Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aldo dan Pengikutnya
Akhir pekan datang dengan secercah sinar matahari hangat menerpa pelataran rumah sederhana di sudut kota. Anggoro duduk di teras depan dengan tas ransel besar berisi perlengkapan untuk berkemah. Kakinya tak berhenti bergerak menunjukkan kegundahan yang juga tergambar dari raut wajah.
Tidak berselang lama sebuah minibus berwarna hitam menepi di depan rumah. Anggoro menarik napas dalam-dalam sembari mengepalkan tangan. Kaca jendela mobil turun, menunjukkan wajah Pak Nafi' yang tersenyum seperti biasa. Pintu samping mobil pun terbuka, Anggoro melangkah masuk.
"Selamat datang di acara perkemahan, Pak Guru MIPA," ucap gadis yang duduk di kursi deret kedua mengejek Anggoro. Senyuman yang tampak menyebalkan tersungging di bibirnya. Gadis itu bernama Nana, siswa dengan peringkat terbawah dalam satu kelas. Meski nilai akademisnya bobrok, tetapi dia memiliki keahlian di bidang beladiri. Bahkan pernah juara di tingkat provinsi. Bisa dikatakan Nana adalah pengikut setia Aldo yang paling kuat, seorang Bodyguard perempuan yang menakutkan.
Anggoro mengangguk masam. Dia mengedarkan pandangan. Minibus berkapasitas lima belas kursi yang terbagi atas lima deret. Beberapa kursi tampak sudah ditempati oleh enam orang termasuk Pak Nafi' sebagai pengemudi minibus.
Nana duduk di deret kedua bersama Yuzi. Pemandangan yang cukup kontras mengingat Nana dengan tingkah tomboy nya, sedangkan Yuzi adalah gadis pesolek dengan bedak tebal yang tidak pernah luntur. Di deret ketiga, ada Gery dan Putra yang menatap Anggoro dengan sorot mata tajam penuh kebencian.
Di mata Anggoro, sosok Gery dan Putra tidak lebih seperti sampah yang menjalani kehidupan masa sekolah dengan mengabdikan diri kepada Aldo. Gery berperawakan tinggi besar, seorang yang menyandang gelar raksasa jago basket di tingkat SMA. Awalnya dulu Anggoro menduga, Gery tidak akan tunduk pada Aldo. Namun ternyata nyali Gery tidak sebesar badannya.
Sedangkan Putra merupakan sosok yang tidak berpendirian. Biasa disebut kutu loncat. Hinggap sana-sini, bahkan tidak ragu untuk menjilat demi mendapatkan perhatian Aldo. Mungkin sosok seperti Putra kelak akan menjadi seorang pekerja yang lebih banyak membual memuji bosnya, tanpa bisa bekerja dengan sungguh-sungguh.
Anggoro menunduk kemudian melangkah ke bagian sudut, kursi paling belakang. Dia duduk di dekat jendela. Minibus perlahan mulai melaju kembali.
Perhatian Anggoro tertuju pada sosok yang duduk di sebelah Pak Nafi'. Sosok laki-laki berbadan tegap dengan topi lebar di atas kepalanya. Sosok yang tidak Anggoro kenali, tetapi terasa tidak asing. Seolah Anggoro pernah bertemu dengan laki-laki itu di suatu tempat.
Mobil melambat saat sampai di sebuah rumah sederhana tak jauh dari alun-alun kota. Terlihat remaja laki-laki berbadan kurus tengah merokok di bawah pohon mangga. Saat melihat mobil minibus menepi, remaja itu buru-buru membuang rokok kemudian berlari kecil menuju ke mobil.
Bastian merupakan siswa yang paling sering berbuat onar di kelas. Sifatnya yang keras kepala dan tak suka diatur membuat Kepala Sekolah pun kewalahan menanganinya. Bastian nyaris dikeluarkan dari sekolah, tetapi Aldo menyelamatkannya. Aldo memohon pada Ayahnya agar keputusan mengeluarkan Bastian ditangguhkan. Sejak saat itulah, meski tidak sepenuhnya mengikuti Aldo, Bastian termasuk salah satu prajurit Aldo yang setia.
"Bahkan di rumah pun kamu santai merokok Bas. Apakah orangtuamu tidak memarahimu?" tanya Pak Nafi' sedikit membentak. Akan tetapi bibirnya tetap mengulas senyum.
"Orangtuaku tidak cerewet seperti guru BK," sahut Bastian cuek. Dia mengambil duduk di deret ke empat. Pak Nafi' tersenyum masam, sembari menginjak pedal gas.
