NovelToon NovelToon
PEMBANGKANG SURGAWI

PEMBANGKANG SURGAWI

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Fantasi Timur / Kelahiran kembali menjadi kuat / Dan budidaya abadi / Budidaya dan Peningkatan / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:28.8k
Nilai: 4.8
Nama Author: Almeira Seika

Jiwa seorang ilmuwan dunia modern terjebak pada tubuh pemuda miskin di dunia para Abadi. Ia berusaha mencapai puncak keabadian untuk kembali ke bumi. Akankah takdir mendukungnya untuk kembali ke bumi…. atau justru menaklukkan surgawi?

**

Mengisahkan perjalanan Chen Lian atau Xu Yin mencapai Puncak Keabadian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almeira Seika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23—Murid Inti

Di sebelahnya, Hao Lin, saudari kembarnya yang juga berambut perak, menyilangkan kaki dengan elegan. Jubah putihnya bersulam simbol naga perak. Ia tertawa kecil, lembut, namun menusuk. “Itu bukan bau kayu, adik. Itu aroma murid rendahan. Kudengar dia dibawa masuk dibawa oleh Tetua Qian, seperti memungut sisa-sisa dari sampah.”

Ekspresi gembira di wajah Xu Yin seketika berubah menjadi dingin. Ia tidak menyangka, jika di sini ternyata sama saja. Ia pun hanya menundukkan sedikit kepalanya, seolah memberi hormat, lalu berjalan perlahan melewati mereka.

Namun hinaan belum berhenti.

Zhu Qiang, seorang pemuda bertubuh besar dan bermata cekung dengan rambut yang dikepang rapat ke belakang, muncul dari lorong kanan. Tubuhnya bersandar pada dinding batu dengan satu tangan memegang tongkat ukirannya.

“Aku rasa anjing kampung ini salah masuk gerbang,” katanya sambil tertawa lirih. “Biasanya asrama di sayap barat hanya dipakai oleh murid dengan kultivasi tinggi… atau minimal, darah murni. Tapi mungkin Tetua Qian ingin menyimpan alat tungku di dalam asrama.”

Xu Yin menahan hinaan itu sembari menangkupkan tangan dan memberi hormat. “Hormat Junior pada Senior.” Setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya.

Langkah kakinya membawanya menuju lorong yang sepi, lalu berhenti di depan kamar kecil di ujung paling kiri. Saat ia hendak membuka pintu, suara tumit terdengar pelan, mendekat ke arahnya.

Li Jiayi muncul dari balik tiang batu. Matanya tajam seperti jarum, dan rambut hitam sebahunya dibiarkan teurai. Ia menyilangkan tangan, punggung bersandar santai ke dinding seolah sedang menunggu sejak tadi.

"Saudaraku, Li Fengzhi, hampir mati saat berlatih demi menjadi Murid Inti. Tapi... posisi itu kau rebut." Bisiknya lirih namun tajam. "Tapi kurasa, melihatmu dihina setiap hari lebih menyenangkan daripada membalas dengan mengotori tanganku dengan darah hina."

Xu Yin hanya memandang gadis itu sejenak, lalu memberi hormat dan kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Ia tidak tahu, mengapa setiap langkahnya, selalu saja ada yang mengganggu. Seakan-akan, seluruh dunia ini adalah musuhnya. Ia pun membersihkan kamar barunya yang berselimutkan demi, lalu menaruh barang-barang bawaannya.

Dan... sejak ia pindah ke Asrama Sayap Barat Murid Dalam, diskriminasi menjadi rutinitasnya.

Setiap pagi dimulai bukan dengan suara lonceng asrama, tetapi dengan tekanan spiritual yang menyesakkan paru-paru. Aura tak kasat mata merembes dari arah aula utama. Gelombang spiritual itu lemah, namun teratur, bagaikan bisikan-bisikan roh jahat yang berasal dari neraka. Namun Xu Yin tahu, itu bukan aura biasa. Itu tekanan buatan, yang dikirimkan secara sengaja oleh Hao Xin dan Zhu Qiang yang tertuju hanya kepadanya.

