NovelToon NovelToon
Kabut Cinta, Gerbang Istana

Kabut Cinta, Gerbang Istana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni / Fantasi Wanita
Popularitas:623
Nilai: 5
Nama Author: souzouzuki

Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.

Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.

Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.

Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Phoenix Dalam Guci

Zhen baru saja selesai merapikan barang di kamarnya, dan hari itu masih cukup awal pagi untuk suara resmi dari depan paviliun utama yang bergema:

“Selir Kehormatan Ji’an tiba—membawa persembahan untuk Yang Mulia Selir Agung Xuan.”

Suasana yang semula tenang langsung berubah. Para pelayan bergerak, kepala dayang datang dari ruang dalam, dan seorang kasim utama membuka pintu besar dengan dua kali ketukan ringan.

Zhen, yang sedang membantu menyusun inventaris di sisi kiri ruang minum teh, hanya bisa diam sambil menunduk. Tapi ia tahu, ini bukan kunjungan biasa.

Yang datang adalah selir yang lebih tinggi peringkatnya dari Xuan. Seorang wanita dengan pesona tajam, kekuasaan yang nyata, dan pengaruh yang—meskipun tersenyum—selalu terasa seperti pisau terselip di balik lengan baju.

Langkah Ji’an tenang namun mantap. Gaun hijau giok pucatnya bersih tanpa lipatan, rambutnya disanggul tinggi dengan hiasan batu safir. Di belakangnya, dua pelayan wanita membawa kotak kayu panjang berukir awan terbang—gaya khas Jingdezhen.

Selir Xuan menyambut di depan paviliun, dengan kepala sedikit menunduk. Senyumnya tipis, anggun, dan berjarak.

“Selamat datang, Kakak Ji’an.”

Selir Ji’an tersenyum begitu masuk ke lorong utama. Suaranya lembut, tapi punya daya tekan yang hanya dimiliki oleh perempuan yang tahu persis di mana tempatnya berdiri.

“Kami dengar... Kediaman Adik kedatangan wajah baru.”

Matanya menoleh cepat—dan berhenti sejenak pada Zhen, yang berdiri tak jauh dari tirai ruang penyimpanan.

“Cantik sekali,” lanjutnya. “Lembut. Kalem. Pantas saja...

bahkan putra Adik Xuan yang dikenal dingin pun... sempat memperhatikan.”

Nada kalimatnya terdengar seperti pujian. Tapi di antara pelayan-pelayan istana, semua tahu itu bukan pujian.

Itu... sindiran.

Kalau Zhen terlihat mencolok.

Kalau perhatian Pangeran Keempat yang terhormat dianggap terlalu mudah jatuh—pada dayang biasa.

Zhen hanya menunduk sopan. Ia tidak mengerti sepenuhnya. Tapi ia sadar... ruangan terasa lebih sempit sejak kalimat itu diucapkan.

Dayang-dayang di sekitar Ji'an mulai berbisik.

“Itu dayangnya?”

“Yang bersaksi saat parade?”

“Lihat saja... sudah membuat dua wanita istana bicara soal dirinya.”

Xuan tetap tersenyum.

“Putraku memperhatikan banyak hal...

termasuk siapa yang menyelamatkan nama baik istana hari itu.”

Suara Xuan terdengar sangat tenang. Tapi Zhen tahu—di balik nada itu, ada kontrol yang dalam.

Ji’an hanya mengangkat alis. Lalu melambaikan tangan ke pelayan di belakangnya.

“Kami membawa hadiah kecil. Untuk... memperindah ruang tamumu.”

Pelayan membuka kotak berukir awan.

Sepasang guci Jingdezhen, putih biru, dengan motif phoenix mengepak.

Xuan menatap isi kotak itu. Dalam sekejap, ia tahu—apa maksud sebenarnya dari hadiah itu.

Phoenix. Di ruang tamu milik Selir Agung sepertinya. Permaisuri Utama bisa menganggapnya cari masalah seakan ingin menyainginya.

Ini... bukan hanya hadiah. Ini ujian. Atau jebakan.

Tapi Xuan hanya berkata lembut:

“Cantik sekali. Tapi... bukankah motif bunga sudah cukup sopan untuk ruang sepertiku?”

Ji’an menyipitkan mata, senyumnya semakin lebar.

"Jadi... Adik Xuan tak ingin menerimanya?”

Seisi ruang langsung diam.

Menolak hadiah \= menolak niat baik atasan.

Menerima hadiah \= menerima potensi konflik dengan permaisuri.

Xuan menahan napas sejenak, lalu menoleh ke Liao-shi.

“Bagaimana mungkin saya menolak niat baik Kakak Ji’an?”

“Tolong letakkan... sesuai arahan beliau.”

Sebelum Liao-shi menunjuk siapa pun, Xuan—entah kenapa—melihat ke arah Zhen. Mungkin terlalu spontan.

“Yu Zhen. Bawa satu gucinya. Letakkan di meja utama.”

Zhen sedikit kaget, tapi langsung menunduk.

