Celia adalah seorang ibu tunggal yang menjalani kehidupan sederhana di kota Bandung. Setiap hari, dia bekerja keras di toko perkakas milik ayahnya dan bekerja di bengkel milik seorang kenalan. Celia dikenal sebagai wanita tangguh, tapi ada sisi dirinya yang jarang diketahui orang, sebuah rahasia yang telah dia sembunyikan selama bertahun-tahun.
Suatu hari, teman dekatnya membawa kabar menarik bahwa seorang bintang basket terkenal akan datang ke kota mereka untuk diberi kehormatan oleh walikota dan menjalani terapi pemulihan setelah mengalami cedera kaki. Kehebohan mulai menyelimuti, tapi bagi Celia, kabar itu adalah awal dari kekhawatirannya. Sosok bintang basket tersebut, Ethan Aditya Pratama, bukan hanya seorang selebriti bagi Celia—dia adalah bagian dari masa lalu yang telah berusaha dia hindari.
Kedatangan Ethan mengancam untuk membuka rahasia yang selama ini Celia sembunyikan, rahasia yang dapat mengubah hidupnya dan hidup putra kecilnya yang telah dia besarkan seorang diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GADIS DARI MASA LALU
Ethan memandangi gedung-gedung yang berlalu di jendela mobilnya.
"Aroma ini mengingatkan kita pada masa lalu," katanya sambil menutup jendela dengan sentuhan tombol. Hal yang tidak ia rindukan dari rumahnya adalah aroma dan perasaan sempit di kota kecil ini.
Mobilnya lebih kecil daripada yang biasa ia naiki di Jakarta, dia memakluminya karena ini kota kecil. Dia menatap kakinya yang dibalut gips, tergeletak di sana seolah mengejeknya. Di Jakarta, orang-orang selalu sibuk, pesta-pesta selalu berlangsung, seperti hidup di jalur cepat. Ethan kembali melihat keluar jendela, hanya ada beberapa anak bermain kejar-kejaran di halaman, itu saja.
"Ayolah, pasti ada sesuatu di kota ini yang bisa membuatmu tertarik," kata Dewi sambil menyilangkan kakinya, mengulas jadwal Ethan sekali lagi.
Ethan berpikir sejenak, tapi tidak menemukan jawaban. "Tidak ada. Percaya atau tidak, aku benar-benar tidak peduli."
"Aku rasa justru kamu terlalu peduli," kata Dewi sambil melihat ipadnya sekali lagi.
"Apa jadwal pertamaku?" tanya Ethan sambil melihat-lihat keluar, mencari tanda-tanda kehidupan.
"Pertama, makan siang di rumah orang tuamu, lalu ke SMA Harapan untuk mengunjungi tim basket," kata Dewi sambil tetap melihat ipadnya.
"Aku akan dapat banyak waktu istirahat," kata Ethan, melirik Dewi.
"Yah, sisi baiknya, kamu selesai jam tujuh. Besok, walikota ingin menyambutmu dengan memberikan penghargaan, acaranya jam sebelas," kata Dewi sambil mengklik ipadnya, lalu menatap Ethan dengan senyum.
"Lalu, aku sudah jadwalkan waktu untukmu menjadi sukarelawan di rumah sakit pada jam satu siang. Percayalah, itu akan membuatmu terlihat baik, terutama dengan buku Dina yang akan terbit."
Ethan menghela napas panjang. "Kamu tahu setengah dari omong kosong itu bohong, kan?"
"Bro, kita berdua tahu itu, tapi orang-orang di luar sana akan langsung mempercayainya tanpa berpikir dua kali, terutama karena kamu tidak memberikan sanggahan atau menggugat apa pun," kata Dewi sambil membungkuk ke depan. "Singkatnya, kamu terlihat seperti pria murahan yang tidak bisa melakukan apa-apa selain memantulkan bola basket dan tidur dengan wanita."
Ethan mengepalkan bibirnya sejenak sebelum menghela napas lagi.