Tekanan itu menyelusup pelan seperti asap tipis, menggumpal di sudut kamarnya sebelum menggantung di atas kepala. Membuat setiap helaan napas saat bermeditasi menjadi usaha keras. Meridiannya, yang masih dalam tahap pemurnian, mulai tersumbat lagi. Aliran Qi yang seharusnya mengalir seperti air gunung kini tersendat seperti darah beku. Berkali-kali tubuhnya terguncang saat meditasi, keringat dingin mengalir di pelipis.

Kabut spiritual yang biasanya berada di dalam kamar setiap murid, warna normalnya adalah bening. Tetapi, kabut spiritual yang berada di dalam kamar Xu Yin berubah warna menjadi abu dan hitam legam, tanda adanya ketidakseimbangan energi. Ia tahu itu ulah mereka. Mereka merusak aliran energi dari formasi dasar yang terhubung ke kamarnya, secara halus dan teknis, tanpa bisa dibuktikan secara langsung.

Hari ke tiga puluh sejak Xu Yin pindah ke asrama Murid Inti. Hari itu, ia tidak mengenakan jubahnya dan pergi ke perpustakaan. Ketika kembali ke kamar, ia menemukan jubah miliknya telah hilang. Saat ia mencari ke seluruh penjuru lorong, jubah itu ditemukan tergantung di tiang kayu belakang dapur alkimia dalam keadaan basah, berbau busuk, dengan jejak sepatu menodai bagian punggungnya.

Hari berikutnya, sepasang sepatu miliknya, dipindahkan entah oleh siapa, dan ditemukan tertancap di lumpur kolam ikan. Aroma amisnya belum hilang meskipun sudah dicuci dengan air tiga kali.

Xu Yin tidak pernah menyangka jika perilaku Murid Inti jauh lebih hina dibandingkan Murid Luar. Meskipun Murid Luar sama buruknya, setidaknya, mereka tidak kelewatan batas. Walau, kakinya pernah dipatahkan, tapi, keadaan itu tidaklah seburuk ini.

Di ruang latihan umum, atmosfernya tak kalah dingin. Begitu Xu Yin masuk, keheningan menyambutnya. Bukan keheningan yang tenang, melainkan keheningan dari mata-mata para 'Murid Dalam' yang meliriknya dengan setengah rasa jijik, setengah ejekan, setengah kasihan, namun tak satu pun dari mereka yang menyapa. Mereka takut, tentu saja. Tak ada yang mau bersentuhan dengan murid yang menjadi musuh keempat Murid Inti.

Bisikan mengalir seperti jarum halus menusuk telinga.

“Itu dia. Anak yang tak punya malu setelah melawan Yu Xinyi dan berbaring di ranjang pemulihan selama satu tahun, tapi masih nekat menjadi Murid Inti.”

“Bahkan kotoran sapi lebih terhormat dibanding dia.”

“Kupikir Tetua Qian sudah tua dan gila. Mengangkat… makhluk rendahan seperti itu?”

Salah satu murid luar bahkan tertawa keras saat Xu Yin duduk bersila di sudut ruang. Ketika Xu Yin menutup mata untuk mulai menyerap Qi, seseorang menaburkan bubuk gangguan aliran napas ke arah tempatnya, serbuk halus itu dari akar tanaman busuk. Efeknya ringan tapi mengacaukan pola pernapasan dalam waktu lama. Napas Xu Yin menjadi tersengal, irama Qi berantakan, dan lagi-lagi ia harus menghentikan latihan lebih awal.

Namun yang paling menyakitkan bukan perlakuan itu.

Yang paling menghancurkan adalah harapannya sendiri. Sebelumnya, ia berharap memiliki teman di sini. Kenyataannya, semua itu hanyalah omong kosong. Yang ia dapatkan tidak jauh lebih buruk dibanding di Asrama Murid Luar.

