Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 PERASAAN SEBENARNYA
Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela besar kastil, menciptakan suasana hangat yang menyelimuti ruang makan. Namun, suasana di meja makan kerajaan terasa canggung. Zen dan Selvina, yang biasanya berbicara akrab atau saling bertukar lelucon kecil, kini duduk diam tanpa saling menatap.
Para pelayan yang baru mulai bekerja memperhatikan keheningan aneh itu. Meja yang telah dihiasi makanan lezat—hasil kerja keras mereka sejak fajar—hanya mendapat sedikit perhatian dari kedua pemimpin itu. Suasana tegang membuat salah satu pelayan memberanikan diri untuk bertanya. "Yang Mulia, apakah ada sesuatu yang terjadi? Anda dan Nona Selvina terlihat... berbeda pagi ini."
Zen mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, meski sorot matanya sedikit menahan sesuatu. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya baik-baik saja," jawabnya singkat, suaranya terdengar datar namun sopan. Ia kemudian mengambil secangkir teh hangat dan menyeruputnya perlahan, mencoba mengalihkan perhatian dari suasana canggung.
Selvina, yang duduk di seberangnya, hanya menunduk sambil memainkan sendok di mangkuk supnya. Ia merasa para pelayan memperhatikannya, tetapi tak ingin menjelaskan lebih jauh. Perasaannya bercampur aduk, dan ia tak tahu bagaimana harus memulai percakapan dengan Zen setelah malam tadi, ketika hatinya begitu dipenuhi pertanyaan dan keraguan.
Pelayan yang bertanya tadi melangkah mundur dengan bingung, bertukar pandangan dengan yang lain. Mereka terbiasa melihat Selvina dan Zen bersikap harmonis, sehingga keheningan ini tampak tak biasa.
Setelah beberapa saat, Zen akhirnya memecah kesunyian. "Hidangan ini luar biasa. Terima kasih atas kerja keras kalian," katanya, mencoba mencairkan suasana. Senyum kecilnya menghapus sedikit ketegangan, meski Selvina masih terdiam.
Para pelayan mengangguk dan kembali ke dapur, meninggalkan Zen dan Selvina di ruangan itu. Keduanya tetap diam, hanya ditemani suara gesekan sendok dan piring. Dalam hati, mereka tahu ada sesuatu yang perlu dibicarakan, tetapi masing-masing terlalu ragu untuk memulai.
Zen menarik napas dalam, menatap piring di depannya sambil mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata dengan suara tenang, "Selvina, aku rasa... aku perlu mengatakan sesuatu."
Selvina mengangkat wajahnya, sedikit terkejut mendengar Zen berbicara lebih dulu. Matanya bertemu dengan Zen, dan ia bisa melihat ada sesuatu yang tulus dalam sorot mata itu. Namun, perasaan canggung masih menggantung di antara mereka. "Apa itu, Zen?" jawabnya pelan, suaranya hampir berbisik.
Zen mengalihkan pandangannya sejenak, lalu menggaruk bagian belakang kepalanya dengan canggung. "Aku merasa kemarin... kita sedikit terlalu terbawa suasana. Dan aku takut kalau itu membuatmu tidak nyaman."
Selvina menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah yang perlahan muncul di pipinya. Ia menggenggam jemarinya erat di atas meja, lalu menjawab dengan hati-hati, "Tidak, bukan itu. Aku hanya... aku juga merasa sedikit bingung dengan semuanya."
Keheningan kembali meliputi mereka, tetapi kali ini tidak terasa seberat sebelumnya. Zen akhirnya tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Jadi, apakah kita akan membiarkan ini menjadi alasan untuk terus saling diam?" candanya, meskipun nada suaranya masih mengandung rasa khawatir.
Selvina tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Tidak, tentu saja tidak. Lagipula, aku sudah terbiasa denganmu yang selalu punya cara aneh untuk mencairkan suasana."
