Bagaimana perasaanmu jika kamu di madu di saat pernikahanmu baru berumur sepekan? Itu yang aku alami, aku di madu, suamiku menikahi kekasihnya yang teramat di cinta olehnya.
Aku tak pernah dianggap istri olehnya, meski aku istri pertamanya. Namun cintanya hanya untuk istri keduanya
Aku menjalani pernikahan ini dengan begitu berat. mungkin ini cara ku untuk membalas kebaikan pada Ayah Mas Alan, beliau begitu baik membiayai kuliahku selalu menjaga dan melindungiku setelah Ayah dan Ibuku meninggal saat diriku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
Aku tak habis pikir jika kisah hidupku akan serumit ini, di tinggal orang tua, menikah pun di madu. Sungguh tragis kisah hidupku.
Hingga akhirnya Ayah sangat membenci Mas Alan setelah tahu kelakuan anaknya, dan Ayah membawaku pergi jauh dari kehidupan Mas Alan dan Maduku setelah aku dan Mas Alan bercerai.
Cerita ini karena terinspirasi tapi bukan plagiat! Bacalah, dan temukan perbedaannya🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winda W.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 3. Bukan istri tapi orang Lain
Hari sabtu waktunya libur kerja, biasanya di hari libur seperti ini aku akan menghabiskan waktu seharian bersama sahabatku Lena. Kami berdua banyak menghabiskan waktu untuk sekedar nonton di bioskop makan makan. Aku dan Lena sama sama penyuka film bollywood dan drama korea.
Aku sudah rapi dan siap untuk pergi bareng Lena, melepas penat sepekan bekerja. Itung itung menghilangkan kejenuhan di rumah yang penuh keharmonisan Lala dan Mas Alan.
"Nia, kamu mau pergi juga?" tanya gadis ayu di depanku yang juga berpakaian rapi. Dia sungguh sempurna wajah beralaskan bedak tipis, bibir terpoles lipstick berwarna pink. Dan dia memakai dress warna putih dan mengenakan flatshoes dengan warna yang senada. Rambut yang di gerai membuatnya semakin cantik, Satu kata untuknya 'Cantik'.
"iya, ingin menenangkan pikiran," jawabku jujur.
"kamu mau kemana? sama siapa? Gimana kalau berangkatnya bareng aku dan Mas Alan biar seru?" ajaknya bersahabat. Ku melirik ke arah Mas Alan yang tengah duduk di sofa dengan memainkan ponselnya tanpa melihatku. huhhh dinginnya wajah itu.
"tidak La, aku lebih suka naik motor kesayangku sendiri," tolakku halus.
"tapi Nia...," ucapannya terpotong oleh Mas Alan.
"sudahlah sayang," suara yang begitu lembut dari mulut Mas Alan. Kelembutan yang hanya dia berikan pada Lala.
"jangan mencampuri urusan orang lain, kita ada acara sendiri sayang. Biarkan dia pergi sendiri," cetusnya tanpa peduli bagaimana perasaanku.
Orang lain? Mas Alan menganggapku orang lain dan benar benar tidak menganggapku istrinya. Jangan tanya lagi, hatiku jelas sakit sekali.
Aku pun berlalu pergi meninggalkan rumah dengan mengendarai motor kesayanganku. Dengan pikiran yang tak karuan aku hampir hampir terjatuh saat ada nenek nenek menyebrangi jalan, untung saja aku masih bisa mengendalikan kemudiku.
"nenek tidak apa apa?" tanyaku cemas.
"tidak apa apa neng, maafin nenek ya nyebrang gak liat liat kanan kiri dulu," ucap nenek.
"nenek gak salah, saya yang salah nek. Gak hati hati saat mengendarai motor,"
"nenek yang salah neng, seharusnya nenek nunggu jalanan sepi dulu baru nyebrang. Nenek malah nyebrang dan lari gitu aja saat banyak kendaraan lewat," ya memang benar nenek nyebrang dan lari saat masih banyak kendaraan lewat.
"nenek gak salah, nenek mau kemana aku antar mau gak nek?" tanyaku mengalihkan agar nenek tak menyalahkan dirinya sendiri terus.
"nenek mau pulang, itu rumah nenek udah deket neng. Ayo kalau eneng mau mampir ke rumah nenek,"
"lain kali aja nek, aku pasti akan mampir nanti. Maaf ya nek aku lagi buru buru jadi gak bisa mampir," tolakku halus.
"gak apa apa neng, lain kali mampir ya. Nanti nenek kenalin sama cucu nenek,"
"iya nek, nanti aku pasti mampir. Aku pergi dulu ya nek," ucapku mengulurkan tangan pada nenek.
Aku mengendarai motorku kembali, menuju tempat Lena. Ku parkirkan motorku di depan kontrakan Lena.
"pagi Bu Basir," sapaku pada tetangga kontrakan Lena.