Tidak berselang lama, minibus kembali menepi. Kali ini pemberhentiannya di sebuah rumah megah dengan sebuah gazebo di bagian depannya. Tampak dua orang duduk di gazebo dengan tiangnya yang terbuat dari kayu jati dipernis cokelat mengkilap.
Aldo dan Ayahnya, Pak Wito Sang Kepala Sekolah terlihat bercengkerama penuh kehangatan. Jika dilihat pada momen seperti ini, Ayah dan anak itu merupakan perwujudan dari keluarga harmonis dan menyenangkan. Namun bagi Anggoro senyum keduanya hanyalah topeng untuk menutupi kebusukan hati.
Aldo dengan para pengikutnya di sekolah adalah penindas siswa yang lemah. Sedangkan Pak Wito akan selalu menjadi tameng untuk anak laki-lakinya. Menutupi kejahatan dengan dalih keisengan remaja yang biasa terjadi. Tidak pernah melihat dari sisi korban perundungan. Trauma dan ketakutannya nyata, menghantui setiap hari.
Anggoro menggenggam erat ujung bajunya saat menyaksikan Aldo mencium tangan Ayahnya di samping minibus. Adegan yang benar-benar memuakkan, penuh kepalsuan. Sorot mata Pak Wito yang penuh rasa bangga pada Aldo juga benar-benar menjengkelkan.
"Pak Nafi', titip anak-anak ya. Perkemahan seperti ini penting untuk mengenal alam, belajar tentang alam, sarana rekreasi dan ketahanan diri. Bukankah begitu?" ucap Pak Wito mengantar Aldo masuk ke dalam mobil.
"Tentu saja Pak Kepala Sekolah. Memang itu tujuan kegiatan kali ini. Mengisi hari libur dengan kegiatan yang bermanfaat daripada bermain gawai terus-menerus di rumah," sambung Pak Nafi' tersenyum.
Anggoro merasakan perutnya begah mendengar ucapan orang dewasa yang penuh basa-basi. Ingin rasanya sekali saja ia berteriak, ataupun memaki. Namun Anggoro tidak memiliki nyali untuk melakukannya.
Mobil minibus perlahan bergerak kembali. Yang tidak Anggoro duga adalah Aldo duduk di sebelahnya. Mengarahkan tatapan yang menghina, disertai seringai yang menyebalkan.
"Hey boss, saat di hutan nanti tunjukkan padaku tumbuh-tumbuhan yang berbahaya atau beracun. Pasti kamu tahu karena otakmu encer di pelajaran biologi," bisik Aldo tiba-tiba. Mata Anggoro membulat mendengarnya.
"Tenang saja kali ini aku tidak akan mengerjaimu. Kita berteman, dan aku serius," lanjut Aldo tersenyum. Anggoro diam bergeming. Udara dingin seolah menjalar dari hembusan napas Aldo yang duduk di dekatnya.
Anggoro tahu perbuatan sejahat apapun, jika dilakukan oleh remaja di bawah umur selalu akan dianggap sebagai kenakalan bocah. Namun menanyakan soal tumbuhan beracun untuk mengerjai orang lain jelas sesuatu yang sangat berbahaya. Sempat terbersit di benak Anggoro untuk melapor pada Pak Nafi', tetapi tentu saja hal itu membuang waktu dan sia-sia.
Mobil kembali berhenti di depan sebuah rumah. Terlihat seseorang berdiri menggunakan hoodie yang menutupi kepalanya. Aldo tiba-tiba saja meninggalkan Anggoro dan melompat turun dari mobil.
Anggoro baru menyadari sosok di depan rumah itu adalah Rina. Gadis manis yang merupakan kekasih Aldo. Anggoro tidak tahu sejauh apa hubungan mereka, tapi dari desas-desus yang beredar, Aldo dan Rina kerap menghabiskan waktu di penginapan saat pulang sekolah.
Dari jendela mobil Anggoro dapat melihat Rina berdebat dengan Aldo. Aldo sempat mencengkeram lengan Rina, tetapi gadis itu menghempaskan nya kemudian berjalan dengan menghentakkan kaki masuk ke dalam rumah. Aldo kembali ke mobil dengan wajah kusut. Anggoro buru-buru mengalihkan pandangan.
"Kenapa Do?" tanya Bastian. Di antara yang lain, Bastian memang paling berani bertanya pada Aldo.
"Rina tidak mau ikut. Katanya sedang tidak fit. Sial!" gerutu Aldo menendang kursi mobil. Bastian terkekeh. Entah apa yang ditertawakannya.
"Lalu, berarti kita berangkat sekarang Nak Aldo?" tanya Pak Nafi' memastikan.
"Rana tetep ikut. Kita tunggu dia sebentar lagi," jawab Aldo masih dengan raut wajah kesal.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..