"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Bersama Ervin
Hari ini aku izin lagi ke sekolah karena Ibu Julia yang memintaku datang ke rumah sakit. Karena ini hari pertama, Ibu Julia juga ikut menemaniku. Aku tak mempermasalahkan itu karena memang aku gugup sekali.
Ya, aku bukannya hamil. Namun, menurut Ibu Julia, lebih baik aku dan Niklas berkonsultasi dengan seorang dokter kandungan sebelum kami memiliki bayi. Ibu Julia membuatnya seakan-akan kami adalah pasangan bahagia yang amat menanti buah hati.
"Astaga, ke mana sih Niklas? Panggilan Ibu nggak dijawab terus dari tadi. Dia niat untuk berkonsultasi dengan dokter nggak, sih? Padahal ini penting banget untuk kalian," kata Ibu Julia.
Sudah hampir lima menit dia mengomel karena kelakuan anaknya. Niklas tak datang meski Ibu Julia sudah memintanya datang. Tentu saja aku tahu alasan Niklas; pasti tak akan mau membahas tentang kehamilan atau apa pun yang berhubungan tentang kesehatan organ reproduksi kami. Apalagi membahasnya dengan aku. Dengan wanita yang tidak akan dia anggap sebagai istri.
"San, coba kamu yang telepon," pinta Ibu Julia. Wanita berkemeja motif floral itu sesekali mengamati jarum jam di lorong ruang tunggu. "Sebentar lagi sesi konsultasi kalian, tapi dia kenapa nggak muncul, sih?"
"Bu, biar kita berdua saja yang masuk. Niklas mungkin sedang ada kerjaan mendesak di kantor," ucapku. Sejujurnya aku malas menghubungi Niklas.
"Tapi, San, yang akan punya anak kan kamu dan Niklas. Dia suami kamu dan wajar dia datang ke sini. Berkonsultasi dengan dokter kandungan bersama kamu."
"Ya, aku tau, Bu. Nanti saja aku sampaikan pada Niklas tentang apa yang dokter katakan," kataku berusaha membujuk Ibu Julia.
Walaupun aku tidak akan memberitahu Niklas, jika dia sendiri tidak bertanya. Ibu Julia terlihat berpikir selama sekian detik. Raut kecewa terlukis jelas di wajahnya. Karena sebentar lagi giliran kami, akhirnya Ibu Julia mengangguk setuju.
Aku akhirnya bisa bernapas lega. Tak perlu menghubungi Niklas dan segera memintanya kemari. Aku tidak peduli dengan apa yang sedang dia lakukan. Entah sedang bekerja atau bertemu wanita yang waktu itu
Oh, astaga! Kenapa aku mengingat hal itu lagi?
"Atas nama Bu Tsania Karenina?" Salah seorang perawat memanggil kami. Aku dan Ibu Julia segera berdiri. "Silakan masuk, Bu Tsania. Dokter Rita sudah menunggu."
Kami melangkah berdua menuju ruangan Dokter Rita yang akan menjadi dokter kandunganku. Kudengar dokter itu dan Ibu Julia adalah teman semasa sekolah dulu. Jadi, tak salah jika kini Dokter Rita malah keluar dan menyapa Ibu Julia dengan ramah.
"Lho, Niklas-nya nggak jadi ikut, Julia?" tanya Dokter Rita yang tampak anggun dan sehat di usia tak lagi muda. Kerudung biru yang menutupi kepalanya mempercantik wanita itu.
"Ya, nggak jadi. Sedang ada pekerjaan mendadak di kantor, Dok. Jadinya, saya bawa Tsania saja. Nggak masalah, 'kan?"
"Tentu saja nggak masalah." Dokter Rita mengamati sekarang. Senyum tulusnya terlukis lebar. Tanpa permisi beliau memelukku. "Astaga, kamu benar-benar mirip dengan Elma. Senang bertemu denganmu, Tsania."
"Iya, senang bertemu Dokter juga," jawabku.
Mirip katanya? Kami bahkan bukan saudara kandung.
———oOo———
Aku tahu seharunya ini tak pantas dilakukan oleh seorang istri; yaitu bertemu dengan lelaki lain diam-diam di belakang sang suami. Namun, mungkin kasusku berbeda. Karena Niklas tak akan peduli dengan apa yang aku lakukan atau dengan siapa pun aku bertemu.
Sore ini aku dan Ervin janjian bertemu di salah satu restoran dekat rumah Niklas. Ervin kebetulan sedang ada urusan di hotel terdekat, katanya. Jadi, aku pun mengiakan ajakan Ervin. Kemarin aku merasa lega dan senang karena dia menghubungiku setelah beberapa hari terkesan menjauh.