"Dulu Dina menikmati bagian tidurnya," kata Ethan, bersandar di kursinya. Dulu Ethan menikmati hidupnya, tapi sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa. Jika pergelangan kakinya tidak sembuh, dia tidak bisa bermain basket lagi. Haruskah dia kuliah? Mencoba gelar di bisnis atau hukum? Ethan menggelengkan kepalanya. Dia bukan orang yang suka belajar, tidak suka ruang kelas, dan gagasan duduk di ruangan penuh remaja sambil tetap menjadi yang paling bodoh di sana tidak menarik baginya.
"Itu sebelum dia mendapat kontrak film dan buku," kata Dewi sambil bersandar kembali. "Maksudku, kamu bahkan tidak berjuang untuk melawan perceraian, dan sekarang kamu tidak melakukan apa pun untuk menghentikan buku ini terbit. Ethan, aku mengenalmu. Kamu tidak suka selingkuh, kamu bukan orang yang pemarah, dan meskipun rasa percaya dirimu kadang terdengar menyebalkan, tapi kamu adalah orang yang diajak bekerja sama."
"Terima kasih, senang rasanya mendengarmu memuji diriku," jawab Ethan dengan nada sarkastik. Tapi dia memang pernah berselingkuh, meskipun tidak sebanyak yang Dina klaim. Dia melakukannya dua kali. Yang terakhir tidak berarti apa-apa, tapi yang sebelumnya... Ethan tersenyum kecil. Ada seorang gadis yang sudah tidak dia temui selama sembilan tahun, tapi dia masih mengingatnya seperti kemarin.
"Aku managermu. Kalau aku tidak jujur padamu, siapa lagi yang akan melakukannya?" kata Dewi dengan senyum tipis.
Ethan menggelengkan kepala. "Hidupku hancur berantakan. Kalau aku tidak bisa bermain basket lagi, apa yang harus kulakukan?"
Ekspresi Dewi melunak. Dia membungkuk sedikit, meraih lutut Ethan, dan meletakkan tangannya di sana. "Kita akan melewati ini bersama."
"Aku tidak melihat caranya. Rasanya seperti aku kembali ke titik awal hidupku," kata Ethan sambil menyilangkan tangannya.
"Tapi sekarang kamu lebih kaya dan punya sembilan tahun pengalaman," jawab Dewi, bersandar kembali di kursinya. "Kita fokus saja untuk melewati hari ini dan besok. Setelah itu, kamu bisa istirahat dan mengunci diri di kamar. Kevin baru sampai besok sore, dan setelah itu aku akan liburan. Lagipula, tidak banyak hal yang bisa membuat masalah di kota ini," tambahnya sambil terdiam sejenak. "Kevin bilang sesi terapimu akan intens."
"Dia spesialisnya. Aku percaya dia bisa membuatku kembali ke permainan," kata Ethan sambil menyandarkan kepalanya ke kursi.
"Dia pasti bisa. Kevin yang terbaik, kamu tahu itu," ujar Dewi dengan senyum kecil. "Kamu yang membiayai dia, kan."
"Lebih tepatnya aku yang membayar hutang kuliahnya," Ethan terkekeh. "Aku bersyukur dia menjadi terapis pribadiku."
"Dan aku managermu, aku suka saat kamu membayar gajiku," kata Dewi dengan senyum kecil.
"Aku hampir menyesal memperkenalkan kalian berdua," kata Ethan, kembali melihat keluar jendela. "Apakah Kevin mengatakan sesuatu tentang dimana kalian akan menginap?"
"Tidak, aku pikir kami akan tinggal di rumah orang tuanya dulu, setelah itu mungkin di hotel. Aku tidak tahu pasti."
"Yah, tidak banyak hotel di sini. Kota ini kecil. Semacam kota yang hanya punya satu kedai kopi," kata Ethan sambil melihat keluar jendela lagi, mulai melihat orang-orang menjalani kehidupan mereka.
“Terlihat manis,” katanya sambil memandang keluar jendela. “Kamu tahu, aku tumbuh besar di Jakarta, dan selalu berpikir tempat seperti ini hanya ada di film.”
