Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyalahkan
Suasana di kamar rumah sakit itu masih terasa hening. Cahaya matahari sore menembus tirai jendela, menciptakan bayangan lembut di dinding. Jelita duduk di ranjangnya, masih mencoba memahami situasi yang membingungkan.
Mama Acha menghela napas pelan, lalu menepuk tangan Jelita dengan lembut. "Kalau begitu, kamu istirahatlah, sayang. Mama dan Papa baru pulang kerja, belum sempat ganti baju. Nanti malam Mama balik lagi ke sini, bawa makanan yang kamu suka."
“Iya, Ma.” jawab Jelita sambil tersenyum kecil.
Dalam hatinya, Jelita masih bingung harus merespons seperti apa. Namun, senyum lembut Mama Acha membuat hatinya sedikit lebih tenang.
"Wanita ini, benar-benar kelihatan tulus. Hangat banget. Apa selera makanan kesukaan Jelita asli ini sama denganku, pecinta cokelat?" pikir Jelita.
Mama Acha menatap anak-anak muda di ruangan itu. "Kalau begitu, Mama tinggal ya. Kalian nggak apa-apa kan jika Tante dan Om tinggal?"
Willy menjawab dengan semangat, "Gak apa-apa, Tante. Santai saja. Kami akan jaga anak Tante ini penuh dengan kehati-hatian."
"Kamu bisa aja, Wil," sahut Mama Acha sambil tersenyum. "Ya sudah kalau begitu. Kalian semua, makasih udah nemenin Jelita, ya."
“Iya, Tante. Sama-sama,” jawab Tiara.
“Iya, Tante, nanti kita jagain Lita,” timpal Harry cepat.
Sementara Reza dan Raza malah saling melirik dan kompak menjawab, “Kalau kami sih jagain sambil ngusilin, boleh kan, Ma?”
Mama Acha hanya menggeleng pelan dengan senyum geli, lalu menatap mereka berdua sambil memberi isyarat mata ke arah Jelita. “Eh, jangan kelewatan ya kalian berdua. Itu adik kalian baru saja sadar.”
“Iya iya iya, Ma” jawab Raza sambil memasang wajah innocent.
Papa Rendy yang sejak tadi berdiri di dekat pintu akhirnya bersuara juga.
“Kalian berdua,” katanya tegas sambil menatap si kembar, “Papa titip Jelita. Jangan berisik, jangan bikin rusuh. Kalau Jelita capek, kasih dia istirahat.”
Reza langsung memberi salam hormat ala militer. “Siap, Pa!”
Raza pun ikut-ikutan. “Kami akan melaksanakan tugas negara ini dengan penuh tanggung jawab, Jenderal Papa!”
Semua orang tertawa kecil mendengar lelucon kembar itu. Bahkan Jelita tak bisa menahan senyum tipisnya.
"Mereka rame dan aneh banget, tapi lucu. Nggak nyangka punya dua kakak model begini. Ah, bagaimana ya dengan kabar Kak Jordi? Jadi kangen dia," pikir Jelita.
Setelah kepergian Mama Acha dan Papa Rendy, Reza mendekati Jelita. "Dek, bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah ada yang masih sakit? Atau perlu apa aja, bilang sama Kakak."
"Yah, masih sedikit pusing, dikit, Kak, dikit banget," jawab Jelita sambil memperagakan jari jempol dan telunjuknya yang menunjukkan sedikit, dengan wajah yang lucu.
Dalam hati, Reza merasa lega. "Adikku mulai ceria kembali, apakah karena dia amnesia? Semoga saja ia selalu ceria, aku nggak mau dia berubah jadi gadis dingin dan cuek kembali seperti dulu."
Raza juga merasakan hal yang sama. "Semoga adikku selalu seperti ini. Tidak ada ruang yang jauh untuk kami seperti dulu."
Raza maju sambil mengelus kepala Jelita.
"Kak, ih jangan rusak rambutku dong. Dah kusut, belum cuci rambut juga. Tambah kusut kan."
Bukannya berhenti, Raza malah tambah mengacak rambut Jelita.
"Astaga, Kak Raza, nyebelin banget sih. Aku tabok Kakak ya," ucapnya sambil memperbaiki rambutnya yang sudah porak-poranda.
"Ah, berani ya adik ku yang cantik ini, nabok kakak yang manis ini," goda Raza.