Mendengar itu, Zen tertawa ringan, dan canggung di antara mereka perlahan mencair. Percakapan kecil mulai mengalir, membahas hal-hal sederhana seperti makanan favorit mereka, rencana untuk hari itu, hingga cerita-cerita kecil yang membuat mereka tertawa.
Mereka sadar, mungkin belum waktunya untuk membahas perasaan yang sebenarnya, tetapi setidaknya mereka tidak ingin membiarkan keheningan menghancurkan hubungan yang sudah mereka bangun.
Seiring dengan berlalunya pagi, suara tawa dan canda mereka kembali memenuhi ruang makan, mengembalikan kehangatan yang sempat hilang. Para pelayan yang mendengar itu dari kejauhan tersenyum lega, mengetahui bahwa raja dan calon ratu mereka telah kembali harmonis seperti biasa.
Siang itu, Zen duduk di ruang kerjanya yang besar dan megah, namun penuh dengan tumpukan dokumen yang hampir menutupi seluruh meja. Ia menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi, sambil memandangi dokumen yang terlihat seperti panduan menjadi raja.
"Eryon..." gumamnya pelan dengan nada sedikit kesal. "Aku yakin ini semua ulahnya. Hanya dia yang bisa berpikir aku butuh ‘pelajaran tambahan’ seperti ini." Zen mengangkat salah satu dokumen dan membacanya dengan enggan. Tulisan-tulisan itu berbicara tentang tata cara memimpin kerajaan, protokol formal, hingga etiket dalam menghadapi tamu-tamu penting.
Ia menutup dokumen tersebut dengan kasar, menatap ke langit-langit sambil mengeluh pelan, "Bagaimana mungkin aku bisa fokus mempelajari sihir kalau aku harus membaca ini semua?"
Sementara itu, di bagian lain kastil, Selvina berjalan dengan penuh semangat. Ia memeriksa satu per satu pekerja yang baru bergabung, memastikan mereka melakukan tugasnya dengan benar. Dengan tangan terlipat di depan dada, ia memberi beberapa arahan tegas namun tetap ramah.
"Ingat, kebersihan kastil harus selalu dijaga. Tidak ada ruang untuk kelalaian," katanya kepada seorang pekerja kebersihan yang tampak sedikit gugup. Kemudian ia melangkah ke dapur, di mana dua koki sibuk mempersiapkan makan siang. "Pastikan hidangannya sempurna. Raja harus mendapatkan yang terbaik." Keduanya mengangguk dengan semangat, merasa bangga dipercaya langsung oleh Selvina.
Saat semuanya berjalan lancar, Selvina akhirnya mendekati ruang kerja Zen. Ia membuka pintu perlahan, dan menemukan Zen yang tampak frustrasi sambil menatap dokumen-dokumen di mejanya. Selvina tersenyum kecil, menahan tawa melihat raut wajah Zen yang terlihat kesal.
"Jadi, bagaimana rasanya menjadi raja yang sesungguhnya?" tanyanya dengan nada menggoda.
Zen menoleh, mengangkat dokumen tebal yang baru saja ia baca. "Kalau ini bagian dari menjadi raja, aku lebih memilih kembali berlatih sihir dengan Eryon," jawabnya sambil menghela napas panjang.
Selvina tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. Ia mengambil salah satu dokumen di meja dan membacanya sekilas. "Yah, kalau kau berhasil melewati ini, aku yakin kau bisa memimpin Lumoria lebih baik dari siapa pun."
Zen menatapnya dengan ekspresi bercampur antara kelelahan dan rasa terhibur. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik, Selvina."
Mereka saling bertukar senyum, sebelum Selvina berkata, "Baiklah, aku akan kembali memeriksa pekerja. Kalau kau butuh bantuan, jangan ragu untuk memanggilku."
Zen mengangguk, menatap Selvina yang keluar dari ruang kerja dengan langkah ringan. Ia tersenyum kecil, merasa sedikit lebih termotivasi. "Baiklah, Eryon. Kalau ini ujianmu, aku akan menyelesaikannya," katanya sambil membuka dokumen berikutnya, bertekad untuk memahami perannya sebagai raja lebih dalam lagi.
