Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kopi Pertama, Pertemuan Kedua
Bab 1: Kopi Pertama, Pertemuan Kedua
“Mbak, ini kopi atau air rendaman sendal?”
Suara berat itu datang dari arah meja pojok, mengganggu fokus Rania yang sedang menata susunan croissant di etalase. Ia menoleh dengan alis terangkat, menemukan seorang pria dengan hoodie kusut, celana jeans belel, dan buku tebal yang terlihat lebih tua dari dirinya. Pria itu menatap cangkir kopinya seolah-olah cangkir tersebut baru saja menghina seluruh keluarganya.
“Maaf, Mas? Maksudnya apa ya?” Rania menghampiri dengan langkah tenang tapi mata penuh kewaspadaan. Ini masih pagi, dan ia belum siap berurusan dengan pelanggan rese.
“Ini kopinya. Hambar. Pahit, tapi nggak enak. Kayak hidup gue.” Pria itu mendesah panjang, menutup bukunya dengan suara berdebam kecil. “Nggak ada rasa-rasa bahagia gitu.”
Rania berkedip beberapa kali, berusaha mencerna kalimat absurd yang baru saja dilontarkan. “Mas, ini Americano. Emang nggak ada rasa manisnya.”
“Ya terus kenapa nggak kasih gula?” Pria itu menyandarkan tubuh ke kursi, memasang ekspresi datar. “Nggak semua orang kuat hidup pahit-pahit gini, Mbak.”
“Lain kali pesan es teh manis aja, Mas,” balas Rania dengan senyum palsu, yang lebih terlihat seperti ancaman terselubung. Ia berbalik menuju kasir, meninggalkan pria itu dengan segelas kopi pahit dan rasa kepo yang tiba-tiba muncul.
---
Dua jam kemudian, pria itu masih ada di sana. Duduk di sudut yang sama, dengan buku yang sama, dan tatapan kosong yang membuat Rania penasaran: ngapain dia nggak pulang-pulang?
“Kamu ngeliatin dia dari tadi, loh,” bisik Adit, rekan kerja sekaligus sahabat Rania yang sedang menggiling biji kopi. “Suka ya?”
“Ha? Ngaco. Mana ada.” Rania mencibir. “Gue cuma bingung. Kok dia betah nongkrong lama-lama padahal ngeluh terus soal kopinya.”
“Mungkin dia nunggu inspirasi,” tebak Adit dengan nada misterius. “Kata gue sih, itu tipikal penulis yang lagi cari ide buat novelnya.”
“Penulis?” Rania memandang pria itu lagi. Kali ini lebih lama. Jaketnya memang lusuh, tapi rapi. Buku tebal di tangannya juga bukan sembarang buku; ada tanda-tanda bekas catatan di tiap halaman. Sesekali, dia mengetik sesuatu di laptopnya, lalu menghela napas panjang.
“Kalau gitu, gue bakal kasih dia satu lagi ‘inspirasi’,” gumam Rania sambil meraih cangkir kopi baru.
---
“Nih, Mas. Satu cangkir lagi. On the house.”
Pria itu mendongak, tampak terkejut. “Kenapa ngasih gratis?”
“Biar hidup Mas nggak pahit-pahit amat,” jawab Rania santai. “Dicoba aja. Siapa tahu suka.”
Dia mengangkat cangkir itu, mencium aromanya sebentar, lalu menyesap. Matanya menyipit sedikit, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Ini baru enak. Kopi susu?”
“Signature Latte,” Rania menyeringai bangga. “Buat orang-orang yang nggak kuat hidup pahit.”
Pria itu tertawa kecil, sebuah tawa yang membuat Rania terkejut karena suara baritonnya terdengar lebih hangat dari sebelumnya. “Nama gue Bintang.”
“Rania.” Mereka berjabat tangan singkat. Ada rasa aneh yang muncul, seperti deja vu, tapi Rania mengabaikannya.
“Jadi, Mbak Rania ini pemilik kafe?” tanya Bintang sambil menyesap lagi kopinya.
“Barista, bukan pemilik.” Rania menggeleng. “Tapi suatu hari nanti, gue pengen punya kafe sendiri. Yang lebih gede, lebih cozy, dan... ya, nggak cuma jual kopi pahit.”
Bintang tertawa lagi. “Keren. Semoga kesampaian. Tapi saran gue, jangan bikin hidup pelanggan jadi bahan guyonan.”
“Itu kan biar lucu,” Rania membela diri dengan cengiran lebar. “Lagipula, gue cuma bercanda, kok.”
“Lucu sih,” Bintang mengakui. “Tapi hati-hati, nanti ada pelanggan baper.”
Rania hanya tertawa kecil sebelum kembali ke kasir. Tapi di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan pria ini. Entah apa, tapi dia penasaran.
---
Beberapa hari kemudian, Bintang menjadi pelanggan tetap. Setiap pagi, dia akan duduk di sudut yang sama, dengan buku yang sama, dan kebiasaan yang sama: mengeluh soal kopi sebelum akhirnya menerima rekomendasi dari Rania. Obrolan mereka semakin panjang dan santai, mulai dari topik ringan seperti cuaca, hingga hal-hal absurd seperti kenapa kucing selalu merasa lebih superior dari manusia.
“Menurut gue,” kata Bintang suatu pagi, “kucing itu tahu kalau manusia nggak bisa hidup tanpa mereka. Makanya mereka santai aja.”
“Beda sama anjing,” tambah Rania. “Anjing itu setia, selalu nurut.”
“Jadi kamu lebih suka anjing?” tanya Bintang, mengangkat alis.
“Gue suka semuanya,” jawab Rania dengan santai. “Selama mereka nggak ganggu hidup gue.”
Bintang tertawa lagi. “Kamu punya filosofi hidup yang unik, Rania.”
“Thanks, I guess?”
---
Hari itu, sebelum Bintang pergi, dia meninggalkan catatan kecil di meja. Sebuah post-it kuning dengan tulisan tangan yang rapi:
“Thanks for the coffee and the conversations. You make life less bitter.”
Rania tersenyum kecil membaca pesan itu. Tanpa sadar, ia merasa ada sesuatu yang berubah. Entah dari cara Bintang berbicara, atau dari caranya sendiri memandang hidup. Tapi satu hal yang pasti: kopi pahit memang bisa terasa manis kalau diminum bersama orang yang tepat.
To be continued...