Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Ivanna tampak sibuk menjelaskan poin-poin penting tentang proyek baru di perusahaan Leon. Namun, perhatian Aldi terlihat melayang entah ke mana. Sesekali, ia melirik ke arah Althea dan Reina yang tampak santai mencatat beberapa hal penting, seolah tak terganggu oleh ketidakfokusannya.
Leon duduk di ujung meja, tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Tatapan tajamnya tertuju pada mantan kakak iparnya. Ia tahu alasan Aldi hadir dalam pertemuan ini—perusahaan Asaga sedang terdesak dan membutuhkan suntikan dana besar. Namun, sikap Aldi yang tidak profesional semakin memperburuk kesan buruk Leon terhadap pria itu.
Reina, yang duduk di sebelah Leon, terlihat tenang dan terkendali. Sesekali, dia mengajukan pendapat yang cerdas dan terukur, menunjukkan kecerdasan yang tidak diragukan lagi. Althea, di sisi lain, menyimak presentasi Ivanna dengan penuh semangat. Bahkan, dia tak ragu ikut berdebat jika ada poin yang menurutnya perlu diperbaiki.
Leon merasa bangga melihat dua putri angkatnya menunjukkan kemampuan mereka. Keduanya berhasil mencuri perhatian, membuat pertemuan yang awalnya membosankan menjadi lebih hidup. Sebaliknya, Aldi tetap terjebak dalam lamunannya, seakan terputus dari dunia nyata.
Rapat pun akhirnya ditutup oleh Leon. Aldi yang tampak baru menyadari situasinya terlihat kebingungan. Reina yang bisa membaca pikiran ayah kandung dari tubuh yang kini ia miliki, menyeringai kecil. Dia mendekat ke Leon, membisikkan sesuatu sambil tersenyum licik.
"Ayah, kupikir dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri untuk memahami presentasi ini. Tapi jangan khawatir, Althea sudah mengumpulkan beberapa informasi yang kita butuhkan," bisiknya pelan namun penuh arti.
Leon melirik Althea dengan ekspresi tegas. "Althea, aku ingin mendengar penjelasanmu," katanya tiba-tiba, membuat gadis itu terperangah.
"Penjelasan? Tentang apa, Om?" tanya Althea dengan nada ragu, wajahnya mencerminkan kebingungan.
Leon berdiri, gestur tubuhnya menunjukkan kewibawaan. "Ikut aku," ucapnya datar sambil meninggalkan ruang rapat. Althea yang kini kebingungan, segera mengikuti langkah ayah tiri tidak resminya dengan tergesa-gesa.
Reina menghela napas pelan, mengamati kepergian mereka sebelum menoleh pada Ivanna. "Om Ivan, apa kita sudah selesai?" tanyanya santai sambil melirik Aldi yang masih terlihat seperti orang bodoh, jelas baru sadar dari lamunan panjangnya.
Ivanna tersenyum tipis sambil merapikan berkas-berkas di mejanya. "Sudah, Nona Reina."
"Kalau begitu, ayo kita keluar ruangan," ujar Reina sambil berdiri. "Aku lapar," lanjutnya dengan nada santai.
✨
Leon melirik Althea yang berdiri di sebelahnya dengan gugup, sementara ekor matanya menangkap cahaya dari kamera ponsel seseorang. Refleksnya bekerja cepat. Ia menoleh dan mendapati seorang pria diam-diam mengambil foto Althea. Wajah pria itu tampak tidak asing, namun Leon tidak ingin berspekulasi.
Dalam satu gerakan cepat, Leon merampas ponsel pria tersebut, membuat pria itu tersentak. "Hei! Apa yang kau lakukan?!" teriak pria itu dengan nada marah.
Leon mengabaikannya, memeriksa foto di galeri ponsel itu. Benar saja, ada beberapa gambar Althea yang diambil diam-diam, termasuk satu gambar Leon dan Althea dalam posisi yang bisa disalahartikan. Wajah Leon berubah dingin, dan tatapan tajamnya menghujam pria itu tanpa ampun.