Sehari sebelumnya.
Pelantikan Zen sebagai raja Lumoria kemarin menjadi peristiwa besar yang mengguncang seluruh penjuru alam. Para penghuni Lumoria tak henti-hentinya bersorak gembira, merayakan kembalinya seorang pemimpin sejati yang telah mereka nantikan selama ribuan tahun. Kabar tentang Zen menyebar cepat, bahkan hingga ke ras lain yang mendengar gaung kebangkitan Lumoria.
Namun, di balik kegembiraan itu, ada satu hal yang menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan penghuni Lumoria—hubungan antara Zen dan Selvina. Banyak bisik-bisik yang terdengar di pasar, lorong-lorong kastil, bahkan di antara para pekerja kerajaan.
"Mereka pasangan yang serasi. Mengapa belum resmi menikah?" bisik salah satu penduduk di depan kastil.
"Aku yakin Selvina akan menjadi ratu yang luar biasa. Tapi kenapa masih belum ada kepastian?" tambah yang lain dengan nada penasaran.
Selvina, yang kebetulan sedang berjalan di taman kastil, tak luput dari tatapan penuh arti para penduduk yang lewat. Bisikan dan tawa kecil yang mencuat di sekitarnya membuat wajahnya memerah seketika. Ia menunduk, berharap tak ada yang melihat pipinya yang kini bersemu merah jambu. Namun, di dalam hatinya, Selvina tak bisa menyangkal bahwa komentar-komentar itu membuatnya gugup sekaligus senang.
Saat ia kembali ke kastil, Selvina berpapasan dengan Zen yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Melihat Selvina yang tampak canggung, Zen menyipitkan mata dengan rasa ingin tahu.
"Ada apa, Selvina? Kau tampak aneh," tanyanya dengan nada lembut, meski tersirat keingintahuan.
Selvina menggeleng cepat, berusaha menutupi rasa malunya. "Tidak ada apa-apa. Hanya... beberapa penduduk terlalu banyak berbicara," jawabnya pelan sambil memainkan ujung rambutnya.
Zen mengangkat alis, merasa ada sesuatu yang disembunyikan. "Berbicara tentang apa?"
Selvina menoleh dengan wajah yang makin memerah. "Tentang... kita. Mereka bertanya kapan kita akan menikah," ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan.
Mendengar itu, Zen terpaku sejenak, kemudian tertawa kecil. Ia mengusap belakang lehernya dengan ekspresi sedikit malu. "Yah, aku tidak bisa menyalahkan mereka. Tapi... mungkin mereka memang terlalu cepat menarik kesimpulan."
Selvina hanya bisa mengangguk pelan, meski dalam hatinya ada percikan harapan yang ia sendiri tak berani ungkapkan. Zen, di sisi lain, menatap Selvina sesaat sebelum berkata, "Tak perlu terlalu memikirkan mereka. Apa yang terjadi nanti... biarlah terjadi pada waktunya."
Selvina mengangguk lagi, kali ini dengan senyuman kecil di wajahnya. Meski rasa malunya belum sepenuhnya hilang, kata-kata Zen membuat hatinya sedikit tenang. Ia hanya bisa berharap, saat yang mereka tunggu-tunggu akan tiba dengan cara yang tepat—pada waktu yang sempurna.
Siang hari tiba, suasana ruang makan kastil terasa lebih hangat dari biasanya. Meja makan telah diatur rapi, dipenuhi hidangan khas Lumoria yang menggugah selera. Zen dan Selvina duduk bersebelahan, terlihat lebih santai meski percakapan mereka masih diselingi kehangatan yang canggung. Namun, momen itu segera berubah ketika Eryon masuk dengan langkah ceria, wajahnya memancarkan keusilan khasnya.
"Ah, akhirnya makan siang bersama raja dan... calon ratu kita," ujar Eryon dengan nada menggoda, sambil menarik kursi di hadapan mereka.
