NovelToon NovelToon
Ratu Dan Pria Tak Terlihat

Ratu Dan Pria Tak Terlihat

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:685
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Dari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang memberikan kepercayaan diri untuknya.

Sedangkan Ratu, Ia sosok perempuan sempurna. Ratu terkenal tak mau berkomitmen dan berpacaran, Ia seorang pemain ulung. Hidup Ratu berubah saat Ia dan Syailendra satu team mewakili olimpiade kimia dari sekolahnya. Mereka tak pernah sekelas, dan Ratu bahkan baru mengenalnya. Tapi sosoknya yang misterius merubahnya, Ratu merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria itu, membuatnya merasa hangat dan tak mau lepas darinya.

Namun dunia tak mendukung mereka dan mereka harus berpisah, mereka lalu bertemu sepuluh tahun kemudian. Apakah kisah kasih mereka akan tersambung kembali? Atau malah akan semakin asing?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 - Pelukan Kejutan

Bosan di rumah, Syailendra pun keluar sebentar dengan niatan mencari udara segar. Dua hari ini ia sangat suntuk karena dikurung oleh sang ayah. Gunawan menegaskan. Sebelum lebam di wajahnya memudar, ia tidak boleh masuk sekolah. Hal itu membuat Syailendra frustrasi. Sang ayah tidak tahu ia mengikuti olimpiade. Syailendra merasa banyak ketinggalan materi jika terus-terusan libur. Walau ia tahu meski berhenti sekolah sekarang pun ayahnya itu tidak akan peduli.

Ratu. Nama itu terus tertanam di benak Syailendra. Gara-gara bertengkar dengan Galih malam itu, ponselnya hilang. Syailendra tidak menemukan benda pipih itu usai ia bangun dari pingsannya. Karena itulah ia tidak menghubungi Ratu sampai detik ini.

Maka, Syailendra berniat keluar rumah kali ini untuk membeli ponsel. Untuk masalah uang, Syailendra punya jika hanya sekedar membeli ponsel. Gitu-gitu ayahnya tetap memberi uang jajan. Meski dibatasi dan tak sebesar saudaranya yang lain.

Tidak terlalu jauh dari area kompleks perumahannya. Syailendra hanya membeli ponsel di toko yang kebetulan berada di seberang jalan raya, tak jauh dari gerbang kompleks. Usai mendapat ponsel dengan logo apel dan menginstall seluruh aplikasi yang ia butuhkan, orang pertama yang Syailendra ingat adalah Ratu.

Sial, ia lupa nomor ponsel gadis itu.

"Anak-anak udah kelar bootcamp belum, ya?" celetuk Syailendra ragu.

Entah angin apa yang membuat dirinya begitu ingin pergi ke sekolah hari ini. Minimal turun di halte depan sekolah, lantas memantau apakah Ratu sudah pulang atau belum.

Tujuan Syailendra melenceng. Masa bodoh dengan aturan yang ayahnya buat. Sungguh, Syailendra kangen dengan Ratu. Ia ingin berjumpa dengan gadis itu meski hanya dari kejauhan.

Maka Syailendra berderap menuju halte dekat sana, lantas menaiki bis yang biasa ia tumpangi untuk pergi ke sekolah. Pandangan Syailendra tak sengaja terlempar ke arah jendela, menikmati jalan raya yang terlihat lembab terkena air hujan.

"Ah, hujan."

Syailendra sudah menduga hari ini hujan akan turun. Sebelum keluar rumah ia mengecek ramalan cuaca. Untung ia membawa payung lipat. Jadi tidak terlalu khawatir akan kehujanan.

Baru saja ia akan mengalihkan pandangan ke depan, matanya tak sengaja menangkap sosok perempuan yang tengah berjongkok di trotoar. Itu Ratu. Syailendra hafal persis porsi tubuh dan juga warna tas yang gadis itu kenakan.

"Stop, Pak!"

Syailendra menghentikan bis tersebut, lantas turun dari sana setelah membayar ongkos. Segera ia kembangkan payung dan berjalan ke arah perempuan yang tengah berjongkok tersebut.

