naya menbeci atasan nya yang bernama raka tapi berujung jadi jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsifa nur zahra u, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23 * antara kepercayaan dan pembuktian *
MAlam itu, aku duduk di balkon apartemenku, menyelimuti diri dengan cardigan tipis, memandangi langit Jakarta yang nyaris tanpa bintang. Rasanya seperti jantungku sedang menimbang berat, penuh pertanyaan tanpa jawaban pasti.
Aku ingin percaya Raka. Ingin yakin bahwa semua yang kami lalui tak akan goyah hanya karena kemunculan masa lalu.
Tapi aku juga perempuan. Yang pernah dikhianati. Yang tahu betul bahwa cinta tak selalu cukup jadi tameng dari keraguan.
Ponselku berbunyi nama Raka muncul di layar. Aku ragu untuk mengangkat, tapi akhirnya menekan tombol hijau.
“Halo?” suaraku pelan.
“Kamu di rumah?” tanyanya, suaranya terdengar berat, seperti menyimpan banyak hal.
“Iya…”
“Aku di bawah. Boleh naik?”
Aku diam sebentar, lalu menjawab, “Naik aja.”
Beberapa menit kemudian, pintu apartemen terbuka dan di sanalah dia. Dengan kemeja biru langit yang kusut sedikit, wajahnya lelah tapi matanya—mata itu masih sama. Penuh tatapan yang membuatku ingin percaya lagi.
Raka duduk di sofa, menghela napas sebelum berkata, “Aku tahu kamu ketemu Ara tadi.”
Aku hanya mengangguk.
“Dan aku tahu dia pasti ngomong yang gak enak.”
Aku masih diam.
“Aku gak tahu dia bakal muncul lagi. Terakhir kami kontak itu… bulan lalu, soal apartemen yang dulu pernah kita beli bareng. Dia masih pake alamat email kerjaku.”
“Apartemen yang kalian rencanakan buat ditinggalin bareng, kan?” tanyaku tanpa bisa menyembunyikan nada getir.
Raka menatapku, seperti ingin meraih hatiku yang mulai menjauh. “Iya. Tapi itu masa lalu, Naya. Waktu aku ketemu kamu, semua rencana sama dia langsung gak berarti.”
Aku ingin percaya. Tapi aku juga lelah berperang dengan rasa takut. Aku sudah terlalu jauh jatuh ke pelukannya. Sudah menyerahkan sisi paling rentan dalam diriku.
“Raka, aku ini perempuan biasa. Aku bukan cewek dari dunia kamu. Aku bukan siapa-siapa,” kataku pelan.
“Tapi kamu segalanya buat aku,” jawabnya cepat.
Aku menoleh, air mataku mulai jatuh. “Kalau aku segalanya, kenapa bagian dari masa lalu kamu datang lagi dan bisa bikin aku ngerasa sekecil ini?”
Raka berdiri dan mendekat. Tangannya menyentuh pipiku, menghapus air mata dengan lembut. “Karena aku belum cukup jago bikin kamu ngerasa aman. Tapi aku akan belajar. Aku gak akan biarin kamu mikir kamu pilihan kedua. Karena kamu satu-satunya.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku membiarkan tubuhku bersandar di dadanya. Bukan untuk mencari kehangatan, tapi karena aku ingin percaya—bahwa kali ini, aku benar-benar dicintai.
*
Keesokan paginya aku bangun lebih awal dari biasanya. Raka sudah pulang tadi malam setelah memelukku lama, lalu berbisik, “Tunggu aku buktiin semuanya.” Kata-katanya masih membekas sampai sekarang.
Kupikir itu hanya janji manis untuk menenangkanku. Tapi ternyata aku salah.
Jam sepuluh pagi, seorang kurir datang ke apartemen. Membawa satu kotak besar berbalut kertas cokelat dan pita hitam. Di atasnya ada secarik kertas kecil bertuliskan:
“Buka. Jangan takut.” – Raka
Dengan alis mengernyit penasaran, aku membuka kotak itu perlahan.
Isinya: sebuah album foto tebal berisi print-out dari banyak tangkapan layar. Aku membalik halaman pertama dan langsung tercekat.
Itu adalah email pertamanya ke Ara bulan lalu, seperti yang dia bilang. Aku melihat tanggalnya, jamnya, dan isi pesannya. Sopan tapi dingin. Hanya membahas aset apartemen.
Halaman berikutnya, percakapan WhatsApp mereka. Tidak ada rayuan, tidak ada nostalgia. Hanya diskusi soal dokumen, lalu jawaban singkat dari Raka: “Saya minta tolong jangan kontak saya lagi. Saya sudah punya hidup baru, hormati itu.”
Tanganku bergetar membalik halaman demi halaman. Semuanya membuktikan satu hal dia tidak berbohong.
