"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak Antara Kita
...Antari...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Setelah short-time di kantor, gue langsung menjauh dari Maurice. Dia buru-buru merapikan roknya sambil ngos-ngosan. Gue benerin boxer, naikkin celana, dan lihat dia ngusap wajahnya pelan.
"Gila, hari ini lo lebih agresif dari biasanya."
Gue nggak jawab apa-apa, cuma langsung ke kamar mandi di samping meja kerja. Cuci muka, rapiin dasi, terus balik duduk di kursi.
"Ngapain lo di sini?" tanya gue, karena dia tahu gue nggak suka diganggu kalau pas lagi kerja.
Maurice senyum, satu alisnya naik. "Baru nanya sekarang?"
Bener sih, tadi gue langsung nyerang dia begitu dia masuk. Nggak ada basa-basi, nggak ada salam. Gue butuh untuk pelepas stres.
Dia duduk di seberang meja, nyender santai.
"Gue cuma mau lihat lo. sudah beberapa hari kita nggak ketemu."
"Gue sibuk kerja." Dan dia paham itu.
Salah satu alasan kita bisa jalan bareng selama ini ya karena Maurice ngerti. Dia nggak banyak nuntut, nggak pernah mengeluh. Dia tahu gue seperti apa dan dia ngejalaninnya tanpa peduli apa pun.
Dia ngeluarin napas pelan. "Gue tahu… Cuma kangen aja."
Gue memperhatikan dia, dan kelihatan jelas dia buru-buru nunduk buat nutupin ekspresi sedihnya.
"Lo mau makan bareng malam ini?"
Dia langsung tatap gue, senyumnya lebar banget. "Tentu aja!"
Gue kasih senyum kecil. " Oke, gue bakal pesen tempat."
Dia berdiri, muterin meja, terus nyerobot ke arah gue buat nyium.
"Oke, sampe ketemu nanti malam."
Gue lihat dia jalan ke pintu, sempat nyapa Vero, manajer di perusahaan ini.
Vero kasih senyum ramah, naruh satu map di meja gue. "Siang, Pak."
"Siang. Semoga kabar bagus."
"Iya, bulldozer-nya sudah jalan lancar. Ini laporan lengkap soal mesin, spare parts, sama biaya tenaga kerja. Kalau ada pertanyaan, kasih tahu aja."
Gue ngeluarin napas panjang, lega. Bulldozer itu salah satu alat paling mahal di sini.
"Bagus. Makasih banyak."
Dia senyum lagi sebelum pergi.
Dokter sudah sering mengingatkan gue buat nggak terlalu terlibat di perusahaan ini, katanya biar stres gue berkurang. Gue harus lebih percaya sama tim gue, kasih mereka lebih banyak tanggung jawab.
Gue sudah coba, tapi susah. Gue ngerasa ini tanggung jawab besar, bokap sudah percaya sama gue, dan gue nggak bisa ngecewain dia.
Gue elus wajah, nyender dalam di kursi, nutup mata sebentar sambil mijat pelipis. Kepala gue berat, efek dari malam-malam panjang tanpa tidur.
"Pemandangan yang menyedihkan." Suara Elnaro bikin gue kaget. Gue buka mata, lihat dia duduk nyantai di seberang meja, tangan disilang di dada. "Come on, bro, lo kelihatan hancur."
Elnaro itu sahabat gue. Kita kenal sejak kuliah, satu fakultas, cuma dia ambil jurusan keuangan. Pas gue ambil alih perusahaan, gue langsung rekrut dia. Salah satu dari sedikit orang yang bisa gue percaya.
"Ngapain lo di sini?"
Elnaro senyum lebar, mukanya cerah seperti biasa. Dia selalu jadi orang yang ceria.
"Lo selalu ramah banget ya. Nggak boleh nih, gue ngunjungin sahabat sendiri?"
"Gue lagi kerja."
"Oh iya? Soalnya lo lebih kelihatan seperti orang yang bakal pingsan dalam hitungan detik gara-gara kecapekan."
"Gue baik-baik aja."
"Kalau lo mati dengan muka seperti itu, gue ogah dateng ke pemakaman lo."
Gue kasih dia tatapan lelah.
"Gue bilang, gue baik-baik aja."
"Ya, ya, terserah." Elnaro nyender santai di kursinya, ngelepasin tangan ke belakang kepala. "Tadi gue ketemu Maurice di lorong. Kirain lo nggak bakal nyampur urusan kerjaan sama seneng-seneng."
Gue menyipitkan mata. "Maksud lo?"
