semua perasaan yang terpendam.
"Aku tahu, selama ini aku udah mengganggu Om Leon," kata Althea pelan, namun tegas, "Tapi, seharusnya Ibu tahu diri juga." Setelah berkata demikian, Althea berbalik dan meninggalkan ruangan itu, langkahnya penuh dengan kebingungan dan kesedihan, meninggalkan keheningan yang menghantui mereka yang masih ada di dalam.