NovelToon NovelToon
WIDARPA

WIDARPA

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Anak Yatim Piatu / Pengasuh
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.

Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.

Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

WIDARPA 25

Wangi itu kembali menguar di udara, familiar, tapi ia tidak bisa mengingat dari mana asalnya. Wangi itu membekas di hidungnya, seolah-olah ia pernah mencium bau yang sama sebelumnya, mungkin di suatu tempat. Pikiran Renjana melesat, bingung dan cemas. Mungkin dia sedang berhalusinasi, atau mungkin dia mulai mengaitkan hal-hal yang tak seharusnya.

Tiba-tiba, suara ponsel yang nyaring dari luar menginterupsi pikirannya. Itu adalah suara yang datang dari lantai atas, terdengar begitu keras dan jelas. Orang itu yang sedang mendekat, seketika berhenti, dan langkah kaki yang sebelumnya berjalan pelan kembali menjauh, menuju tangga. Renjana bisa mendengar suara pintu yang terbuka dan ditutup dengan perlahan, menandakan bahwa orang itu telah kembali naik ke atas, meninggalkan lorong gelap itu.

Renjana berdiri di sana, tubuhnya menegang seperti tali yang terikat rapat. Napasnya perlahan mulai kembali teratur, meskipun detakan jantungnya masih kencang, terasa di telinga. Keringat dingin mengalir di keningnya, menetes perlahan, seolah-olah mewakili ketegangan yang masih menghantuinya. Dia bisa merasakan udara segar dari luar lemari, namun tubuhnya masih terperangkap dalam rasa takut yang sangat nyata.

Dengan hati-hati, Renjana membuka pintu lemari itu, sedikit terkejut melihat betapa cepatnya waktu berlalu. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Setiap napasnya terasa seperti menyapu gelisah yang telah menguasai dirinya. Mata Renjana tertutup sejenak, berusaha menenangkan pikirannya, tapi bayang-bayang ketakutan masih mengikuti setiap langkahnya.

Mata Renjana tak sengaja menangkap sesuatu yang berada di sudut bawah lemari besi itu. Renjana memandang bungkusan berpita merah itu dengan mata yang terbuka lebar, tubuhnya kaku, seakan setiap detik berlalu begitu berat. Pikirannya berputar cepat, mencari jawaban atas apa yang baru saja ia temui. Cairan merah yang merembes dari bawah bungkusan itu menambah kengerian yang ada di dalam hatinya. Rasa takut yang sebelumnya terpendam kini seperti meledak, membuatnya merasa cemas dan tercekik. Dengan hati-hati, ia menurunkan tangan untuk menyentuh bungkusan itu, namun ketakutannya membuatnya ragu, hampir tak mampu bergerak.

Namun, sebelum ia bisa menyentuhnya, suara tangisan anak kecil terdengar, jelas dan mengiris hati, bergema di ruangan bawah ini. Tangisan itu datang dari ruangan di ujung yang sebelumnya tak bisa ia buka. Tubuh Renjana tiba-tiba bergetar, seakan-akan nalurinya memaksa untuk segera berlari ke arah suara itu. Semua rasa takut, semua kebingungannya tiba-tiba menjadi satu dorongan kuat yang menggerakkannya menuju pintu yang terkunci.

Dengan cepat ia berlari, meninggalkan bungkusan itu dan menuju pintu yang tertutup rapat. Dia menarik kunci dari sakunya, gemetar saat mencoba memasukkannya ke dalam lubang kunci. Tangan Renjana bergetar begitu hebat, dan meskipun ia sudah berusaha dengan segenap tenaga, pintu itu tetap tak terbuka. Suara tangisan anak itu semakin lemah, dan semakin jauh, seperti hilang ditelan kegelapan.

Renjana terdiam, napasnya tersengal. Suara tangisan yang ia dengar kini hanya meninggalkan kesunyian yang mendalam. Ia bisa merasakan ketegangan yang menguasai tubuhnya, namun satu hal yang pasti: rasa bersalah dan ketakutan yang tak bisa ia hindari.

Ia menatap pintu yang terkunci itu dengan harapan dan rasa cemas bercampur aduk. Dengan bibir bergetar, ia berbisik dengan suara yang sangat rendah, entah kepada siapa: "Aku akan kembali... dengan pertolongan. Aku janji."

Dengan hati yang penuh dengan keberanian, Renjana berbalik dan berlari kembali menaiki tangga, tidak peduli dengan segala bahaya yang mengintai.

Renjana berlari dengan napas terengah-engah, jantungnya berdebar kencang. Ketika dia hendak naik tangga ke lantai atas, matanya menangkap sosok Kiwi yang sedang turun dengan cepat. Kiwi tampak terkejut melihat ekspresi khawatir yang tergurat di wajah Renjana.

"Renjana, ada apa?" tanya Kiwi dengan cemas, langkahnya terhenti sejenak.