"Ya jelas kelihatan lah, dia baru aja lo hajar, kan?"
"Jangan ngomongin dia seperti begitu."
Elnaro langsung angkat tangan seperti orang nyerah.
"Oke, oke, maaf, Pak Ksatria. Lo lagi uring-uringan hari ini. Eh, atau sebenernya lo selalu seperti gini?"
Gue diam aja, tapi dia tetep mandangin gue dengan tatapan penuh arti. Elnaro itu salah satu orang yang paling ngerti gue.
"Lo lebih keras kepala dari biasanya. Ada apa?"
"Nggak ada." Gue geleng kepala.
"Oke, kita skip bagian di mana gue bilang lo ada apa-apa dan lo terus ngeyel sampe akhirnya lo cerita juga."
Gue ngeluarin napas berat.
"Kayaknya gue terlalu kasar sama seseorang."
"Kayaknya?" Dia angkat satu jari. "kalau lo ngerasa bersalah sampe kepikiran gini, berarti lo memang keterlaluan. Siapa korbannya?"
Gue buang pandangan, nyender lebih dalam ke kursi. Elnaro langsung angkat alis. "Jangan bilang…"
"Elnaro."
"Gue kenal ekspresi itu. Ellaine, ya?"
Gue nggak ngerti bagaimana dia masih ingat namanya. "Sudah gue bilang, lupain nama itu."
Dia mendesah sambil muter bola mata. "Susah, men. Soalnya dulu lo nggak berhenti nyebut namanya tiap kali mabok di tahun pertama kuliah."
"Itu udah lama banget."
Dia ngangguk, tapi nada suaranya santai banget. "Iya, iya. Terus, lo apain dia?"
Pikiran gue balik ke kejadian tadi. Gue masih kebayang dia jongkok bersihin teh di lantai, air mata yang jatuh di pipinya. Momen itu masih menghantui gue. Gue nggak ngerti kenapa tiap kali gue ada di dekat dia, rasanya amarah gue meledak-ledak.
"Lo bakal tonjok gue kalau gue cerita."
Elnaro langsung mangap kaget. "Gila, separah itu?"
Gue diam. Tapi bayangan wajah Ellaine masih terpatri jelas di kepala gue.
Sekarang muka Elnaro berubah serius. Semua bercandaan ilang dari ekspresinya.
"Antari, lo harus move on... udah bertahun-tahun. Lo nggak bisa terus-terusan nyimpen dendam buat sesuatu yang udah lama berlalu."
"Gue nggak dendam. Gue udah nggak ngerasa apa-apa ke dia."
"Lo bisa bohong ke orang lain, bahkan ke diri lo sendiri, tapi gue tahu itu nggak bener."
Dia geleng-geleng pelan. "Rasa marah, kehilangan kontrol setiap kali lo ada di dekat dia, itu pasti ada alasannya."
Gue mendengus, kesel. " Udah, cukup. diam lo."
"Gue cuma minta lo minta maaf ke dia. udah, gitu aja. Biarin semuanya berlalu, coba hubungan yang lebih… ya, normal lah."
Gue nggak jawab apa-apa. Cuma berdiri, keluar, keliling buat nge-check perusahaan, seperti biasa.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Abis makan malam sama Maurice, gue anter dia pulang terus balik ke rumah sendiri. Begitu masuk, gue langsung lepas dasi, mijat leher yang sudah tegang seharian. Dari arah dapur, kedengeran suara berisik. Gue niatnya cuma mau ambil air, jadi sekalian aja ke sana.
Gue nggak pernah masuk dapur lagi sejak pagi itu, sejak gue "taruh" Ellaine di tempatnya. Tapi gue nggak bisa bohong, ada rasa bersalah yang masih menyiksa. Dan seragam itu… Nggak nyangka bakal cocok banget di dia.
Suara nyanyian mengisi ruangan.
Dia lagi nyanyi?
Gue diam di ambang pintu, memperhatikan. Ellaine lagi masak, goyang-goyang kecil sambil pegang sendok sebagai mikrofon. Senyum kecil tanpa sadar muncul di bibir gue.
Suaranya…
Bagus.
Dan bikin gue ingat masa lalu.
.........
"Lo punya mimpi nggak?" Gue pernah nanya, sekadar iseng waktu itu.
Dia geleng kepala.
"Orang seperti gue nggak bisa punya mimpi."
Gue kerutkan dahi. "Kenapa?"
"Karena cuma buang-buang waktu buat ngarep sesuatu yang nggak bakal terjadi."