"Syai ... aku kangen." Perempuan itu bersuara, menambah keyakinan Syailendra bahwa gadis itu memang benar Ratu.

Alhasil ia arahkan payung tersebut ke kepala Ratu. Berselang sedetik, gadis itu mendongakkan wajahnya hingga membuat pandangan mereka bertemu di titik yang sama. Dada Syailendra bergetar menatap wajah Ratu yang sembab seperti habis menangis.

"Kenapa kamu jongkok di trotoar? Nggak lihat hari hujan? Mau cari penyakit ya?!" Syailendra langsung mengomel panjang lebar.

Namun gadis itu sama sekali tidak memedulikan ocehannya. Yang terjadi setelahnya adalah Ratu menghamburkan diri ke pelukan Syailendra hingga membuat payung yang Syailendra pegang jatuh ke trotoar.

"Kamu jangan hilang lagi, Syailendra ...."

Suara Ratu terdengar serak, bercampur dengan derasnya hujan yang mengguyur mereka. Muka Syailendra yang masih lecet terasa perih ditusuk jarum air. Alhasil, ia ajak Ratu mencari tempat berteduh di sekitar itu. Kebetulan ada ruko kosong. Jadilah Syailendra mengajak Ratu berteduh di sana.

"Kamu gila ya? Kenapa kamu sengaja mandi hujan?!" kata Syailendra, marah.

Ratu menoleh dengan matanya yang sembab. "Ya. Aku gila. Gila banget karena nggak tahu kabar kamu selama dua hari ini!"

Syailendra terdiam. Sorot matanya melembut. Ia jadi tidak tega memarahi Ratu karena memang dirinya yang salah tidak memberi kabar. Sedikit tersanjung ia lantaran Ratu secemas ini padanya.

"Aku ... aku—"

"Aku tau," sela Ratu, lantas tangan gadis itu mendarat di pipi Syailendra dan memberikan usapan pelan di sudut bibir lelaki itu. "Semua ini karena Galih, kan?"

Hening. Syailendra hanya menghela napas seraya menatap wajah cantik Ratu lekat-lekat.

"Maafin aku karena baru tau," isak Ratu.

Syailendra mengerjap kala gadis itu kembali memeluknya.

"Aku nggak tau kamu dihajar sama Galih malam ini. Semua ini gara-gara aku. Andai kamu nggak temenin aku main tenis, nggak akan gini jadinya."

Syailendra membalas pelukan Ratu, mengusap punggung dan rambut basah gadis itu amat lembut.

"Ini bukan salah kamu. Kamu nggak ada kaitannya dengan ini semua. Jangan nangis lagi. Aku udah nggak apa-apa kok...."

"Nggak apa-apa gimana? Muka kamu sampai lecet begitu."

"Iya. Tapi udah agak mendingan. Nggak separah dua hari lalu."

Ratu melepas pelukan mereka tanpa menjauhkan badan. Ia tangkup kedua rahang milik lelaki itu, lalu menatap luka di sudut bibir dan pipi Syailendra. Ia usap lembut, membuat Syailendra meringis menahan sakit.

"Kamu jadi luka gara-gara aku," bisik Ratu.

Lagi, Syailendra menggeleng. Ia seka air mata Ratu dengan jempolnya. "Udah aku bilang, jangan salahin diri kamu lagi. Aku nggak suka dengarnya."

"Aku bakal laporin Galih ke guru BK. Dia harus dihukum karena nyerang kamu tanpa sebab!"

"Tapi ini terjadi di luar area sekolah. BK nggak akan tanggapin kasus ini," tolak Syailendra merasa lelah.

"Tapi kamu harus dapat keadilan. Kalau pun BK nggak bisa urus, ayo kita lapor polisi. Kita penjarain Galih buat kasih dia hukuman. Ya?"

Syailendra menggeleng. Jangan lupakan ucapan Gunawan kala itu yang tidak mau kasus ini bocor ke polisi. Syailendra tidak bisa membiarkan Ratu melakukan itu. Walau sebenarnya ia juga ingin mencari keadilan untuk dirinya sendiri.