"Seharusnya aku yang bertanya," ujar Leon, suaranya tajam dan penuh intimidasi. "Apa maksudmu mengambil foto kami seperti ini? Apa kau sedang tidak ada kerjaan lain, atau memang otakmu tak bisa membedakan tindakan yang pantas dan tidak pantas?"
Pria itu mulai gelisah, berkeringat di bawah aura intimidasi Leon. "T-tunggu, itu tidak seperti yang kau pikirkan!" dalihnya tergagap.
Althea, yang memperhatikan keributan dari jarak dekat, mendekat untuk mengintip layar ponsel. Saat melihat gambar tersebut, senyum licik tersungging di wajahnya. Namun, dalam sekejap, dia mengganti ekspresinya menjadi sedih, dengan mata berkaca-kaca.
Lift di belakang mereka terbuka, memperlihatkan beberapa orang penting di perusahaan Leon yang kini menyaksikan kejadian itu. Althea tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan suara pelan namun cukup jelas, ia berkata, "Aku nggak nyangka Om tega membuat fitnah tentang aku dan Ayah. Apa karena aku nggak mirip Ayah, Om? Apa aku terlihat seperti orang lain di matamu?"
Pria itu tampak semakin panik, sementara perhatian beberapa orang mulai teralihkan pada percakapan mereka.
"Ayah," lanjut Althea dengan suara memelas, "kenapa ya, Om ini suka menyebarkan fitnah yang tidak masuk akal? Aku juga putrimu, kan? Tapi dia malah berpikir kalau aku punya niat buruk. Aku nggak ngerti..." Suaranya pecah seolah menahan tangis.
Pria itu kehilangan kendali. "Kembalikan ponselku!" bentaknya dengan marah. Namun, posisinya semakin tersudut.
Leon menatap pria itu dengan senyum tipis penuh ancaman. "Setelah mengambil foto kami tanpa izin, kau ingin marah? Beraninya kau. Kalau kau tidak menghapus foto-foto ini, aku dengan senang hati akan melaporkanmu—bukan hanya soal privasi, tapi juga kasus pelecehan dan mungkin, perdagangan manusia. Dari pose ini saja, sudah cukup kuat untuk membuka investigasi."
Wajah pria itu pucat. Leon menghapus foto-foto tersebut dari ponsel pria itu sebelum mengembalikannya dengan gerakan lambat, penuh tekanan. "Kali ini, kau selamat. Tapi jika aku bertemu lagi denganmu dalam situasi serupa, jangan berharap aku hanya berbicara. Aku punya dua putri. Kalau bukan aku yang bertindak, Reina pasti akan menyelesaikannya dengan caranya sendiri."
Althea menyembunyikan senyumnya di balik ekspresi sedih yang dibuat-buat. "Ya ampun, Ayah... Apa karena aku ikut Ayah dalam rapat ini, dia berpikir aku berasal dari tempat yang tidak pantas? Dia jahat sekali."
Leon memberikan isyarat pada Althea untuk mengikutinya. "Kita pergi," katanya singkat. Pria itu hanya bisa terdiam, menelan kekalahan, sementara Althea dengan patuh mengikuti langkah Leon keluar dari tempat kejadian.
Setelah keluar dari area lift, Leon dan Althea melangkah ke lorong yang lebih sepi. Suasana berubah lebih tenang, namun aura ketegangan masih melekat di sekitar mereka. Leon berjalan dengan sikap dingin dan tegas, sementara Althea memasang senyum tipis yang nyaris sulit diartikan.
"Jelaskan," ucap Leon tiba-tiba, menghentikan langkahnya dan menatap Althea dengan serius. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan tadi? Kau bermain dengan situasi ini?"
Althea mendongak, matanya berbinar ceria meskipun suasana masih menegangkan. "Apa maksud Ayah? Aku hanya mencoba melindungi diri dari fitnah, tentu saja," jawabnya sambil tersenyum penuh kepolosan yang dibuat-buat. "Lagipula, bukankah itu efektif? Pria tadi bahkan tidak bisa membela diri lagi."
Leon mendengus pelan, menahan senyum yang hampir muncul. "Kau menikmati ini, ya?"