Selvina, yang tengah mengambil segelas air, hampir saja tersedak mendengar ucapan itu. Wajahnya memerah, dan ia segera menundukkan kepala, berharap tak ada yang memperhatikan. Zen, di sisi lain, hanya bisa menghela napas panjang sambil menatap Eryon dengan ekspresi setengah kesal.
"Eryon, bisakah kau menjaga lidahmu di meja makan?" tegur Zen, mencoba terdengar tegas meski ujung bibirnya terlihat menahan senyum.
Eryon tertawa kecil, sama sekali tidak terintimidasi. "Maafkan aku, Yang Mulia. Tapi apa boleh buat, kalian berdua terlalu menarik perhatian. Bahkan pelayan pun tampaknya setuju denganku," ujarnya sambil melirik para pelayan di sekitar meja makan.
Sontak, para pelayan yang sedang sibuk membawa hidangan tak bisa menahan diri untuk tertawa kecil. Salah satu dari mereka bahkan berbisik pelan, "Benar juga, mereka pasangan yang serasi."
Selvina semakin tersipu, menyembunyikan wajahnya di balik gelas air. Zen memutar matanya, lalu menatap Eryon dengan tatapan penuh peringatan. "Jika kau tidak ingin aku memindahkanmu ke bagian kebun, sebaiknya kau diam dan makan."
"Baik, baik! Aku menyerah," jawab Eryon sambil mengangkat kedua tangannya dengan gestur pasrah. Namun, senyum usil di wajahnya tak kunjung hilang.
Makan siang berlanjut dengan kehangatan, meski sekali-sekali Eryon melontarkan komentar yang membuat Selvina salah tingkah. Zen hanya bisa menggelengkan kepala sambil menahan tawa. Meski usil, kehadiran Eryon berhasil mencairkan suasana, membuat semua orang, termasuk para pelayan, merasa lebih dekat dengan keluarga kerajaan.
Ketika makan hampir selesai, Eryon bersandar di kursinya dengan puas. "Aku harus bilang, makanan ini luar biasa. Tapi yang lebih luar biasa adalah bagaimana kalian berdua saling melengkapi, meski tak mau mengakuinya," katanya sambil menyeringai.
Zen menghela napas, sementara Selvina hanya tersenyum malu. Namun, di balik semua keusilan itu, mereka tahu bahwa Eryon hanya ingin mereka bahagia—meskipun caranya sering kali membuat mereka ingin mengusirnya dari meja makan.
Setelah makan siang selesai, Zen berjalan perlahan menuju ruang kerjanya. Langkahnya terasa berat, bukan karena fisiknya yang lelah, tetapi pikiran tentang tugas-tugas kerajaan yang terus menghantuinya. Begitu sampai, ia membuka pintu dan menghela napas panjang saat melihat tumpukan dokumen di meja kerjanya yang seolah tak ada habisnya.
Zen duduk dengan berat di kursinya, tangannya mulai membuka salah satu lembar dokumen. Matanya menyapu tulisan di atas kertas, tetapi pikirannya sulit fokus. "Astaga, kapan semua ini selesai..." gumamnya, suaranya terdengar pelan namun penuh frustasi.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka perlahan. Selvina masuk sambil membawa secangkir teh hangat di tangan kanannya. Ia meletakkannya di meja, tepat di samping tumpukan kertas, dan duduk di kursi dekat Zen. Wajahnya memancarkan senyum lembut.
"Kau terlihat lelah, Zen. Mungkin teh ini bisa membantumu," ujar Selvina dengan nada penuh perhatian.
Zen mendongak, tatapannya bertemu dengan mata Selvina. Senyum tipis muncul di wajahnya, meskipun rasa penat masih jelas terlihat. "Terima kasih, Selvina. Aku rasa kau benar-benar malaikat penyelamatku hari ini."