"Nggak usah diperbesar. Masalahnya udah selesai kok. Jangan ada polisi-polisian."

Ratu tampak tak suka mendengarnya. "Ya tapi kenapa? Dia udah jahat sama kamu. Nggak bisa dibiarin gitu aj—"

Ucapan Ratu terjeda saat Syailendra meletakkan telunjuk ke bibirnya. Telunjuk Syailendra terasa hangat, berpadu dengan lembab dan basah bibir Ratu. Detik itu juga jantung Ratu berdegup tak beraturan. Apalagi wajah mereka hanya berjarak beberapa inci saja.

"Aku baik-baik aja. Kasusnya juga udah selesai malam itu. Benar-benar selesai. Jadi, kita lihat ke depan aja ya. Jangan menoleh ke belakang terus."

Sejujurnya Ratu agak tidak terima dengan keputusan Syailendra itu. Sungguh, Ratu ingin memberikan Galih pelajaran. Bahkan ia tidak keberatan sama sekali jika Syailendra meminta bantuannya untuk menghukum Galih. Sayang Syailendra tidak mau. Maka Ratu tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika orang yang bersangkutan saja tidak mau masalah ini berlanjut.

"Ya udah kalau gitu," kata Ratu pasrah.

Syailendra tersenyum. Ia bawa Ratu duduk di emperan toko yang sedang tutup itu. Hujan makin deras. Tak ada pejalan kaki yang terlihat melintasi jalan raya. Hanya ada mereka berdua di ruko tutup itu. Karena dingin, Syailendra meraih tangan Ratu, lantas menggosok-gosokkan tangan mereka untuk menciptakan kehangatan. Ratu tak segan merebahkan kepalanya di bahu kokoh Syailendra. Mereka nyaman dengan posisi seperti itu.

"Jadi tadi kamu nyariin aku makanya sampai hujan-hujanan, ya?" tanya Syailendra lembut.

Ratu mengangguk ringan. Malu mengakui.

Syailendra bukannya tidak senang Ratu mencemaskannya. Hanya saja, Syailendra tidak mau Ratu sampai merepotkan diri sendiri hanya demi mencari keberadaannya yang tidak tahu di mana.

"Lain kali jangan begitu. Iya tadi kita ketemu. Kalau enggak gimana? Mau sampai kapan kamu di trotoar itu hujan-hujanan, hm?" lalu Syailendra usap pipi Ratu. Jempolnya mengenai sudut bibir Ratu yang terasa lembab dan halus.

"Aku bodoh ya?" Ratu terkekeh, mengejek diri sendiri.

Maka Syailendra raih dagu Ratu untuk membuat wajah mereka berhadapan. Sorot matanya makin melembut saat berkata, "kamu nggak bodoh. Aku cuma nggak mau kamu sakit. Nggak mau kamu kenapa-kenapa."

"Tapi kamu beberapa hari ini nggak bisa dihubungi. Aku udah coba kirim pesan, telfon, tapi nomor kamu nggak aktif."

Syailendra pun menceritakan tentang ponselnya yang hilang pada malam itu. Ia tunjukkan pula paper bag berisi ponsel baru yang kotaknya basah terkena air hujan. Dengan cepat mereka buka box tersebut, takut ponselnya di dalamnya kebasahan. Untungnya benda pipih itu masih aman tersegel.

Namun ada satu hal yang membuat Ratu bingung bukan main. Pasalnya, orang sederhana mana yang mampu membeli ponsel dengan harga belasan juta? Kalau dipikir-pikir ponsel Syailendra memang mewah—sama seperti ponselnya. Ini bukan maksud ia merendahkan Syailendra, lho, ya. Tapi menurut Ratu hal ini agak sedikit 'aneh' mengingat setiap hari Syailendra pulang dan pergi sekolah naik bis.

"Mana nomor kamu? Sini aku save."

Ucapan Syailendra membuat Ratu tersadar dari lamunannya. Ia ambil ponsel itu, lantas memasukkan nomor telfonnya ke sana. Syailendra langsung menyimpannya di daftar kontak.