Althea mengangkat bahu, melangkah di samping Leon dengan santai. "Menikmati? Tentu saja. Tapi, Ayah, aku melakukannya untuk kita. Bayangkan saja, kalau dia menyebarkan foto itu tanpa konteks. Bisa jadi masalah besar untuk Ayah dan aku." Suaranya sedikit melembut, memperlihatkan sisi tulus di balik sikap manipulatifnya.
Leon menghela napas panjang, kemudian meraih bahu Althea dengan lembut. "Hati-hati, Thea. Dunia ini penuh orang licik. Jangan terlalu percaya diri sampai lupa melindungi dirimu sendiri. Aku tidak akan selalu ada untuk membereskan semuanya."
Althea tersenyum kecil, kali ini lebih tulus. "Aku tahu, Ayah. Tapi aku juga tahu kalau Ayah nggak akan tinggal diam kalau sesuatu terjadi padaku. Sama seperti aku, yang nggak akan tinggal diam kalau seseorang mencoba menyakiti Ayah."
Leon menatap putri angkatnya sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi ingat, jangan main-main dengan situasi serius seperti ini. Kalau Reina tahu, aku yakin dia akan lebih berbahaya dari pria tadi."
Althea tertawa kecil, membayangkan Reina yang bisa saja langsung mengambil tindakan fisik tanpa banyak basa-basi. "Reina? Ah, aku yakin dia malah akan membuat pria itu minta maaf sambil menangis."
Leon tersenyum tipis, lalu mengusap kepala Althea dengan lembut. "Ayo kita pergi makan. Aku yakin Reina sudah tidak sabar menunggu kita."
Althea mengangguk antusias. Mereka melanjutkan langkah mereka, meninggalkan ketegangan tadi dengan rasa lega yang perlahan menghangatkan suasana di antara mereka.
✨
"Aku dengar dari Reina, kau memiliki informasi tentang perusahaan keluarga Asaga," ucap Leon, matanya melirik sekilas ke arah Althea yang duduk dengan santai di sebelahnya.
"Ah, itu, ya," jawab Althea sambil tersenyum cerah. "Benar, Ayah. Aku menemukan beberapa hal menarik tentang perusahaan itu. Mereka menggelapkan dana perusahaan dalam jumlah besar, menjalin kerja sama gelap dengan perusahaan lain, lalu memanipulasi data produk mereka. Dan masih banyak lagi," jelasnya sambil mengeluarkan sebuah flashdisk dari slimbag ungu muda kesayangannya. "Data lengkapnya ada di sini," lanjutnya, menyerahkan flashdisk itu pada Leon.
Leon menerima flashdisk itu dan menyelipkannya ke saku jasnya tanpa berkata apa-apa. Namun, manik hijaunya sesekali melirik Althea yang tengah memandang keluar jendela, menikmati pemandangan malam kota dengan senyuman kecil di wajahnya.
"Daripada terus memanggilku 'Om' atau 'Ayah' secara bergantian, panggil aku 'Ayah' saja, seperti biasa," ujar Leon tiba-tiba. "Kau sudah resmi tercatat dalam kartu keluargaku. Kecuali nama Arina, tentu saja. Aku tidak pernah menikahinya karena dia menjebakku. Jangan sampai kau mengikuti jejaknya di masa depan, Thea."
Althea menoleh, tersenyum tipis. "Baik, Ayah," jawabnya lembut.
Tak lama, mereka tiba di sebuah kafe pinggir laut. Leon memarkirkan mobilnya dengan rapi, lalu keduanya keluar. Namun, suara deru mobil lain yang melaju kencang terdengar dari kejauhan. Leon menghela napas panjang, manik hijaunya menatap dengan datar ke arah mobil sport yang mendekat, melakukan drifting di tikungan tajam sebelum berhenti dengan gaya dramatis.
Seorang gadis bersurai ash blue keluar dari mobil itu dengan santai, wajahnya penuh semangat. Mata hijaunya berbinar saat bertemu pandang dengan Leon. "Hai, Ayah! Apa aku terlambat?" tanyanya ceria.
