Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cuma Ingin Tahu
“Arggh! Ibu minggir! Ini urusan gue, gak ada hubungannya sama Ibu!”
Sunan berteriak sambil menepis tangan ibunya yang mencoba menghalangi. Pemuda belasan tahun itu, meski masih seusia anak SMA, sudah putus sekolah sejak lama. Bau alkohol menyengat dari mulutnya, dan langkahnya goyah.
Ibu Sukamti mundur, wajahnya merah menahan emosi. “Kudu dipie ke meneh, bocah kuwi. Nek Zayyan ngerti, bisa tambah parah marahé,"
Bapak Dikromo, yang baru pulang dari masjid menghela napas berat. “Wes, wes, Bu. Sunan kui nek durung kapok, yo ora bakal mari. Wes biasa ngelawan, ngilang, mabuk…” beliau hanya bisa pasrah.
“Sampe kapan, Pak?!"
Tepat saat itu, Zayyan juga kembali dari masjid. Ekspresinya berubah seketika saat melihat adiknya berjalan sempoyongan di depan rumah.
“Sunan!” serunya lantang.
Sunan berhenti, menoleh dengan pandangan kosong. Mulutnya menyeringai sinis. “Lho, Babang Jay, kesayangan kita semua udah jadi malaikat penjaga rumah, ya?”
Zayyan memukul bambu yang ada di tanah pelataran rumahnya ke dinding sampai bambu itu pecah.
Brak!
Membuat Sunan dan Ibu Sukamti reflek menutup kedua telinga mereka karena takut.
“Nggak ada malunya kamu sama Ibu? Sama Bapak? Sama diri kamu sendiri? Masa depan butuh perjuangan, bukan mabuk-mabukan! Kalo kamu nggak punya arah, jangan pulang!"
“Bang jangan ikut campur. Ini hidup gue." Sunan melangkah masuk tak peduli.
Zayyan menarik kerah belakang baju adiknya sampai Sunan jatuh terjerembab. "Jangan masuk ke rumah kalo kamu lagi mabuk! Pergi dan bersihkan dirimu!" Zayyan menunjuk kamar mandi yang berada di luar rumahnya.
Sunan menunduk.
Bapak Dikromo dan Ibu Sukamti hanya terdiam. Udara pagi yang dingin seolah membeku oleh tensi antara dua saudara itu.
Zayyan masuk ke rumah langsung menuju kamarnya. Ia mengetuk pelan sambil mengucap salam, “Assalamu’alaikum, Aira..."
Lalu memutar gagang pintu dan membukanya perlahan. Matanya langsung menangkap sosok Aira yang meringkuk di pojok tempat tidur. Bahunya gemetar, wajahnya tertunduk dengan tangan yang menutup kedua telinganya.
“Aira?” Zayyan terkejut, segera mendekat dengan wajah cemas. “Ada apa? Kamu kenapa?”
Sebelum sempat Aira menjawab, suara teriakan lantang dari arah dapur kembali mengoyak keheningan.
“Bapak ki piye to?! Ibu wis nyuruh nunggu api sebentar, malah gosong ngene iki masakan Ibu!”
Terdengar suara laki-laki membalas panik, “Bapak cuma pengin bikin teh hangat, Bu. Cuma bentar kok!”
“Lha iya, tapi api tungku kuwi ojo ditinggal! Gosong ngene iki, trus piye coba?!” Suara Bu Sukamti makin meninggi, membuat rumah seperti arena perang kecil yang tidak pernah damai.
Aira makin erat menutup telinganya. Suaranya lirih namun jelas terdengar gemetar. “Kak… keluargamu… nyeremin…”
Zayyan menelan ludah, hatinya mencelos. Ia segera duduk di samping Aira dan meraih tangan istrinya dengan lembut. “Maaf ya, Aira. Selalu aja ada keributan. Itulah kenapa aku lebih sering nggak pernah pulang ke rumah."
Aira langsung meraih tubuh Zayyan dan memeluknya erat. Erat seperti kucing yang enggak dilepas. Gemetar mendengar nada tinggi orang-orang di sekitarnya.
“Keluargamu pasti gak seperti ini ya?” tanya Zayyan dengan suara pelan.
Aira mengangguk pelan.
Zayyan mengusap rambut Aira perlahan. "Kalo begitu, aku akan menciptakan rumah yang baru untukmu. Rumah yang damai. Yang nggak akan membuatmu ketakutan seperti ini lagi."
"Rumah?" Aira memiringkan kepala.
"Hu'um. Hari ini aku akan bawa kamu ke rumah barumu itu."
Aira langsung senang mendengarnya. Dimanjakan dengan materi cukup menyenangkan juga rupanya. Asikk~
Zayyan terkekeh.
"Sekarang kamu sholat dulu, ya. Habis itu kita sarapan, terus berangkat."
"Sholat? Tapi, aku-- aku belum, mandi." Aira baru menyadari itu bahwa dia belum mandi besar setelah disayang-sayang suaminya tadi malam.
