[UPDATE 2 - 3 CHP PERHARI]
"Hei, Liang Fei! Apa kau bisa melihat keindahan langit hari ini?"
"Lihat! Jenius kita kini tak bisa membedakan arah utara dan selatan!"
Kira kira seperti itulah ejekan yang didapat oleh Liang Fei. Dulunya, dia dikenal sebagai seorang jenius bela diri, semua orang mengaguminya karena kemampuan nya yang hebat.
Namun, semua berubah ketika sebuah kecelakaan misterius membuat matanya buta. Ia diejek, dihina, dan dirundung karena kebutaanya.
Hingga tiba saatnya ia mendapat sebuah warisan dari Dewa Naga. Konon katanya, Dewa Naga tidak memiliki penglihatan layaknya makhluk lainnya. Dunia yang dilihat oleh Dewa Naga sangat berbeda, ia bisa melihat unsur-unsur yang membentuk alam semesta serta energi Qi yang tersebar di udara.
Dengan kemampuan barunya, si jenius buta Liang Fei akan menapak puncak kultivasi tertinggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 Hinaan dan Harapan: Shen Yan Berjuang Melawan Bayangan Masa Lalu
Keesokan harinya, matahari terbit di atas cakrawala, menyinari kota Huisan dengan cahayanya yang hangat. Liang Fei bangun lebih awal, terbiasa dengan kehidupan yang dimulai sebelum fajar.
Setelah melakukan beberapa latihan ringan dan merasakan energi Qi mengalir lancar dalam tubuhnya, ia memutuskan untuk melanjutkan eksplorasinya di kota tersebut.
Di luar, suasana pagi di Huisan begitu hidup. Para nelayan sudah berangkat ke lautan sejak dini hari, dan para pedagang di pasar sibuk menata barang-barang dagangan mereka dengan penuh semangat.
Aroma segar dari roti yang baru dipanggang dan berbagai macam rempah-rempah menguar di udara.
Sambil berjalan-jalan, pikiran Liang Fei kembali kepada pertemuan dengan Shen Yan pada malam sebelumnya. Kelembutan dan semangat yang ditampilkan oleh bocah itu cukup mengesankannya.
Dia bertanya-tanya apakah Shen Yan akan mengambil langkah yang sudah disarankan kepadanya, mengeksplorasi dunia di luar batas-batas sektenya untuk menemukan kekuatan dan jati diri sejatinya.
Sembari memikirkan itu, Liang Fei tiba di sebuah lapangan terbuka, tempat para seniman jalanan menunjukan kebolehan mereka.
Di antara mereka, seorang musisi tua sedang memainkan erhu, alat musik tradisional dengan keterampilan yang memikat.
Liang Fei menghentikan langkahnya, terpesona oleh alunan musik yang mendayu-dayu.
Musisi itu memperhatikan ketertarikan Liang Fei dan mengangkat wajahnya, memberikan senyum ramah. Liang Fei membalas senyuman itu dan dengan sopan memasukkan sejumlah koin ke dalam kotak yang disediakan.
Alunan musik berhenti sejenak, dan sang musisi berbicara, "Kau tampak seperti seseorang yang telah menempuh perjalanan jauh. Apa yang membawamu ke kota Huisan ini, Nak?"
Liang Fei tersenyum, "Aku hanya seorang pengembara yang mencari pengalaman baru dan mungkin menemukan sedikit ketenangan di tengah perjalanan."
Sang musisi mengangguk bijak, "Perjalanan memberikan kita pelajaran yang luar biasa, dan musik bisa menjadi teman dari segala kisah yang kita alami."
Mereka berbincang sejenak, berbagi cerita dan kebijaksanaan yang diperoleh dari hidup.
Liang Fei merasa terinspirasi oleh kata-kata musisi tua itu, memahami bahwa setiap pertemuan dalam perjalanan hidupnya memberikan warna yang berbeda bagi perjalanan spiritual dan fisiknya.
...
Sementara itu di hari yang sama, di sebuah pulau kecil yang menjadi tempat sekte Laut Surgawi berdiri, Shen Yan terbangun dengan wajah muram pada pagi berikutnya.
Setiap hari, dia merasa seperti tidak bisa keluar dari lingkaran kekalahan dan penghinaan yang menimpanya.
Sejak kecil, ia sudah terbiasa mendengar bisik-bisik di belakang punggungnya, komentar-komentar sinis dari murid-murid sekte lainnya yang menyebut dirinya sebagai anak yang tidak layak.
Bahkan ayahnya, Patriak Shen Lao, meskipun tetap mendukung secara resmi, namun tak pernah menunjukkan kasih sayang sejatinya seorang ayah.
'Apakah ayah membenciku karena ibu meninggal setelah melahirkanku? Atau, apakah ayah membenciku karena aku yang tidak berbakat?' pikiran itu selalu menghantui Shen Yan setiap pagi.
Shen Yan sering merasa bahwa ia hanya menjadi beban dalam sekte yang seharusnya membimbingnya.
Pada saat itulah dia kembali teringat akan pertemuannya dengan Liang Fei malam sebelumnya. Kata-kata pria itu menumbuhkan sedikit harapan dalam dirinya.