Leon mengangkat sebelah alis, tidak terkesan dengan kehebohan putri angkat satunya. Namun, perhatiannya segera teralihkan pada asisten pribadinya, Ivanna, yang keluar dari kursi penumpang dengan wajah pucat pasi. Pria malang itu tampak seperti baru saja melewati neraka, berjalan sempoyongan menuju sebuah pohon di dekatnya, lalu memuntahkan isi perutnya tanpa ampun.
Althea menatap pemandangan itu dengan ekspresi ngeri sekaligus prihatin. Ia bergumam dalam hati, "Haruskah aku ikut Leon atau Reina? Keduanya berkendara seperti ingin menantang maut. Kalau begini terus, malaikat pencabut nyawa mungkin akan bosan menunggu."
Sementara itu, Leon dan Reina sudah mulai saling bertukar sarkasme, mengabaikan Ivanna yang masih terpuruk di sudut. Althea memilih untuk tidak ikut campur, hanya berdiri di tempat sambil menatap Ivanna dengan rasa kasihan. "Setidaknya, aku tidak perlu memutuskan untuk naik mobil siapa malam ini," pikirnya, mendesah pelan.
Leon menghela napas panjang, mencoba menahan komentar pedas yang sudah di ujung lidahnya. Tatapannya tajam menembus Reina, yang justru tersenyum lebar tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Reina, apa aku pernah bilang untuk tidak membawa asistenku ikut serta dalam rollercoaster pribadimu?" ucap Leon dengan nada dingin, sambil menunjuk Ivanna yang masih berusaha menenangkan diri.
Reina mengangkat bahu dengan santai. "Tapi dia bilang ingin ikut, Ayah. Aku hanya... memenuhi permintaan, kan?"
Leon melirik Ivanna, yang masih memegangi perutnya dengan wajah pucat pasi. "Ivanna, kau sadar bahwa pekerjaanmu adalah membantu di kantor, bukan mengikuti anakku dalam aktivitas gila seperti ini, bukan?"
Ivanna hanya mengangguk lemah tanpa berani menjawab, membuat Leon menghela napas untuk kesekian kalinya. "Masuklah dan pesan teh jahe atau apa pun yang bisa membuatmu kembali normal," perintah Leon sebelum memandang Althea.
"Thea," Leon memanggil lembut, "Aku tahu kau bingung sekarang. Tapi kuharap kau tahu, pilihanku mengemudi lebih baik dibanding Reina, yang sepertinya ingin menantang kecepatan cahaya."
Althea hanya tertawa kecil, meski matanya masih menyiratkan kegamangan. "Ayah, aku rasa aku lebih memilih naik bus umum kalau begini terus."
Reina tertawa keras mendengar komentar Althea. "Ayolah, Althea! Hidup itu harus ada tantangannya sedikit! Kalau kau terus bermain aman, kau tidak akan tahu rasanya menyentuh batas adrenalinmu."
Althea menatap Reina dengan ekspresi datar. "Aku rasa aku cukup tahu adrenalin saat membaca catatan rapat perusahaan tadi, Kak. Itu sudah cukup memacu jantungku."
Leon akhirnya tersenyum tipis mendengar respons Althea. "Ayo masuk. Kita sudah cukup menciptakan tontonan gratis di sini," katanya sambil melangkah masuk ke kafe.
Di dalam, suasana lebih tenang, dengan aroma kopi dan makanan laut yang memenuhi udara. Leon memilih meja di dekat jendela dengan pemandangan laut yang indah. Namun, Reina yang masih dalam mode cerianya, langsung mengambil tempat duduk di dekat Althea.
"Jadi, Ayah, apa kau sudah memeriksa data dari Thea?" tanya Reina sambil menyikut Althea pelan.
Leon mengeluarkan flashdisk dari saku jasnya, menunjukkannya dengan tenang. "Aku akan memeriksanya nanti. Kalau informasi ini benar, maka permainan keluarga Asaga akan semakin menarik."
Reina menyeringai, sedangkan Althea hanya mengangguk sambil menikmati segelas jus yang baru dihidangkan. Gadis itu hanya berharap drama berikutnya tidak akan melibatkan mobil atau aksi berbahaya lainnya.
Althea Astheria
Reina Leonora