NovelToon NovelToon
Andai

Andai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Mamah Mput

Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.

Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.

Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.

Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hujan di tengah malam

Nenek bilang, malam itu tepat pukul duabelas malam majikannya mengalami kontraksi. Kehamilan dari anak yang sangat mereka tunggu. Benar, majikan nenek menunggu bahkan merencanakan dengan susah payah akan kehadiran bayi yang ada dalam kandungan majikannya yang bernama Lusy.

Bukan mereka tidak punya anak. Ada Bryan, dan ada Alan. Keduanya laki-laki. Lusy dan suaminya Adnan sangat mendambakan akan kehadiran seorang anak perempuan di keluarganya. Mereka melakukan berbagai macam cara sampai akhirnya bayi tabung mereka berhasil.

Hujan lebat disertai petir yang menggelegar, menyelimuti langit malam itu. Angin yang berhembus kencang membuat pohon bergoyang ke sana kemari tak tentu arah. Kilatan cahaya di atas langit seakan mencoba membelah langit luas malam itu.

Ijah. Itulah nama nenekku. Wanita yang masih muda kala itu ikut berjalan cepat mengikut ranjang rumah sakit yang berjalan menuju ruang operasi.

Lusy bukan kontraksi secara normal, dia kontraksi setelah terpeleset di kamar mandi dan menyebabkan perdarahan hebat.

Seluruh keluarga datang untuk menemani dan memastikan keadaan Lusy baik-baik saja, hingga seorang dokter keluar dan berkata.

"Maaf, Pak. Tapi kami hanya bisa menyelamatkan ibunya."

Antara bersyukur dan juga bersedih. Semua keluarga menangis termasuk nenekku, Ijah. Alan dan Bryan pun terlihat sangat sedih karena adik perempuan yang selama ini mereka dambakan harus pergi sebelum sempat lahir ke dunia.

Malam kelam itu terasa sangat panjang. Hujan tak kunjung reda, pun petir yang terus saja menyambar membuat suasana semakin suram. Dingin menusuk hingga sum-sum tulang. Dingin entah karena cuaca atau karena sesuatu telah pergi.

Adnan mengusap tubuh bayi yang membiru. Seharusnya sepekan lagi dia lahir, namun kini sudah berada di dunia dengan keadaan yang sudah terbujur kaku.

"Selamat datang dan selamat tinggal, Nak." lirih suara yang amat menyayat hati.

Pihak rumah sakit dan kerabat yang lain mengurus jenazah sang bayi, sementara Adnan dan anak-anaknya menemani Lusy yang sudah pasti akan sangat syok atas kepergian putri yang selama ini dia nanti.

Hingga esok hari, Lusy belum juga siuman. Dia masih terbaring di atas kasur dengan wajah yang pucat. Sesekali air mata menetes dari sudut matanya. Dengan lembut Adnan mengusapnya.

"Pah, kita sekolah dulu."

"Hmmm. Hati-hati kalian di jalan."

Alan dan Bryan pun berpamitan karena mereka harus pergi ke sekolah. Saat itu Bryan si sulung kelas 2 SMA, sementara Alan kelas 6 SD.

"Kak, kita gagal dong punya adik cewek?" tanya Alan merengut.

"Yang penting mama sehat dan selamat. Lebih sedih lagi kalau kita harus kehilangan mama bukan?"

"Iya, sih."

Bryan merangkul bahu adiknya seolah memberi kekuatan agar adiknya itu tidak terlalu sedih. Alan adalah orang yang paling antusias menyambut kehadiran bayi ibunya. Bahkan dia sangat antusias saat keluarganya menyiapkan kamar untuk si bayi.

Kehilangan anak yang sangat diinginkan bukanlah hal mudah untuk seorang ibu. Termasuk Lusy. Dia tidak menangis dan tidak meratapi. Tidak marah ataupun memberikan reaksi. Itulah yang membuat Adnan sangat takut.

Lusy depresi.

Tatapannya kosong. Tidak bereaksi pada siapapun dan pada apapun juga. Lusy tidak makan. Makanan masuk ke dalam mulut, ya sudah makanan itu akan terus berada di sana. Itulah kenapa Adnan memutuskan Lusy selalu dipasang infus agar tubuhnya tidak lemas.

Karena waktu dan kesibukan Adnan, dia tidak mungkin selalu menunggu istrinya di rumah sakit. Untuk itulah dia meminta seorang perawat yang siap siaga menemani Lusy di rumah.

"Pak, saya mau minta ijin."

"Ijin ke mana, bi Ijah? Kalau bibi pergi, siapa yang menjaga Lusy?"

"Itu Pak ...." Ijah terlihat segan untuk mengutarakan niatnya meminta ijin pulang kampung.

"Ada apa?" tanya Adnan sambil meletakkan koran pagi di atas meja. Lalu dia menatap dalam pada pembantu yang sudah sangat lama bersamanya.

"Anak saya anu, Pak." kembali Ijah terlihat sangat kebingungan. Adnan terus menatap, meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja dan Ijah bisa mengatakan hal apapun.

"Ah, iya," ujar Adnan yang seolah menemukan sesuatu.

"Anak bibi malu melahirkan 'kan?"

Ijah tersenyum hambar dan juga lega atas pengertian Adnan.

"Pulang, Bi. Bibi harus menemani anak bibi di sana. Nanti biaya dan semua keperluannya akan saya tanggung. Jangan naik angkutan umum, biar sarif yang antar."