"Maaf membuatmu menunggu," kataku saat tiba di meja tempat Ervin duduk.
"Nggak masalah, San. Aku juga baru tiba."
"Oh, kamu menginap di hotel itu?"
Bangunan restoran kebetulan hanya terpisah oleh lorong besar dengan gedung hotel. Gedung tinggi hotel terletak di sebelah kanan restoran. Tak heran sekarang beberapa pelanggan dari luar negeri juga terlihat memasuki tempat ini.
"Bukan aku yang menginap, tapi rekan-rekan dosen dari universitas di luar kota yang akan hadir dalam acara workshop di kampus tempatku mengajar," ujar Ervin.
"Ah, begitu ya ...." Aku mengangguk-angguk paham.
Ervin memanggil seorang pelayan dan kami segera membuat pesanan. Karena aku belum lapar, aku hanya memesan segelas minuman. Begitu pula Ervin.
"Maaf ya, baru bisa mengabari kamu sekarang," kata Ervin memulai pembicaraan kami yang sesungguhnya.
"Bagaimana kabarmu? Aku ingin sekali menghubungi kamu, Vin, tapi aku merasa kamu pasti butuh waktu."
"Aku baik-baik saja, San." Senyum lebar tercetak di bibir Ervin. "Aku nggak menghubungi kamu bukan karena benci atau apa pun itu. Hanya sedikit kecewa, tapi untuk menjauhi kamu, aku jelas-jelas nggak bisa."
"Maafkan aku, Vin."
Ervin menggeleng selama sekian detik. Obrolan kami terjeda karena pelayan yang datang mengantarkan pesanan. Sesaat setelahnya Ervin berterima kasih, lalu pelayan itu pergi.
Aku tahu momen ini akan terjadi. Momen di mana aku dan Ervin akan membahas hal mengejutkan—pernikahanku dengan Niklas—ini. Karena sebelumnya aku dan Ervin sangat dekat. Walau tak berpacaran, tetapi kami sesekali membahas pernikahan.
Bohong kalau aku tidak berharap bisa menikah dengan Ervin. Dia lelaki baik, sopan, dan sangat bertanggung jawab. Hal itu terlihat dari keputusannya untuk mengurus Aurora, meski bukan anaknya.
"Bagaimana ya, San, aku masih sulit menerima ini semua? Rasanya seperti mimpi, beberapa kali kita membahas rencana masa depan dan sekarang kamu milik lelaki lain," kata Ervin.
Aku menggeleng menanggapi ucapannya. Ya, Tuhan! Aku sangat ingin mengatakan pada Ervin bahwa semua ini hanya sebuah keterpaksaan. Niklas tak mencintaiku, sama sekali tidak. Hubungan pernikahanku dengan Niklas benar-benar yang terburuk.
"Ervin, aku ... aku nggak bisa menceritakan semuanya padamu," jawabku.
"Pasti ada hal besar yang terjadi, 'kan?"
"Anggap saja begitu dan aku belum bisa mengatakannya sekarang. Walaupun ini terkesan menyakitkan, tapi kita bisa terus menjadi teman. Kalau kamu nggak mau mengenalku, nggak masalah. Aku mengerti, Vin."
"Hei ...." Ervin tanpa permisi meraih punggung tangan kananku. Mengusapnya dengan selembut mungkin. Tatapannya yang teduh membuatku sedikit tenang. "Aku akan tetap ada buat kamu, San. Kalau kamu butuh aku, katakan saja. Aku bisa mendengar dan membantu kamu. Karena entah kenapa aku merasa kamu nggak benar-benar menginginkan pernikahan di antara kalian."
"Terima kasih, Vin." Aku menunduk selama sekian detik. "Dan maafkan aku karena menghancurkan rencana-rencana kita."
"Tsania, mimpi itu belum hancur." Ervin menatapku lekat-lekat. "Barangkali aku masih punya kesempatan. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku akan menunggu, San."
"Tapi, Ervin aku dan Niklas ...."
"San, aku akan pergi kalau kamu sendiri yang memintaku pergi. Pada saat kamu mengatakan agar aku menjauh dan berhenti, akan aku lakukan." Ervin memangkas kalimatku.
Selama sekian detik tatapan kami beradu. Andai saja aku sudah tak waras, mungkin aku akan melompat ke arahnya dan memeluk Ervin erat-erat. Rencana masa depan kami berkelebat dalam benakku. Semuanya kini berantakan hanya karena permintaan terakhir mendiang Elma.
Kalimat Ervin beberapa bulan lalu terngiang dalam kepalaku. Ia pernah berkata, "San, mau hidup denganku dan Aurora? Kita bertiga, hidup bahagia sebagai keluarga."
Sekarang ... semuanya kacau balau.