Hari ke enam puluh sejak ia pindah ke asrama Murid Inti. Papan pengumuman giok yang berada di aula utama Asrama Sayap Barat selalu diperbarui tiap minggu. Tapi setiap kali Xu Yin datang untuk menyalin formula latihan, informasi yang tertulis tampak sedikit berbeda dari yang asli, ‘sengaja dipalsukan’. Pada awalnya ia tak sadar. Tapi suatu malam, saat mencoba teknik 'Pemurnian Qi' dari papan, ia justru memuntahkan darah. Aliran Qi-nya terbalik sesaat dan hampir menghantam dantiannya. Dari balik jendela kamar, ia mendengar suara tawa yang tertahan.

Di ruang makan pun tak ada jeda dari perlakuan itu.

Saat ia duduk, tak lama kemudian seseorang ‘tak sengaja’ menyenggol mangkuk supnya, menumpahkannya ke celana atau ke meja. Ketika ia berdiri untuk mengambil air, bangkunya akan bergeser ke samping seolah tertarik oleh energi tak kasat mata, membuatnya terjatuh saat hendak duduk kembali. Kadang makanannya diganti diam-diam, buburnya diisi debu kering atau supnya dicampur jamur beracun yang menyebabkan kemacetan Qi selama beberapa hari. Semua itu tanpa suara, tanpa tawa, hanya tatapan-tatapan datar dari sekeliling, seolah-olah itu hal biasa yang patut diterima oleh seseorang ‘sepertinya’.

Dan keempat Murid Inti? Mereka tidak pernah menyentuh Xu Yin secara langsung.

Tapi setiap kali ia lewat, Hao Lin akan memutar rambutnya sambil tersenyum tipis. Zhu Qiang sering menutup hidungnya seolah mencium sesuatu yang busuk. Hao Xin hanya akan tertawa pelan sambil menepuk pundak Murid Luar yang sedang menyapu lantai, lalu berbisik, “Setidaknya kau masih lebih terhormat daripada dia.” Dan Li Jiayi? Ia hanya akan berdiri di salah satu lorong, bersandar di pilar, mengamati dengan mata seperti pisau, tanpa berkata apa-apa, namun tatapannya seolah-olah menguliti keberadaan Xu Yin satu lapis demi satu lapis.

Hari-hari seperti itu berulang tanpa jeda selama tiga bulan sejak ia pindah ke asrama Sayap Barat. Namun, Xu Yin tidak pernah membalas. Ia tahu, jika ia membalas, maka salah satu dari para Tetua akan memberinya masalah. Sebab, para Murid Inti adalah murid langsung dari para Tetua. Sementara itu, Tetua Qian tak kunjung kembali ke Sekte, entah dimana beradaannya saat ini.

Saat penindasan dan intimidasi itu mereka lakukan. Xu Yin tidak menatap mereka dengan dendam ataupun mata yang melotot. Tidak juga membantah. Bahkan tidak melangkah lebih cepat saat berjalan melewati lorong penuh bisikan. Ia hanya mengamati, dan menahan. Mungkin... menunggu saatnya tiba, walau ia tidak tahu sampai kapan hari itu datang.

Penindasan dan intimidasi bukanlah hal asing bagi Xu Yin. Sejak masih menjadi Chen Lian di dunia modern, luka seperti ini telah lama menggores batinnya. Ia masih mengingat jelas hari yang menyesakkan dadanya saat itu, ketika laboratorium tempatnya mengabdi justru menuduhnya mencuri teori kuantum yang ia ciptakan sendiri.

Tak satupun dari senior di laboratorium yang membelanya, tak ada tangan dari rekan-rekannya yang memberikan bantuan. Bahkan kedua orang tuanya hanya mengiriminya beberapa pesan teks, ‘kau sudah besar, bisa mengatasi ini sendiri’

Namun di tengah kehancuran itu, dua sahabatnya datang untuk menghiburnya. Walaupun Chen Lian dan Fu Heng selalu memiliki konflik kecil, tetapi, itulah bumbu persahabatan di antara mereka. Dan Lu Rei sebagai penengah untuk mereka berdua.