"pagi neng Nia cantik," sapanya ramah.
Aku tersenyum pada Bu Basir, dia sangat ramah begitu juga Ibu Ibu di kontrakan ini.
"assalamu'alakum," ucap salamku saat memasuki kontrakan Lena.
"waalaikumsalam," jawab Lena.
Air mata yang tadi tertahan, kini pun tak terbendung juga. Kulihat wajah Lena yang penuh ke khawatiran terhadapku.
"Nia, kamu kenapa?," tanyanya yang langsung memeluk tubuhku.
Aku masih diam dan terus menangis, Lena mengajaku untuk duduk dan memberiku minum.
"Nia, kamu kenapa nangis seperti ini? apa yang terjadi dan siap yang membuatmu nangis Nia," tanyanya panjang lebar, dia begitu perduli denganku.
"Mas Alan Len," ucapku dengan suara gemetar dan masih sesegukan.
"Mas Alan kenapa, dia menyakitimu lagi?"
"aku sudah terbiasa dengan rasa sakit itu Len, tapi ini lebih menyakitkan dari perlakuan dingin Mas Alan Len,"
"lalu apa Nia?"
"Mas Alan menganggapku orang lain Len, dia tidak menganggapku istrinya. Aku tidak masalah tidak di sentuh olehnya Len, mungkin dia jijik dengan diriku yang buruk rupa. Tapi saat dia bilang aku ini orang lain itu sungguh sungguh sangat sakit Len,"
"Alan benar benar keterlaluan Nia," ucap Lena geram dan mengepalkan kedua tangannya.
"Len malam ini aku boleh tidak nginap di sini?" tanyaku dan kuseka air mataku dengan pelan.
"tentu boleh, sebaiknya kamu tenangin dulu pikiranmu ya," tangannya dengan lembut mengusap usap pundakku.
"makasih ya Len, kau memang teman terbaikku. Maafin aku ya, udah sering ngerepotin kamu terus," kutatap mata indah milik Lena.
"kita kan sahabat, suka duka akan tetap bersama. Kita harus saling tolong menolong bukan," kita pun tertawa bersama.
"gitu dong, kau harus tetap tersenyum Nia," ucapnya lalu memelukku kembali.
"apa kau akan tetap melanjutkan pernikahan ini?,"
"entah Len, sampai kapan aku mampu bertahan. Aku masih bingung, aku mencemaskan kesehatan Ayah Len. Bagaimana pun aku menjalani pernikahan ini demi Ayah, dia satu satu orang tua yang ku punya Len, meskipun hanya Ayah mertua. Tapi beliau begitu menyayangiku Len, beliau dulu selalu menjagaku agar aku selalu baik baik saja. Jahat bukan jika aku membuat beliau sakit, hanya pernikahan ini yang beliau inginkan Len," ucapku panjang lebar.
"aku paham Nia, tapi terkadang memikirkan perasaan sendiri juga penting Nia. Aku tak bisa melihatmu seperti ini tersiksa demi menjaga hati seseorang yang sudah baik padamu. Rasanya ini tidaklah adil buatmu Nia, kau pantas bahagia Nia," kata kata yang sangat menyentuhku dan air mata meluncur kembali di pipiku.
Dia sahabat yang begitu menyayangiku dan sangat mengerti perasaanku, aku bersyukur mempunyai sahabat seperti Lena. 'Bahagia' kata kata sahabatku yang masih terngiang ngiang di telingaku. Apa mungkin bahagia itu akan ku rasakan kembali seperti bahagia saat bersama Ayah dan Ibu dulu.
Mereka selalu menyayangiku, tak pernah membiarkan orang lain menyakitiku. Andai Ayah dan Ibu masih ada, hidupku takkan sepahit ini. Mereka takkan membiarkan ku tersakiti apa lagi oleh Mas Alan. "ohh Ayah Ibu, anakmu merindukan kasih sayangmu".
Matahari yang fajar tadi memunculkan diri dari timur kini dia membenamkan dirinya di barat. Setelah sholat maghrib aku dan Lena memutuskan untuk keluar makan malam.
Hari ini aku dan Lena tak keluar jalan jalan seperti biasa, kami hanya menonton drama korea dan hollywood di laptop milik Lena.
Aku dan Lena sudah berada di warung tenda pinggir jalan, suasana yang sangat asyik buatku. Karna bisa melihat kendaraan lewat sambil makan.
Malam yang sangat indah, namun tak seindah hatiku.
Bintang berkerlap kerlip indah, namun tidak dengan hatiku.
Sinar Bulan terpancar indah, sedang hatiku terpancar luka tak berdarah.
Makanan sudah tersaji, aku dan Lena memakannya bersamaan. Lena tersenyum melihatku yang sudah sedikit tenang.
krn lala wujud iblis berbentuk manusia.
lala sudah menghancurkan pernikahan nia dan alan.