Selvina terkekeh kecil, tetapi segera mengangguk dengan serius. "Tugasmu memang berat, Zen. Tapi aku tahu kau bisa melewatinya. Kau bukan hanya pemimpin yang bijaksana, tapi juga seseorang yang peduli pada rakyatmu. Itu membuatmu istimewa."
Kata-kata itu membuat Zen terdiam sejenak. Ia menatap Selvina, merasa terharu dengan dukungannya yang tulus. "Aku hanya takut melakukan kesalahan," Zen akhirnya mengaku, suaranya lirih. "Kadang aku merasa beban ini terlalu besar untukku."
Selvina mengulurkan tangan, menyentuh lengan Zen dengan lembut. "Tidak ada pemimpin yang sempurna, Zen. Tapi selama kau memimpin dengan hati dan pikiran yang jernih, aku yakin semua akan baik-baik saja. Lagipula, kau tidak sendirian. Kami semua ada di sini untuk mendukungmu."
Mendengar itu, Zen merasakan sedikit beban di dadanya terangkat. Ia mengangguk pelan, mengambil cangkir teh yang diberikan Selvina, dan menyesapnya. Kehangatan teh itu mengalir, seolah menyuntikkan semangat baru ke dalam dirinya.
"Kau benar, Selvina. Aku tidak sendirian. Dan aku sangat beruntung memiliki seseorang seperti dirimu di sisiku," ucap Zen dengan tulus. Selvina tersipu, tetapi senyumnya tak pernah hilang.
Hari telah menjelang sore, dan akhirnya Zen menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk di mejanya. Ia menghela napas panjang, merasa lega meskipun kelelahan masih menguasainya. "Astaga, tugas ini hampir membuatku kehilangan akal," gumamnya pelan, meregangkan tubuh di kursinya.
Selvina masuk ke ruangan, membawa segelas air untuknya. "Pekerjaanmu selesai?" tanyanya lembut.
Zen mengangguk sambil tersenyum. "Ya, akhirnya selesai. Tapi rasanya seperti lari maraton tanpa henti."
Selvina terkikik kecil. "Kalau begitu, waktunya kau mandi dan bersantai. Kau perlu menyegarkan dirimu, Zen."
Zen bangkit dari kursinya, menatap Selvina sambil meregangkan otot-otot yang kaku. "Kau benar. Tapi bagaimana denganmu? Kau juga pasti lelah setelah seharian mengurus para pekerja dan memastikan semuanya berjalan lancar."
Selvina tersenyum sambil menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Lagipula, pekerjaanku tak seberat tugas seorang raja."
Zen menatapnya sebentar, lalu dengan nada bercanda berkata, "Kalau begitu, siapa yang ingin mandi duluan? Aku atau kau?"
Selvina terkejut dengan pertanyaan itu, wajahnya sedikit memerah. "Uhm... kau saja dulu. Aku masih harus menyiapkan handuk bersih dan pakaian ganti untukmu."
Zen mengangkat alis, lalu tertawa kecil. "Baiklah, kalau begitu aku dulu. Tapi jangan salahkan aku kalau aku terlalu lama menikmati mandi."
Selvina menjawab sambil tersenyum geli, "Hanya jangan membuatku menunggu terlalu lama, Zen."
Zen pun beranjak menuju kamar mandi, sementara Selvina berjalan ke ruangan lain untuk mengambil handuk dan pakaian bersih.
Zen terkejut dan hampir terjatuh ketika Selvina masuk tanpa memberi peringatan. Mata mereka bertemu sejenak, dan suasana langsung terasa canggung. Selvina, yang hanya mengenakan handuk, segera menutupi dirinya dengan cepat, wajahnya memerah karena malu. "Oh, maaf... aku... aku pikir kamu sudah selesai," kata Selvina, suaranya hampir berbisik.
Zen, yang masih kebingungan dan sedikit panik, segera mengambil pakaiannya yang tergeletak di dekat pintu dan bergegas keluar dari kamar mandi. "Kenapa kau... kenapa kau masuk tanpa memberitahuku?" tanya Zen dengan suara sedikit tercekat, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar cepat.