Ia tidak tahu—betapa banyak mata langsung menoleh padanya.

Zhen tersentak kecil, tapi langsung bangkit, menunduk dalam.

“Baik.”

Liao-shi menoleh cepat. Beberapa pelayan saling melirik. Mengapa bukan pelayan utama yang biasa memegang barang pribadi?

Kenapa bukan Shi Yun, atau Ling Xi?

Ling Xi berdiri kaku di dekat tirai. Tatapannya seperti sembilu yang tertahan.

Dan itulah titiknya.

Tangannya dingin saat menyentuh permukaan guci.

Motif phoenix biru pucat pada permukaan porselen itu tampak anggun, tetapi terasa… terlalu hidup. Tatapan para dayang yang memusat padanya saat itu lebih tajam dari bayangan tiang-tiang kayu di lantai batu.

Zhen mengangkatnya perlahan. Beratnya pas. Tapi beban yang dia rasakan bukan dari gucinya.

Dari samping, Ling Xi maju satu langkah. “Aku bantu bukakan tirai,” ucapnya lirih.

Zhen mengangguk pelan. Tapi ia tahu, suara Ling Xi terasa... terlalu manis dibanding biasanya.

Lorong menuju ruang utama tidak panjang, tapi terasa jauh lebih sempit dari sebelumnya.

Langkahnya mantap—namun tubuhnya belum sepenuhnya pulih.

Lengan kirinya, yang sempat tertusuk saat insiden parade panen, masih dibalut perban tipis. Luka itu memang tidak dalam, tapi letaknya… sangat menentukan keseimbangan.

Saat ia melewati sisi tirai, Ling Xi berdiri terlalu dekat.

Terlalu dekat.

Dan lalu... hanya sedikit. Sentuhan ringan.

Tidak keras. Tidak kasar.

Tapi tepat pada sisi perban yang menahan nyeri.

Rasa sakit muncul seperti kilat dari bawah kulit. Zhen meringis kecil. Tubuhnya goyah.

“Ah...!”

Tangannya lepas dari guci—terlalu cepat untuk dikendalikan.

Brakkk—! Pyarr!!

Suara pecahan melengking. Gema tajam memenuhi ruangan utama. Serpih putih-biru menyebar di atas lantai marmer, seperti pecahan harga diri yang dilempar.

Semua suara hilang.

Pelayan-pelayan yang sedang menyiapkan teh membeku. Shi Yun di sudut kiri ruang tamu menahan napas.

Liao-shi berdiri kaku, matanya membulat.

Dan Ling Xi... hanya menunduk, tenang.

Zhen tetap berdiri—diam di tengah ruangan. Tangannya masih gemetar, bukan karena takut, tapi karena nyeri di lengan yang baru saja disentuh.

Tapi ia tak sempat berpikir lebih jauh.

Karena langkah tinggi dan lambat terdengar dari belakang.

“Apa ini... suara yang dibuat untuk menyambut hadiah kami?”

Selir Ji’an berdiri di ambang pintu.

Terdengar tajam. Bersih. Dan sangat publik.

Langkah Xuan berhenti setengah di lorong. Jemarinya mengejang pelan di sisi rok sutranya. Ia hanya sempat menoleh sejenak... dan melihat punggung kecil itu—Yu Zhen—berdiri di tengah pecahan phoenix Jingdezhen.

Ia tidak lari. Tidak menangis. Bahkan tidak membela diri.

Ia hanya menunduk... dalam diam yang nyaris menyakitkan.

Xuan terdiam sejenak.

Apa yang dia lakukan?

Guci itu... memang jebakan. Aku sudah menyiapkan alasan lain untuk tidak memajangnya.

Tapi dia... mengorbankan dirinya begitu saja?

Apakah ini kesetiaan?

Kebodohan?

Atau… keinginan cepat mati dengan cara yang tampak terhormat?

Matanya menatap luka di lengan Zhen. Masih dibalut perban tipis. Dan kini, sedikit merah di ujung kainnya. Luka itu belum pulih—tapi tetap ia angkat guci porselen demi menjawab perintah.

Tanpa ragu. Tanpa menyela.

Ada sesuatu yang mencengkeram dada Xuan sesaat. Rasa yang tak ia suka. Terlalu manusiawi.

Aku hanya ingin dia menjauh dari anakku.

Sebagai gantinya... aku beri dia jalur cepat untuk naik.

Tapi kenapa dia terlihat seperti... orang yang masih ingin melindungi seseorang, bukan sekadar menjalankan perintah?

Sementara itu, suara Ji’an memotong diam ruangan.

“Kami hanya menitipkan satu hadiah, tapi rupanya...

ruang tamu Selir Agung tak cukup kuat untuk menahannya.”

Tawa pelan, menyakitkan, mengikuti.

“Atau dayangnya?”

Semua pelayan menunduk lebih dalam. Ling Xi tersenyum tipis nan tersembunyi. Tapi Xuan... sudah kembali memegang kendali.

1
Arix Zhufa
semangat thor
Arix Zhufa
saya mmpir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!