Disaat-saat titik terendah inilah, ia mengingat masa-masa indah itu. Air matanya menetes saat bayangan kedua sahabatnya muncul dari kegelapan. Ia sedang duduk bersila dan matanya tertutup, tetapi... air matanya mengalir keluar dari sela-sela mata yang terkatup.

Saat ia menangis sembari bermeditasi, tiba-tiba suara ketukan lembut terdengar dari pintu kamarnya.

TOK. TOK. TOK.

Tanpa menunggu jawaban, pintu itu terbuka perlahan. Seorang pemuda tinggi dengan bahu tegap dan senyum hangat muncul di ambang pintu. Ia mengenakan jubah biru langit tanda seorang Murid Inti. Wajahnya cerah, matanya jernih seperti danau tanpa riak.

Tanpa disuruh, pemuda itu memperkenalkan dirinya sendiri sembari tersenyum ramah. “Namaku Duan Fang. Aku juga murid inti di sini. Maaf, baru bisa menemuimu setelah meditasi pintu tertutup."

Xu Yin membuka matanya dan menoleh ke arah pemuda itu, tatapannya tenang namun sedikit waspada. “Xu Yin,” balasnya pendek.

1
Donna
apakah mirip dg yg d gambar??
Filanina
maksudnya, pamannya itu pintar karena sudah golden core stlh belajar 16 tahun tapi walau pun pintar ttp blm bisa mengenali primordial keponakannya?
Filanina: tapi kurang pintar karena tidak bisa mengenali primordial kan?

soalnya kok kayak tolak belakang. dikatakan pintar tapi tidak mampu.
LaoTzy: Iya pamannya punya bakat terpendam mungkin😭
total 2 replies
Filanina
kayak orang kurang sopan nggak sih ga jawab pertanyaan. Jatuhnya bukan dingin tapi ga sopan.
LaoTzy: Bener banget
total 1 replies
Filanina
oh... berarti itu khusus pedang kendaraan ya.
LaoTzy: Iya. Terinspirasi dari novel sebelah😭
total 1 replies
B A B Y B U N N D
Uupp
༆ᴛᴀ°᭄ᴠᴇᴇʀᴮᴼˢˢ彡
Gaadsss lanjooottt thorr
Filanina
Kalau dalam novel china kayak gini emang jarang sih ngasih penjelasan... terjadi begitu saja dan diterima begitu saja.
Filanina
ini pedang terbang itu biasanya pedang yg dipakai bertempur atau bukan sih? Atau khusus kendaraan?
pedang biasa bisa apa nggak? tergantung ilmu seseorang atau tergantung pedangnya?
Filanina
lucu juga ya, siapa yang pertama kali dapat ide pedang jadi kendaraan?

mungkin padanan sapu terbang penyihir atau karpet terbang aladin. cerita2 benda terbang yg jadi kendaraan yang lebih kuno.
Filanina
mungkin diberikan bukan memberikan. kalau nggak memberikannya. objeknya diganti -nya. subjeknya ttp wanita itu.
Filanina
Thor, ini dalam narasinya bakal ditulis Chen lian terus sementara di sana namanya Xu Yin?
Filanina
owh... yang terkuat bukan yang nomor 1 ya... ?
Filanina
semnanti mungkin typo ya. apa sembari?
Filanina
kalau mau perbaiki, pakailah koma sebelum petik alih-alih titik. trus dialog tag ditulis huruf kecil.
Filanina
saya ngasih koreksian typo
Filanina
kok aneh sekali kalau sampai kedua orang tuanya seperti itu. padahal anak tunggal.
Filanina
wah, parah itu. Belum tahu apa2 langsung dihajar
Filanina
cuma basuh muka? /Shame/
Filanina
jangan2 Fu heng bakal jadi musuh...
Filanina
iya-ya
ibunya jadi hangat.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!