Renjana mengangkat kunci yang dia temukan di tangan kirinya. "Aku berhasil masuk ke ruangan itu," ujarnya dengan nada yang penuh ketegangan. "Sepertinya ada anak yang terperangkap di sana."

Kiwi tampak panik. "Kita harus memanggil Pak Juan, satpam, dia pasti bisa membantu kita," usulnya, matanya tidak lepas dari Renjana yang tampak begitu khawatir.

Renjana mengguncang kepalanya dengan cepat. "Tidak. Kita tidak bisa mempercayai sembarang orang. Kalau ada orang lain yang tahu, bisa jadi semuanya akan berantakan. Kita harus melakukannya sendiri," jawabnya dengan tegas, meskipun masih ada rasa takut yang menggelayuti.

Kiwi terdiam sejenak, matanya melihat ke arah kunci yang tergenggam di tangan Renjana, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, kalau begitu. Tapi kita harus hati-hati," katanya, mencoba tetap tenang meskipun kegelisahan masih jelas di wajahnya.

Kiwi mengangguk setuju dengan rencana Renjana. "Baik, aku akan mencari sesuatu yang bisa kita pakai untuk membuka pintu itu," katanya, suara penuh tekad meskipun masih terbungkus kecemasan.

Dengan cepat, Kiwi berlari menuju ruang penyimpanan yang terletak tak jauh dari meja resepsionis. Renjana tetap berdiri di tempat, meremas kunci ruang isolasi itu dengan tangan yang mulai berkeringat, rasa gugupnya semakin memuncak. Sesekali dia menatap pintu besar yang terletak di ujung lorong, tempat anak-anak itu dikurung, atau lebih tepatnya—terperangkap.

Setelah beberapa detik, Kiwi keluar dari ruang penyimpanan membawa sebuah batang besi yang cukup berat. "Ini bisa digunakan untuk memukul gagang pintu," katanya sambil menunjuk ke batang besi tersebut. "Harusnya bisa merusaknya."

Renjana mengangguk cepat, berusaha menyembunyikan rasa takut yang mulai menguasai dirinya. Tanpa membuang waktu, mereka segera berlari menuju lorong yang mengarah ke ruangan berpintu hitam itu. Langkah kaki mereka terasa berat, namun mereka berdua tahu bahwa mereka tidak punya waktu untuk ragu.

Renjana bergerak cepat, menuruni tangga dengan langkah tergesa-gesa, jantungnya berdegup keras dalam dada. Kiwi di belakangnya, mengikuti dengan langkah cepat, namun ada ketegangan di udara yang terasa berat.

"Menurutmu, anak itu ada di ruangan kanan atau kiri?" tanya Kiwi, mencoba memecah ketegangan yang melingkupi mereka.

Renjana hanya menoleh sekilas sebelum menjawab, "Di ujung sebelah kiri, aku yakin."

Mereka semakin dekat dengan ruangan yang dimaksud, namun saat hampir mencapai pintu di ujung lorong, Renjana tiba-tiba berhenti, terhenti oleh sebuah pemikiran yang melintas dengan tajam di benaknya.

Sesuatu yang ganjil—sebuah pertanyaan yang muncul begitu saja, membuatnya menahan napas.

"Kiwi," suara Renjana terdengar sedikit gemetar. "Bagaimana kamu tahu kalau ada dua ruangan di sini? Kamu sendiri yang bilang, tidak ada yang pernah ke sini selain Helena, Samuel, dan dokter Gio."

Kiwi berhenti sesaat, wajahnya tidak menunjukkan rasa khawatir sama sekali. Perlahan, senyum menyeramkan muncul di wajahnya, begitu dingin dan tanpa ekspresi.

"Aku tidak bilang kalau aku belum pernah kemari," jawab Kiwi dengan nada datar, namun ada sesuatu dalam suaranya yang membuat bulu kuduk Renjana merinding.

Renjana terdiam, lidahnya terasa kaku, dan rasa mual yang tiba-tiba muncul membuat kepalanya berputar. Sebuah ketakutan yang tak bisa dijelaskan, sebuah perasaan yang begitu menguasai tubuhnya—dan seketika itu juga, pukulan di kepalanya terasa begitu keras, seolah ada sesuatu yang menghantamnya dengan sangat kuat.

Semuanya menjadi gelap. Semua suara, semua perasaan, hilang sekejap mata.

Renjana jatuh, tak sadarkan diri, tubuhnya terkulai lemas di lantai dingin di lorong yang sempit itu. Saat itu, satu-satunya yang terdengar adalah detak jantung Kiwi yang masih bisa terdengar jelas, dan gemerisik angin yang berhembus pelan melalui lorong yang gelap.

 

1
Nicky Firma
awal yang bagus, ditunggu part selanjutnya
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
Senja
bagus. lanjut thor
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!