Di halaman terakhir ada foto kami. Bukan hasil jepretan kamera profesional, bukan selfie yang sempurna. Tapi foto candid, di balkon apartemenku, aku sedang menertawakan sesuatu, dan Raka menatapku dengan tatapan yang... hangat seolah dunia berhenti di situ saja.
Di bawah foto itu ada tulisan tangannya:
“Aku pernah salah pilih, Nay. Tapi sekarang aku tahu, yang kuingin seumur hidup cuma satu kamu.”
Air mataku jatuh lagi. Tapi kali ini bukan karena sakit melainkan karena tersentuh.
Ponselku berbunyi. Panggilan dari Raka.
“Udah dibuka?” tanyanya dari seberang sana.
Aku mengangguk, meski tahu dia tak bisa melihat. “Udah.”
“Aku tahu kamu takut. Aku pun takut. Tapi aku gak akan lari. Dan mulai hari ini, aku gak akan kasih ruang buat keraguan. Kalau perlu aku perjelas semuanya ke siapa pun, termasuk Ara, aku akan lakukan.”
Aku tersenyum, masih sambil menyeka air mata. “Kamu serius banget ya…”
“Karena kamu juga serius. Kamu udah kasih semuanya ke aku, Nay. Termasuk sisi yang paling kamu lindungi. Masa aku gak kasih seluruh hidupku buat kamu?”
Dan entah kenapa, kalimat itu menghantamku lebih kuat dari kata “aku cinta kamu.”
Karena cinta bisa diucapkan siapa saja. Tapi pengorbanan dan pembuktian, hanya datang dari mereka yang benar-benar berniat tinggal.
*
Aku datang lebih pagi ke kantor hari ini. Lorong masih sepi, hanya ada suara printer dari divisi sebelah dan langkah kaki sesekali dari OB. Tapi entah kenapa, hatiku tidak sepi.
Mungkin karena aku sudah siap. Sudah gak mau lagi menunggu semuanya jelas tanpa ikut bergerak. Kali ini, aku mau berani.
Aku masuk ke ruanganku, menyalakan laptop, dan mulai mengecek data laporan divisi. Meskipun aku dan Raka sudah tidak berada di satu tim langsung, proyek yang sedang digarap perusahaan membuat kami tetap harus berkoordinasi.
Dan aku tidak keberatan.
Pukul sembilan lewat lima, seperti biasa, Raka melintas di depan ruanganku. Aku bisa mencium aroma parfumnya yang khas, dan seperti biasa juga—ia melirik ke arahku.
Tapi kali ini aku tidak menunduk atau pura-pura sibuk.
Aku berdiri, mengambil laporan yang memang harus diserahkan, dan berjalan menghampiri ruangannya yang kini berada di ujung koridor. Jantungku berdebar, tapi langkahku mantap.
“Pagi, Pak,” sapaku sambil mengetuk pintu yang setengah terbuka.
Ia menoleh, senyumnya muncul pelan. “Pagi, Naya. Masuk.”
Aku masuk dan meletakkan laporan di mejanya. “Ini laporan koordinasi mingguan dari divisi kami. Ada beberapa catatan dari bagian sourcing juga.”
Ia mengangguk, lalu menatapku dalam. “Cuma itu?”
Aku menarik napas. “Enggak. Aku juga mau bilang sesuatu.”
Raka bersandar di kursinya, mendengarkan.
“Aku tahu beberapa hari terakhir kamu banyak usaha buat buktiin semuanya. Aku lihat, dan aku percaya.” Mataku menatap lurus ke matanya. “Jadi kalau kamu tanya, apa aku masih takut jawabannya iya. Tapi sekarang aku juga siap untuk coba lebih berani.”
Tatapannya melunak. “Berani kayak gimana?”
Aku tersenyum kecil. “Berani untuk gak sembunyiin perasaan aku. Kita udah beda divisi, Raka. Kita bisa lebih leluasa sekarang. Dan aku gak mau terus pura-pura kita cuma kolega biasa.”
Ia terdiam sejenak, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat.
“Jadi... kalau aku mulai terang-terangan lebih perhatian di kantor, kamu gak akan kabur?”
Aku menahan tawa. “Kalau kamu berlebihan, mungkin aku jitak. Tapi kalau sewajarnya, aku gak keberatan.”
Ia tertawa pelan, lalu menyentuh lenganku sebentar—singkat, tapi cukup untuk bikin detak jantungku melompat.
“Deal,” katanya.
Dan untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku keluar dari ruangannya tanpa rasa bersalah tapi dengan hati yang penuh.
g bertele-tele 👍👍👍👍👍
😘😘😘😘😘😘
gmn klo a ny jdi e😩😩😩😩