Ah, mungkin aja itu uang tabungan dia. Kenapa aku malah mikir ke sana ya? Buru-buru Ratu buang pikirannya tentang 'dari mana Syailendra bisa mendapatkan ponsel itu'. Yang terpenting sekarang Syailendra sudah ada ponsel lagi. Jadi ia bisa menuntut kabar dari lelaki itu kapan pun yang ia mau.

"Kamu harus sering-sering chat aku. Jangan hilang lagi. Kalau ada apa-apa tolong kasih tau aku. Kamu harus janji!" Ratu mengulurkan kelingkingnya ke hadapan wajah Syailendra.

Syailendra masih geming. Hal itu membuat Ratu merasa jengkel. "Ayo janji!"

Maka Syailendra pun menautkan kelingking mereka. "Iya, aku janji nggak akan pernah hilang dari kamu lagi."

Lalu mereka pun terkekeh. Persis seperti anak kecil yang sedang main janji-janjian. Syailendra sendiri tidak tahu sejak kapan pastinya ia mulai bisa senyum dan tertawa lepas. Seumur hidupnya, Syailendra sangat pelit menebar senyum pada orang lain. Ia hidup untuk dirinya sendiri. Melakukan apa pun yang ia suka, tentunya di bawah tekanan sang ayah.

Namun semua terasa berbeda sejak Ratu—si most wanted sekolah itu—masuk ke hidupnya. Syailendra tidak sadar ia telah melewati batas yang ditentukan ayahnya, yaitu ... masuk olimpiade. Hal yang sejak dulu sangat diwanti-wanti oleh Gunawan, bahwa—

Jangan ikut kegiatan apa pun di sekolah yang akan membuat kamu disorot! Jadilah siswa biasa. Kalau kamu tetap bandel, Papa tidak akan menyekolahkan kamu lagi.

"Besok kamu sekolah kan?"

Pertanyaan itu membuat Syailendra bimbang bukan main. Gunawan telah melarangnya pergi ke sekolah jika mukanya masih lebam seperti ini. Namun di sisi lain ia juga tidak enak libur lama-lama. Apalagi olimpiade waktunya semakin dekat.

"Sekolah ya, Syai, ya? Sebenarnya aku ada berita bagus untuk kamu. Berita ini lebih baik kamu dengar langsung dari Bu Susan. Tapi di sini aku yang udah nggak sabar pengen kamu tau. Kamu ... harus ikut olimpiade itu. Tau kenapa?"

Syailendra diam menyimak.

"Karena kamu bukan lagi peserta cadangan. Bu Susan udah tetapin kamu sebagai anggota inti yang mewakili sekolah kita."

Mata Syailendra berbinar mendengarnya. Ini kabar bagus, Syailendra tentu merasa bahagia karena dirinya bisa ada di posisi ini. Bahkan bermimpi pun selama ini ia tidak berani.

"Kamu beneran?" ulang Syailendra, meyakinkan.

"Iya, aku nggak bohong. Jadi ... kamu harus datang besok ke sekolah karena waktu kita hanya tinggal beberapa hari lagi. Kita harus belajar ekstra, kalau perlu belajar tambahan di luar."

Syailendra termangu. Ia malah bimbang entah harus menuruti perkataan ayahnya, atau berjuang untuk masa depannya sendiri. Kali ini Syailendra benar-benar ingin mengikuti olimpiade itu. Ia merasa dirinya punya hak untuk melakukan apa yang ia mau—selagi itu di jalan yang benar dan tidak mempermalukan nama keluarga.

"Syai? Kenapa diam?"

"A—ah iya."

"Kamu besok sekolah kan? Kita udah nggak punya banyak waktu. Temenin aku, Syai. Kita belajar bareng-bareng. Kita hadapin semua berdua. Ya, ya, ya?"

Perkataan itu seolah menghipnotis Syailendra. Kebimbangannya sirna entah ke mana. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah 'Ratu tidak boleh sedih lagi'. Maka, ia pun menganggukkan kepala, melupakan segala peraturan bodoh yang Ayahnya berikan, seraya berkata—

"Iya, besok aku sekolah. Tunggu aku, ya ...."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!