“Tidak, mereka benar-benar ada,” jawab Ethan sambil bersandar di kursi dan menatap ke atap mobil. Dia menutup matanya, membiarkan ingatan muncul di benaknya. Rasanya seperti baru kemarin, dia duduk di ruang tamu orang tuanya, buku-buku berserakan di meja kopi, dan aroma parfum milik gadis itu menggoda hidungnya.
“Mengapa mereka menyebutnya zaman keemasan?” tanya Ethan, menatapnya dari balik buku yang ada di pangkuannya. Dia memperhatikan bagaimana gadis itu berpikir sejenak, lalu dengan ekspresi bingung, dia melihatnya melepas kalungnya.
"Itu disebut Zaman Keemasan karena semuanya seperti dilapisi emas, seperti kalung ini," katanya sambil mengangkat kalungnya.
"Di bawah lapisan emas itu mungkin ada baja, perak, atau tembaga, tetapi dilapisi emas supaya terlihat lebih baik. Begitulah arti 'gilded'—sesuatu yang mungkin mengerikan atau jelek tapi ditutupi dengan lapisan emas yang berkilau untuk membuatnya terlihat lebih baik." Dia meletakkan kalung itu di tangan Ethan agar dia bisa merasakannya.
"Jadi, biar aku pahami. Orang-orang di dalamnya sedang mengalami masa-masa sulit, bahkan mungkin ada yang terbunuh, tapi daripada menunjukkan bagaimana perasaan mereka, mereka berpura-pura semuanya baik-baik saja?" tanya Ethan.
“Lebih dari sekadar baik-baik saja. Mereka membuatnya seolah-olah semuanya sempurna, padahal sebenarnya tidak,” jawabnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil kembali kalungnya.
“Aku yang akan melakukannya,” kata Ethan sambil menarik tangannya menjauh dari genggamannya. Dia sudah lama menunggu momen untuk menyentuhnya lebih dari sekadar bahu yang bersentuhan saat belajar.
Dia berbalik dan memindahkan kuncir kudanya ke samping. Ethan mendekat, memegang kalung itu dengan kedua tangannya dan menyatukan ujungnya di belakang lehernya. "Ini kalung yang cantik," katanya pelan.
“Terima kasih, ibuku yang memberikannya sebelum dia meninggal,” jawabnya dengan suara rendah.
“Aku turut berduka atas ibumu,” kata Ethan lembut. Setelah kalung itu terkunci, dia membiarkan punggung jarinya menyentuh lehernya dengan perlahan. Kulitnya terasa lembut dan hangat.
"Terima kasih," ucapnya sambil membiarkan rambutnya terurai kembali dan berbalik menghadap Ethan. Namun, Ethan tidak menjauh. Bahkan, dia tidak ingin pergi. Mata hitam gadis itu tampak sedikit terkejut karena kedekatannya. Bibirnya berwarna merah muda lembut, mengilap dengan sesuatu yang tampak seperti lip gloss. Ethan penasaran, lip gloss apa yang dia pakai? Strawberry? Cherry? Semangka? Atau mungkin dia tidak memakai lip gloss sama sekali?
"Ethan?" suaranya pelan saat dia menatap bibirnya.
"Celia?" bisik Ethan, keduanya tetap membeku di sofa, hanya beberapa inci terpisah.
"Aku pikir aku harus pergi," katanya, sedikit menjauh.
Ethan mendekat, dia memberikan ciuman sederhana dibibir bawah Celia. Gadis itu tersentak ketika bibir Ethan menyentuh bibirnya, tetapi setelah beberapa detik, tubuhnya tampak rileks. Ciuman itu bertahan selama lima detik sebelum Ethan menarik diri. Celia mengangkat jemarinya ke bibirnya, ke tempat di mana dia merasakan ciuman itu. Ethan tersenyum kecil sambil menjilat bibirnya, mencicipi rasa anggur dari lip gloss-nya.
"Itu tadi," kata Celia dengan suara pelan, tangannya perlahan turun. Dia terdiam sejenak. "Luar biasa."
"Iya," jawab Ethan, mencoba menyembunyikan rasa bahagianya yang meluap-luap di dalam.
"Tapi aku masih harus segera pergi," katanya, mulai mengumpulkan barang-barangnya.