NovelToon NovelToon
Gelapnya Jakarta

Gelapnya Jakarta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Sistem / Mengubah Takdir / Anak Lelaki/Pria Miskin / Preman
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 Perjuangan ditengah Bayangan

Raka dan Nadia berjalan perlahan di tengah hutan yang semakin sunyi. Mereka tahu bahwa pengejaran belum selesai. Suara serangga malam mulai terdengar di antara pepohonan yang rapat, tetapi suasana itu justru menambah rasa waspada.

“Kita harus temuin Pak Hasan secepatnya,” kata Raka dengan nada tegas. “Dia nggak mungkin jauh dari sini.”

Nadia, yang masih memegangi luka di lengannya, mencoba mengikuti langkah Raka yang lebih cepat. “Lo yakin dia aman? Tadi dia melawan mereka sendirian.”

Raka berhenti sejenak, menoleh ke Nadia. “Pak Hasan itu tangguh. Dia nggak akan menyerah begitu saja. Tapi kita tetap harus cepat. Kalau dia tertangkap…” Suaranya terhenti, membayangkan kemungkinan terburuk.

Nadia mengangguk tanpa bicara lagi. Mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan penuh kehati-hatian, mata mereka terus mengawasi setiap sudut gelap di sekitar.

**Jejak yang Ditinggalkan**

Tidak lama kemudian, Raka melihat sesuatu di tanah—sebuah jejak kaki yang menuju ke arah barat laut. Ia berjongkok, memperhatikan jejak itu dengan saksama. “Ini jejak sepatu Pak Hasan,” katanya yakin.

“Lo yakin?” tanya Nadia, mendekat untuk melihat.

“Gue inget bentuk sol sepatunya. Dia menuju ke arah sana.”

Mereka segera mengikuti jejak itu, bergerak lebih cepat meskipun tubuh mereka sudah kelelahan. Setelah beberapa menit, mereka mendengar suara samar dari kejauhan. Suara itu seperti seseorang yang sedang berbicara—atau mungkin berdebat.

Raka memberi isyarat kepada Nadia untuk berhenti. Ia memajukan tubuhnya perlahan, berusaha mendekati sumber suara tanpa menimbulkan kebisingan. Dari balik semak, mereka melihat dua pria bersenjata berdiri di dekat Pak Hasan, yang kini duduk bersandar di batang pohon dengan tangan terikat.

“Kalian nggak bakal dapet apa-apa dari gue,” kata Pak Hasan dengan suara lantang, meskipun wajahnya terlihat lelah.

Salah satu pria bersenjata itu menendang kakinya. “Lo pikir lo bisa melawan kami? Kami cuma perlu waktu sampai semuanya selesai. Nggak ada yang bisa nolong lo sekarang.”

Raka mengepalkan tinjunya, matanya penuh dengan kemarahan. “Mereka udah keterlaluan,” bisiknya kepada Nadia.

“Kita harus bantu dia, tapi gimana? Mereka bersenjata,” Nadia berbisik balik, mencoba berpikir cepat.

Raka menatap sekitar, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang secara tiba-tiba. Matanya tertuju pada batu besar di dekatnya, lalu sebuah ranting panjang yang cukup tebal. “Gue punya ide. Lo ambil posisi di sana,” katanya sambil menunjuk semak di sisi lain.

Nadia mengangguk, segera bergerak ke tempat yang ditunjuk. Raka mengambil batu besar itu, lalu melemparkannya sejauh mungkin ke arah lain untuk menciptakan gangguan.

“Brukkk!”

Kedua pria itu langsung menoleh ke arah suara. “Apa itu?!” salah satu dari mereka berteriak.

“Cek ke sana!”

Saat salah satu dari mereka bergerak ke arah suara, Raka keluar dari persembunyian dengan ranting di tangannya. Ia menghantam pria yang masih berdiri di dekat Pak Hasan tepat di kepalanya, membuat pria itu tersungkur ke tanah. Nadia langsung muncul dari balik semak dan merebut senjata pria yang jatuh, sementara Raka bergulat dengan pria lainnya yang baru saja kembali setelah mendengar keributan.

Pertarungan itu berlangsung cepat tetapi brutal. Dengan tubuh yang penuh luka, Raka tetap bertahan, menahan serangan dari pria yang lebih besar darinya. Namun, ia berhasil memanfaatkan kelincahannya untuk menghindar dan melawan balik. Dengan satu pukulan kuat ke arah dagu, pria itu akhirnya jatuh pingsan.

**Penyelamatan Pak Hasan**

“Pak, lo nggak apa-apa?” tanya Raka sambil melepaskan ikatan di tangan Pak Hasan.

Pak Hasan mengangguk, meskipun wajahnya masih terlihat tegang. “Gue baik-baik aja, tapi mereka nggak akan berhenti. Mereka udah tahu kita ada di sini. Kita harus keluar secepatnya.”

Raka membantu Pak Hasan berdiri, sementara Nadia menjaga senjata yang baru saja mereka ambil. “Lo bisa jalan, Pak?” tanya Nadia.

“Gue nggak punya pilihan lain, kan?” jawab Pak Hasan sambil tersenyum kecil, meskipun jelas ia kesakitan.

“Kalau gitu, kita harus cari jalan keluar dari hutan ini sebelum bala bantuan mereka datang,” kata Raka.

