Hal yang mengejutkan dialami oleh Nurhalina, gadis penjaga toko swalayan. Ia menjadi korban penculikan dan dijadikan tumbal untuk sebuah perjanjian dengan sebelas iblis. Namun ada satu iblis yang melanggar kesepakatan dan justru mencintai Nurhalina.
Hari demi hari berlalu dengan kasih sayang dan perhatian sang iblis, Nurhalina pun menaruh hati padanya dan membuatnya dilema. Karena iblis tidak boleh ada di dunia manusia, maka dia harus memiliki inang untuk dirasukinya.
Akankah cinta mereka bertahan selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Masker Hitam
...Panca...
...────୨ৎ────...
"Tuh, kan! Apa kubilang. Aku tuh udah curiga, loh Panca, kalau kamu ditempelin setan!" Kata Yoana merespon ceritaku soal kejadian barusan di kamar mandi. "Soanya waktu kita live semalam, kulihat darah itu ...."
"Stop Yoana, ngomong apaan,sih!" potongku, sambil memungut ransel di meja. "Pulang, yuk. Udah sore!"
"Panca, serius, loh! Hey, hey!" Yoana langsung menarik tanganku dan menaruhnya kembali di meja. "Kalau ini menyangkut kamu, berarti ini juga menyangkut keluargaku, keluarga kita!"
"Gak usah lebay Yoana! Kita semua bakal baik-baik aja!" tegasku, tetap mencoba memutar badan untuk pergi.
"Haduuhh, kalian ini! Ribut mulu kerjaannya, nggak di SD, di SMP, di SMA, bahkan sampai di bangku kuliah pun masih sama aja! Mbok, ya akur gitu loh, kalian itu saudara, sedarah..." Bayu yang ikutan nimbrung tiba-tiba ikut dipotong juga oleh Yoana.
"Darah, itu masalahnya!" jerit Yoana seperti kaget, "Kita punya darah yang sama!"
Ini yang membuatku malas bergaul dengan Yoana, tingkahnya itu aneh, sok mistis, bahkan ketika dia diminta presentasi, dia menjelaskan seperti orang yang lagi kesurupan.
"Iya-iya adek, udah ya melihat masa depannya, kita pulang, udah sore!" Aku merebut tangannya dan lekas membawanya ke gerbang kampus.
Bayu yang mengikuti dari belakang tiba-tiba bertanya, "Kita jadi, gak ketempat yang kemaren?"
"Bayu, nggak ada yang bakal pergi ke mana-mana malam ini, live nya udah cukup seminggu sekali. Kalian mau buat live atau breaking news, sih. Sebenarnya? Hah." tegurku tajam. "Kalian gak capek?"
Yoana cuma melirik Bayu, seolah mengajaknya melakukan sesuatu kemudian dia balas dengan tatapan setuju.
Dan begitulah kami berakhir, Yoana mengambil motornya dan kami dibonceng. Aku berada ditengah sedangkan Bayu di belakangku.
Wajahku diterpa angin berkecepatan 80km/jam, rambutku semrawut, sama berantakannya dengan bibirku yang naik-turun dan mulet ke kanan-kiri diterpa angin. Dan gigiku sesekali mengetuk helm bogo si Yoana.
"Kamu punya jalan sendiri, kan Panca? Loncat aja kalau berani!" ledek Bayu di telingaku."Loncat...loncattt...loncat."
"Katanya mau pulang? Pulang sana sendiri!'" timpal Yoana turut serta mengejekku.
Sial.
Aku hanya pasrah dihimpit mereka berdua.
Tak butuh waktu lama ,kini kami bertiga sudah berada di tempat kecelakaan Bus kemarin. Kami parkir di indomarket yang terletak di seberang TKP.
"Loh, ayo!" Panggil Bayu, sambil menunjuk ke arah seberang. "Tempatnya di sana!"
"Duluan, entar aku nyusul." sahutku. Aku melipir ke kursi besi di teras indomarket dan merapikan rambutku. Daripada harus mengikuti Yoana yang sok jadi dukun itu.
Apa, sih yang dicari sama mereka?
Masih saja percaya pada tahayul.
Darah?
Serius dia bisa menyimpulkan sesuatu cuma dengan melihat darah?
Mustahil, cek golongan darah saja kita harus ke laboratorium, sedangkan dia?
Dan parahnya Bayu, gampang sekali percaya padanya.
"Permisi, mas!" ucap pegawai Indomarket mengagetkanku dengan sapu di tangannya. "Mau di bersihkan dulu sebentar."
"Oh, silahkan!" jawabku mengulurkan tangan dan pindah posisi.
Sebentar.
Aku merasa tak asing dengan suara itu.
Benar saja, Nurhalina.
Orang yang sama dengan yang membantuku setelah aku pingsan pada waktu kecelakaan terjadi.
Dia masih terlihat cantik, meski masker hitam menutupi pipinya. Masih ramah, meskipun jilbabnya tampak kusut dan basah. Mungkin gara-gara dia bekerja keras seharian ini.
"Mm—Mbak," panggilku.
Dia masih melanjutkan pekerjaannya, menyapu debu-debu yang bersarang di lengkungan roda tralis. "Iya," jawabnya singkat.
"Makasih," kataku.
"Iya, memang sudah jadi pekerjaan saya, mas. Sebenarnya, masnya nggak—"
"Untuk yang kemarin," potongku sambil menyeka tangannya yang sibuk dengan sapu. "Makasih."
Sentuhan tanganku membuatnya kaget dan berbalik menghadapku sehingga ikatan masker di telinganya tak sengaja terlepas.
Mata kita saling bertemu.