Mungkin memang benar, tidak ada salahnya untuk mencoba melihat dunia di luar sekte. Mungkin ia harus melangkah lebih jauh, mengeksplorasi tempat-tempat yang jauh dari bayang-bayang ayahnya dan mendapatkan pemahaman lebih tentang siapa dirinya.
Namun, sebelum ia sempat membuat keputusan lebih lanjut, langkahnya tertahan ketika ia melihat seorang murid sekte lainnya mendekat.
Murid itu adalah anak dari salah satu penatua sekte yang sering memperlakukannya dengan kasar.
"Hei, Tuan Muda Shen, bagaimana kabarmu?" suara sarkastik itu memecah keheningan.
Shen Yan menatap murid itu, mencoba tetap tenang meskipun perasaan marah dan terhina meluap di dalam dirinya ketika mengingat kejadian kemarin dirinya yang dihajar oleh anak-anak di depannya.
"Guan Mu, aku baik-baik saja" jawab Shen Yan pelan.
Murid itu tertawa kecil, kemudian melirik sekilas ke arah Shen Yan dengan tatapan merendahkan. "Baguslah. Jangan lupa, kau hanya bisa berada di sini karena ayahmu adalah seorang Patriak. Kalau bukan karena itu, kau tidak lebih dari rakyat biasa, bahkan lebih buruk dari itu."
Guan Mu dan anak anak lainnya berbalik pergi sambil tertawa kecil, meninggalkan Shen Yan yang terdiam.
Sakit di hati Shen Yan semakin dalam. Setiap hari ia merasa terjebak dalam sebuah jebakan yang tak terlihat, terikat pada statusnya sebagai anak seorang Patriak yang seharusnya menjulang tinggi, namun kenyataannya ia selalu merasa rendah diri.
Shen Yan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Dia mengingat lagi kata-kata Liang Fei, yang menyarankan agar ia mencari jalan sendiri, jauh dari sekte yang selama ini mengekang dirinya.
"Aku harus lebih kuat," bisiknya pada dirinya sendiri.
...
Hari menjelang siang, Liang Fei yang sedang menjelajahi kota Huisan tiba-tiba merasakan kehadiran yang familiar.
Tanpa sadar, ia berjalan menuju pelabuhan, tempat pertama kali ia bertemu dengan Shen Yan. Tanpa rencana atau niat untuk bertemu, Liang Fei mendapati Shen Yan sedang duduk di ujung dermaga, menatap jauh ke arah laut yang luas.
Wajah bocah itu tampak serius, tetapi ada sedikit kelegaan yang tersisa di matanya.
Liang Fei tersenyum pelan, mendekat dengan langkah yang tenang. "Shen Yan," sapanya.
Shen Yan menoleh, terkejut melihat Liang Fei kembali. "Kak Liang, kau kembali lagi."
Liang Fei duduk di samping Shen Yan, melihat ombak laut yang bergulung perlahan. "Kau tampaknya sedang berpikir keras, ada sesuatu yang mengganggumu?"
Shen Yan ragu sejenak, kemudian menghela napas panjang. "Aku... aku merasa terjebak, Kak. Semua orang berharap aku menjadi seperti ayahku, tetapi aku merasa seperti aku tidak bisa memenuhi harapan itu. Rasanya aku hanya akan terus menjadi bayangan ayahku."
Liang Fei mendengarkan dengan penuh perhatian. "Shen Yan, setiap orang punya jalannya masing-masing. Terkadang, kita harus menemukan kekuatan dalam diri kita sendiri, bukan dalam bayang-bayang orang lain. Tidak ada salahnya untuk mencari tahu siapa diri kita di luar apa yang orang lain harapkan."
Shen Yan memandang Liang Fei, matanya penuh kebingungan dan keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa keluar dari bayang-bayang itu? Bagaimana aku bisa menemukan jalan untuk menjadi diriku sendiri?"
Liang Fei menatap laut sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Langkah pertama adalah dengan menerima bahwa kita mungkin tidak sempurna, dan itu tidak masalah. Yang penting adalah terus maju. Lihatlah laut ini, luas dan tak terbatas. Itu adalah dunia yang menunggu untuk dijelajahi."
Shen Yan menundukkan kepala, merasa sedikit lebih tenang dengan kata-kata Liang Fei. "Aku ingin lebih kuat, Kak. Aku ingin belajar lebih banyak. Mungkin aku memang harus keluar dari sekte itu."
Liang Fei mengangguk, ada senyum tipis di wajahnya. Dia semakin merasa memiliki nasib yang mirip dengan anak yang baru dia temui semalam.
"Kau sudah mulai berpikir dengan benar. Jangan biarkan sekte atau siapa pun yang mendikte siapa dirimu. Pergilah ke mana hatimu ingin membawa. Kekuatan sejati datang dari perjalanan yang kau pilih sendiri." jawab Liang Fei.
Ketika mereka berdua tengah asyik mengobrol dan saling mendalami nasib satu sama lain, suara Guan Mu kembali terdengar di tempat itu.
"Apa kau sekarang berteman dengan gelandangan, Tuan Muda Shen? Ayahmu pasti sangat sedih mendengar hal ini."