"Jangan, Pak."

"Biar nanti di sana ada kendaraan yang siap siaga, Bi. Udah, bibi jangan protes, nanti saya malah gak ijinin pulang, gimana?"

Ijah tertawa bahagia dan haru atas kebaikan Adnan padanya.

Setelah menyiapkan segala kebutuhannya, Ijah pamit pada semua anggota keluarga Adnan termasuk Bryan dan Alan. Juga pada beberapa pembantu yang juga kerja di rumah itu.

"Maaf ya, Rif. Saya jadi merepotkan."

"Merepotkan apa toh, Bi? Kan sama aja kerja. Lagian saya juga pengen liburan ke kampung. Jenuh di kota terus."

"Iya, nanti kamu bisa mancing di kolam milik kakak saya."

"Wah, seriusan punya kolam ikan?"

"iya, nanti bisa langsung dibakar. Kan enak tuh masih fresh."

"Bagus itu. Jadi gak sabar pengen cepet sampai." Sarif terlihat sumringah mendengar kata kolam dan ikan. Karena memancing adalah hobi nya.

Butuh lima jam lamanya dari rumah Adnan menuju rumah Ijah di kampung Jawa barat. Di tempat dataran tinggi. Di perbukitan yang begitu asri dan sejuk.

Sarif membuka jendela mobil lalu menghirup udara dalam-dalam. Dia seperti menemukan harta Karun karena bisa merasakan kesejukan udara yang selama ini jarang ia dapatkan di kota.

Sarif dan Bi Ijah yang semula tengah berbincang sambil sesekali tertawa, perlahan mulai terdiam. Mereka heran melihat kerumunan orang-orang di depan rumah bi Ijah. Hingga Sufri menghela nafas panjang saat melihat bendera kuning di samping rumah.

Tidak ingin menduga yang bukan-bukan, Bi Ijah turun perlahan dengan wajah cemas dan tubuh bergetar. Jalannya mulai sempoyongan namun dia masih mencoba untuk tetap tenang.

Suara tangisan dan histeris para penduduk yang ada di sana semakin keras begitu melihat kedatangan bi Ijah. Mereka segera menyambut dan sesekali mengusap pundak bi Ijah. Meski kepalanya sudah menebak apa yang tejadi, tapi hati Bi Ijah menolak kerasa hingga dia sadar bahwa dugaannya memang sebuah kenyataan.

Wajah cantik nan rupawan itu terlihat sangat pucat. Sambil tersenyum cantik dibalut kain kafan, terbujur kaku di tengah rumah. Beberapa orang yang sedang mengaji pun langsung terhenti tat kala melihat Bi Ijah datang.

"Jah, ini." Ruminah menghampiri sambil menggendong makhluk kecil yang sama cantiknya dengan sang ibu yang sudah berbaring tak bernyawa.

Dengan tangan bergetar, Ijah menerima bayi yang dibedong dengan kain jarik. Bayi itu nampak terlelap. Dia tidak mengerti dan tidak tahu bahwa pelindung nya di dunia ini sudah pergi.

Meski hatinya hancur, Bi Ijah nampak tidak meneteskan satu tetes pun air mata. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Bahkan hingga pemakan berakhir pun, Bi Ijah masih terlihat tidak menangis.

"Rif, besok kamu pulang dulu ke kota. Sampaikan kondisi di sini pada pak Adnan. Sekaran menginap saja dulu di sini, ya meski tidur di tempat seadanya."

"Gak masalah, Bi. Saya akan sampaikan pada bapak nanti. Kalau misalnya bapak nanya saya kapan bibi akan kembali, saya jawab apa?"

Bi Ijah menghela nafas berat, "saya mungkin tidak akan kembali, Rif. Saya akan merawat cucu saya di sini. Lagi pula tabungan saya mungkin cukup untuk saya pakai modal jualan apa lah di sini."

"Bapak pasti gak akan setuju, Bi. Bagaimana pun juga bibi udah lama ikut mereka dan udah dianggap ibu sendiri. Terlebih keadaan ibu masih belum ada kemajuan."

"Saya juga tau, Rif. Tapi mau bagaimana lagi. Kalau bukan saya, siapa yang akan merawat cucu saya?"

Sarif hanya bisa diam. Dia tidak bisa berkata apapun lagi karena memang situasi Bi Ijah tidak dalam posisi memilih. Dia memang harus mengutamakan cucunya.

1
Sahriani Nasution
wuih cool
Mamah Mput: iya dia cool banget, suami aku sebenarnya dia tuh 🤧😂😂
total 1 replies
mly
plot twist nya alan Sma ara suami istri wokwok
Mamah Mput: mau kondangan gak? hahaha
total 1 replies
nowitsrain
Ini visualnya Alan?
Mamah Mput: iya kak itu Alan.
total 1 replies
nowitsrain
Ayuhhh, yang dikerjain guru baru 🤣
nowitsrain
Yah, usil banget bocah
Timio
belum apa apa udah nyakitin aja kalimatnya tor 😭
Mary_maki
Bagus banget ceritanya, aku udah nggak sabar nunggu bab selanjutnya!
Mamah Mput: terimakasih kak. tiap hari aku up ya 💜💜
total 1 replies
y0urdr3amb0y
Suka banget sama ceritanya, harap cepat update <3
Mamah Mput: terimakasih 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!