Zayyan malah tersenyum lebar penuh arti. "Wah! Kesempatan kedua, dong."
"Kak! Ini udah siang!" Aira cemberut, pipinya memerah karena malu. "Aku bisa dimarahin Allah kalau telat sholat subuh!"
"Bentar aja. Aku yakin, Allah ridho kok." Suara Zayyan terdengar menggoda.
"Kak, jangan akalin agama ya!"
"Tapi ridho suami itu nomor satu, lho." Zayyan mengedipkan sebelah mata, penuh usil.
"Jangan pakai ‘senjata’ itu! Itu curang!" Aira mendorong pelan dada suaminya.
"Aah, Humairaku~"
Zayyan melompat dan memulai berpetualang lagi ke dunia kecil Aira untuk kedua kalinya.
Sekitar pukul 8 pagi, Aira dan Zayyan akhirnya keluar rumah. Langit terlihat cerah, udara pagi masih segar. Tapi sebelum ke rumah baru, Zayyan memutuskan mengikuti permintaan Aira.
...Cocok gak nik Visualisasi Aira dan Zayyan ☺...
Zayyan meraih sepasang anting tindik kecil dari dasbor mobil, lalu memakainya dengan tenang di kedua telinganya. Gerakannya santai, penuh percaya diri. Aira hanya bisa memandang tanpa kedip.
“Ya Allah… suamiku ini, sholih tapi gaya gaulnya kebangetan,” batin Aira terpukau.
Zayyan melirik sekilas, lalu menyunggingkan senyum kecil. “Kenapa kamu lihat aku kayak gitu, istriku?” tanyanya santai, sambil menyuap kurma yang juga tersimpan di dasbor.
Aira menggeleng pelan, senyum geli merekah di bibirnya. “Aku… bener-bener bingung sama kamu, Kak.”
“Bingung kenapa? Karena aku terlalu keren?”
“Bukan… karena kamu itu gabungan antara ustadz dan cowok K-pop.”
Zayyan tertawa.
"Kita ke mana dulu?" tanya Zayyan sambil menyalakan mesin mobilnya, si Civic hitam type R yang dia parkirkan di halaman rumah Paman Sukimo.
Aira ragu sejenak, tapi kemudian menjawab pelan, "Ke tempat kerja seseorang... aku cuma ingin tahu kabarnya."
"Baik. Kita berangkat."
"Bismillaahirrahmanirrahim..."
Aira dan Zayyan akhirnya kembali ke kota dalam waktu satu jam. Aira memberi petunjuk tempat yang ingin dia kunjungi. "Kak... aku ingin ke percetakan pojok jalan itu." tunjuknya.
Zayyan menoleh sekilas sambil tetap fokus menyetir. "Oke. Kamu habis pesen sesuatu di sana?"
Aira canggung, "A-a-anu... iya, dikit."
Zayyan hanya mengangguk tanpa curiga.
Namun diam-diam, detak jantung Aira mulai berdegup tak karuan.
Saat mereka mulai mendekati percetakan kecil di sudut jalan itu, mata Aira tak sengaja menoleh ke arah sebuah kafe terbuka yang berdiri tak jauh dari sana. Di deretan meja luar yang dihiasi pot-pot bunga kecil, ia melihat seseorang yang sangat ia kenal.
Harry...
Dan... bukan sendiri.
Pria itu sedang duduk bersama seorang perempuan. Tapi bukan sekadar perempuan biasa. Wanita itu tampak lebih dewasa, mengenakan dress ketat dan rendah. Menonjolkan hampir seluruh lekuk tubuhnya tanpa malu. Jemari lentiknya menyentuh lengan Harry dengan manja, dan senyum mereka begitu akrab.
Aira spontan menahan nafas. Matanya membelalak. "Harry? Itu... dia sama siapa?" Hatinya menegang.
Zayyan berhasil menemukan tempat parkir yang aman dan mematikan mesin. Baru ia melepaskan sabuk pengamannya.
Namun, Aira tiba-tiba membuka pintu dan keluar dari mobil dengan cepat.
"Aira!" seru Zayyan.
Aira melangkah cepat menuju arah kafe, mendekat pada meja yang kini hanya berjarak beberapa meter darinya. Matanya tak bisa berhenti menatap. Ada luka, ada amarah, dan ada tanda tanya besar dalam benaknya.
"Harry!" Sapa Aira, lebih tepatnya langsung membentak. "Apa yang kamu lakuin disini? Siapa perempuan ini?!"
"Aira?" Harry tercengang hebat, berdiri menegang sampai kursinya terjatuh. "Aira, kok kamu bisa ada disini?!" Alih-alihnya.
"Itu nggak penting!" Bantah Aira, "Siapa cewek ini?!" Aira melihat amplop coklat tebal yang terlipat. "Dan benda apa itu? Apa itu uang?!"
😢💔😔