"Sangat berani, siapapun yang berani ku lempar sampai ke luar angkasa," jawab Jelita dengan semangat.
Melihat keceriaan Jelita yang sangat tidak bisa mereka bayangkan, kakak dan teman-teman Jelita sangat senang dalam hati. Entah sejak kapan itu dimulai, Jelita yang dulu ceria, tiba-tiba berubah sedingin es. Bahkan ia tak pernah bercerita apapun, semua ia pendam sendiri.
Dan sekarang, Jelita amnesia dan berubah. Melihat senyuman Jelita yang sudah lama mereka tidak lihat, mereka sangat senang sekali. Apalagi si kembar.
Dalam hati Reza, "Semoga senyuman ini bertahan selamanya."
Dalam hati Raza, "Aku akan melakukan apapun agar adikku tetap bahagia."
Dalam hati Willy, "Jelita yang ceria kembali, ini seperti keajaiban."
Dalam hati Tiara, "Semoga ini awal dari kebahagiaan baru untuk mu, Jelita. Aku sudah lama tidak melihat senyummu."
Lamunan mereka terhenti ketika Jelita bertanya, "Aku kenapa bisa berada di rumah sakit?"
"Kamu jatuh, didorong Mey, noh," jawab Willy dengan nada sinis.
Tiara marah, ia membela Meyriska. "Mey tidak mendorong Jelita ya, apa kamu juga buta? Mey juga ikut jatuh."
"Iya, Meyriska itu malah didorong Laura, dan menyenggol Lita. Kalian ini buta semua ya, ku colok juga mata kalian," tambah Dara.
"Udah, nggak usah debat. Mana ada maling ngaku, yang ada penjara penuh," kata Harry ikut sinis.
Meyriska yang dituduh oleh kelompok pria, tangisnya tiba-tiba pecah kembali. Ia membela diri. "Aku nggak sengaja, aku nggak dorong Jelita. Kalian pikir lah, Jelita sahabat aku. Mana mungkin aku sengaja. Lagipula itu bukan didorong, tapi tak sengaja ke senggol. Aku pun ikut jatuh karena kedorong dari arah belakang oleh Laura."
"Gak usah bawa-bawa nama Laura ya," Verrel marah.
"Ya emang gitu kenyataannya, kamu ini bela terus Laura," balas Meyriska.
Verrel berdiri dengan wajah memerah. "Jangan bawa-bawa nama Laura!"
Mey balas dengan kesal. "Ya emang kenyataannya gitu! Kamu ini bela terus Laura!"
Jelita mengerutkan kening. "Benar juga... mana Laura ya? Kenapa nggak muncul? Aku inget kita tuh sahabatan berempat. Masa iya Mey sengaja? Tapi... Laura, aku belum tahu aslinya. Di novel sih dia lembut... jadi yang mana yang bener?"
Willy makin emosi. "Ngaku aja deh, Mey! Kamu pasti punya dendam sama Lita, kan?"
"Udah!" suara Jelita tiba-tiba keras. Semua terdiam.
"Kenapa sih ribut banget? Aku baru sadar loh! Mau istirahat malah tambah pening dengar kalian debat! Aku yakin Mey nggak sengaja!"
"Terus maksudmu Laura yang salah?" tanya Verrel tajam.
"Astaga, ya mana aku tau, Rel? Aku kan amnesia. Udah lah, aku juga udah sadar kok. Jangan diperpanjang lagi deh," ucap Jelita dengan suara setengah kesal, setengah lelah. Ia menegakkan tubuhnya dengan susah payah, menahan rasa pening yang belum sepenuhnya hilang.
Wajah Verrel berubah canggung, tak menyangka akan dibentak. Ia mundur satu langkah, menatap Jelita dengan pandangan bingung. Sedangkan yang lain saling melirik, merasa suasana mulai memanas.
"Cowok ini bener-bener jaga perasaan Laura, aku sih suka karakter mu. Tapi kebangetan sih kalau semua ditimpain ke satu orang. Aku aja bingung. Ingatan di pemilik asli belum balik!" Jelita menahan emosi yang campur aduk dalam pikirannya. Frustrasi mengendap di dadanya, membuat napasnya berat.
gak rela rasanya harus terpisah sama kak jordi nya 🥺