**Pengejaran yang Terus Berlanjut**

Mereka bertiga mulai bergerak kembali, kini lebih berhati-hati. Suara angin malam yang berdesir di antara dedaunan membuat suasana semakin mencekam. Namun, mereka tahu bahwa mereka harus terus maju, karena berhenti berarti menyerah.

“Gue masih punya dokumen ini,” kata Nadia sambil menepuk tasnya. “Kita nggak boleh kehilangan ini apa pun yang terjadi.”

“Dan kita nggak akan kehilangan itu,” jawab Raka dengan nada tegas. “Mereka pikir mereka bisa menang, tapi kita akan tunjukin bahwa mereka salah.”

Dengan langkah yang semakin mantap, mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Bahaya mungkin masih menanti di depan, tetapi tekad mereka lebih kuat dari rasa takut. Perjuangan ini belum selesai—dan mereka siap untuk menghadapi apa pun yang datang.

Malam semakin larut, tetapi cahaya harapan tetap menyala dalam hati mereka. Perjuangan Raka, Nadia, dan Pak Hasan kini tidak hanya soal bertahan hidup, tetapi juga soal menyelamatkan kebenaran yang mereka bawa. Di tengah gelapnya malam, mereka tahu bahwa cahaya itu masih ada di ujung jalan—dan mereka akan terus melangkah hingga sampai ke sana.

Di setiap langkah yang mereka ambil, hutan terasa semakin sunyi, seperti menyimpan rahasia gelap yang siap meledak kapan saja. Namun, mereka tak lagi gentar. Setiap luka yang mereka alami menjadi pengingat bahwa perjuangan ini jauh lebih besar dari sekadar diri mereka sendiri.

Raka memimpin dengan pandangan teguh ke depan, sementara Nadia dan Pak Hasan mengikuti, membawa sisa-sisa tenaga mereka untuk melawan segala rintangan yang menghadang. Jauh di lubuk hati, mereka tahu bahwa malam ini adalah malam penentu. Entah mereka berhasil melewati semua ini, atau mereka jatuh di tengah jalan.

Angin malam berhembus dingin, membawa suara samar yang entah nyata atau sekadar ilusi. Mereka tak menoleh ke belakang, karena masa lalu tak lagi penting. Semua tergantung pada langkah berikutnya, pada keberanian mereka menghadapi apa yang menanti di depan.

Dan di ujung hutan yang gelap, bayangan lampu kota Jakarta mulai terlihat. Sebuah pengingat bahwa di luar sana, dunia masih berputar, tak tahu bahwa di dalam bayang-bayang ini, kebenaran sedang dipertaruhkan. Dengan hati penuh tekad, mereka terus melangkah, karena berhenti bukanlah pilihan. Pertarungan baru saja dimulai.

Bayangan lampu kota Jakarta yang mulai terlihat seperti pengingat bahwa perjuangan mereka belum selesai. Namun, di balik terang itu, ada bahaya lain yang menunggu, musuh-musuh yang tak akan berhenti sampai semuanya hancur.

Raka berhenti sejenak, memandangi cahaya itu. “Jakarta ada di depan kita, tapi ini belum berakhir. Mereka akan menunggu kita di sana.”

Nadia mengangguk, menggenggam tasnya lebih erat. “Gue nggak peduli seberapa besar resikonya. Selama kita bawa ini sampai tempat yang aman, semuanya akan sepadan.”

Pak Hasan menarik napas panjang, tubuhnya gemetar karena kelelahan, tetapi semangatnya tetap menyala. “Kita bertahan sejauh ini bukan buat menyerah sekarang. Jakarta mungkin penuh bahaya, tapi juga tempat di mana kita bisa buktikan semuanya.”

Mereka melangkah kembali, kali ini dengan langkah yang lebih mantap meskipun tubuh mereka lelah. Mereka tahu, perjalanan ini lebih dari sekadar soal bertahan hidup—ini adalah perjuangan untuk sebuah kebenaran yang bisa mengubah segalanya.

Di belakang mereka, suara langkah samar terdengar di hutan. Musuh belum jauh, terus memburu tanpa henti. Tapi bagi Raka, Nadia, dan Pak Hasan, tidak ada waktu untuk takut. Mereka hanya punya satu pilihan: maju, sampai kemenangan ada di tangan mereka.

1
🌜💖Wanda💕🌛
Luar biasa
meris dawati Sihombing
Kereta Api Sumatera tujuan Jakarta dah ada gt?
Kardi Kardi
good workssss
Aditya Ramdhan22
lanjutkan suhu
Irhamul Fikri
kenapa bisa kesel kak
ig : mcg_me
gw pernah hidup kayak gini di bawah orang, yg anehnya dlu gw malah bangga.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)
ig : mcg_me
semangat Arka
Irhamul Fikri: wah pastinya dong, nanti di bagian ke 2 lebih seru lagi kak
total 1 replies
Aditya Ramdhan22
wow mantap suhu,lanjutkan huu thor
Irhamul Fikri: jangan lupa follow
Irhamul Fikri: siap abngku
total 2 replies
Putri Yais
Ceritanya ringan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Irhamul Fikri: jangan lupa follow
Irhamul Fikri: Terima kasih kak
total 2 replies
Aditya Warman
berbelit belit ceritanya
Aditya Warman
Tolong dong tor,jangan mengulang ngulang kalimat yg itu² aja ..boring bacanya...jakarta memang keras...jakarta memang keras...
Heulwen
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Uchiha Itachi
Bikin saya penasaran terus
Zuzaki Noroga
Jadi nagih!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!