Selvina tampak terperangah, wajahnya memerah semakin dalam. "Aku... aku hanya ingin membasuh diriku. Aku kira kamu sudah selesai," jawabnya, mencoba mengatur napas. "Maafkan aku, Zen."
Zen berhenti di luar kamar mandi, masih merasa canggung dan sedikit bingung. "Tidak, itu... itu bukan masalah. Aku hanya... tidak mengharapkan ini," katanya, memegangi pakaian yang baru saja ia ambil dan menunduk, mencoba menenangkan dirinya.
Selvina, yang sekarang berdiri di kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya, menggigit bibirnya. "Aku akan menunggu di luar. Maaf sekali lagi." Ia bergegas keluar, meninggalkan Zen untuk kembali ke kamar mandi.
Zen berdiri di tempat, menatap pintu kamar mandi yang tertutup di hadapannya, mencoba memproses kejadian yang baru saja terjadi. "Apa yang terjadi barusan?" gumamnya, sambil meraba-raba hatinya yang tak bisa menenangkan diri. Suasana yang tadinya penuh dengan kebiasaan kini berubah menjadi sesuatu yang lebih... kompleks.
Ruangan Zen terasa sepi, hanya ada suara detakan jam yang terdengar jelas di antara keduanya. Setelah mandi, mereka berdua duduk dalam keheningan, saling mencuri pandang. Selvina, yang duduk di sudut ruangan, melirik Zen dengan tatapan lembut, membuat jantung Zen berdegup kencang. Ada perasaan yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang tak bisa lagi ia pendam.
Zen menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Dia melihat ke arah Selvina, yang tampaknya terjebak dalam pikirannya sendiri, dan perlahan kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.
"Selvina," katanya dengan suara yang sedikit gemetar. "Aku... aku menyukaimu."
Selvina terkejut mendengar kata-kata Zen. Matanya yang besar menatapnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Untuk beberapa detik, suasana terasa hening. Hati Zen berdebar begitu cepat, dan dia merasa cemas menunggu reaksi dari Selvina.
Setelah beberapa saat yang terasa lama, Selvina perlahan tersenyum, dan tatapannya berubah lebih lembut. "Zen..." gumamnya pelan, sebelum dia mengalihkan pandangannya, seakan mencari kata-kata yang tepat.
Zen menunggu dengan cemas, tak tahu apa yang harus ia katakan selanjutnya. Perasaannya semakin menghangat, namun ia juga takut jika kata-katanya akan merusak hubungan yang telah mereka bangun.
Selvina akhirnya menatapnya kembali, dengan senyum yang lebih lebar. "Aku juga... aku juga menyukaimu, Zen."
Kata-kata itu terdengar begitu sederhana, namun bagi Zen, itu adalah jawaban yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Hatinya terasa lebih ringan, dan cemas yang sempat mengganggu hilang begitu saja. Mereka saling memandang, merasa sebuah ikatan yang lebih kuat mulai terbentuk di antara mereka.
Zen tertawa kecil, sedikit malu karena telah mengungkapkan perasaannya begitu tiba-tiba. "Aku... aku merasa gila, mengungkapkan ini begitu saja," katanya sambil mengusap tengkuknya. "Tapi, aku tak bisa menahan perasaan ini lebih lama lagi."
Selvina mengangguk pelan. "Aku juga merasa sama, Zen." Kemudian, dia menyandarkan kepalanya ke bahu Zen dengan lembut, menutup mata sejenak. "Mungkin kita bisa saling berjalan bersama dalam perjalanan ini."
Zen tersenyum dan menenangkan dirinya, merasakan kedamaian yang datang bersama kata-kata itu. "Aku akan selalu ada untukmu, Selvina."
Malam itu, keduanya berdiam dalam kebersamaan yang penuh makna, meresapi kata-kata yang baru saja terucap, dan membiarkan perasaan mereka tumbuh dengan sendirinya, tanpa ada lagi keraguan yang menghalangi.
Bersambung!