Gue teguk soda pelan. "Lo pesimis banget, tahu nggak?"
"Dan lo pendiam banget, tahu nggak?"
Gue ketawa kecil. "Eggak, kok kalau sama lo."
"Gue tahu. Tapi lo harus cari temen lain juga."
"Lo keberatan jadi satu-satunya temen gue?
Dia senyum, menyelipkan anak rambut ke belakang kuping. "Nggak, gue nggak keberatan."
Kita diam cukup lama. Duduk di pinggir kolam renang, kaki kita tercelup ke air. Ellaine mulai bersenandung pelan. Gue baru ingat betapa dia suka nyanyi.
"Gue tahu mimpi lo apa."
Dia gerak-gerakin kakinya di air, masih nggak melihat gue. "Coba tebak."
"Lo suka nyanyi… Lo nggak kepikiran jadi penyanyi terkenal?"
Dia nunduk, tatapannya kosong ke air yang jernih.
"Itu sih…"
"Takut? Nggak ada salahnya ngakuin, kok."
Dia gigit bibir, tapi pada akhirnya menatap gue. Matanya bersinar.
"Mungkin, iya. Gue pengen jadi penyanyi. Tapi kalau lo bilang ke siapa-siapa, gue bakal pura-pura nggak pernah ngomong ini."
Dia ketawa kecil, tapi gue bisa lihat kalau itu bener-bener impiannya.
.........
Sekarang gue jadi kepikiran, apa dia masih nyimpen mimpi itu?
Dan kenapa lo peduli, Antari?
Gue berdehem, bikin kehadiran gue ketahuan.
Ellaine langsung kaku, ngelirik sebentar sebelum buru-buru taruh sendok ke wastafel. Pas dia berbalik, ekspresi bete di wajahnya bikin gue kaget.
Gue kira dia bakal malu atau canggung. Tapi enggak.
Dia marah.
Pantas.
Dia punya hak buat itu.
"Ada yang perlu dibantu, Tuan?" Suaranya dingin banget.
Bukan cuma marah, dia ngamuk dalam hati.
Bahasa tubuhnya jelas-jelas nunjukin dia tinggal nunggu satu kata nyebelin buat meledak dan nyumpahin gue.
Itulah Ellaine, nggak pernah takut. Dia patuh, iya, tapi bukan karena takut, cuma karena dia harus lakukan itu buat tetep kerja di sini. Bahkan saudara-saudara gue aja masih ada rasa segan sama gue, tapi dia?
Nggak sama sekali.
"Gue mau teh." Gue duduk di meja dapur. Tatapannya dingin banget sampe gue hampir tunduk. "Please."
Dia ngeluarin napas berat, mulai nyiapin teh dalam diam.
Gue memperhatikan dia. Rambut merahnya dikepang rapih dari depan sampe belakang. Ekspresi dia tetep jelas banget, kesel, tegas, tapi tetap...
Ellaine.
Dia mijat bahunya, bikin muka sedikit kesakitan. sepertinya dia juga habis mengalami hari yang panjang. Sama seperti gue.
Pikiran gue balik ke kejadian kemarin, dan rasa bersalah itu muncul lagi. Perasaan yang nggak biasa buat gue, soalnya gue jarang nyesel sama apa yang gue lakuin.
Gue mainin jari di pinggiran meja, pikiran ke mana-mana. tahu-tahu secangkir teh nongol di depan gue. Gue angkat kepala, melihat Ellaine berdiri di seberang meja. Tatapannya sedingin es, bikin gue nggak nyaman.
"Teh anda, Tuan!"
Nggak ada rasa hormat di suaranya. Cuma jijik.
"Makasih."
Dia langsung muter badan buat lanjut kerja, sementara gue nyeruput teh gue pelan. Lama-lama, gue cuma duduk di sana, ngerasain teh gue, tapi otak gue keganggu sama satu hal. Gue tahu gue salah.
Seperti bisa baca pikiran gue, Ellaine tiba-tiba balik badan, naruh tangan di pinggang. "Kalau lo mau minta maaf, minta aja."
Hah?
Ini pertama kalinya dia ngomong santai ke gue sejak kejadian itu. Dan anehnya, gue nggak keberatan.
Mungkin dia sadar juga, soalnya ekspresinya berubah, kayaknya dia lagi keceplosan barusan, ngomong dengan liar apa yang ada di kepalanya.
"Lupakan."
Dia mau pergi, tapi sebelum dia sempat keluar dari dapur, kata-kata itu keluar dari mulut gue.
"Gue minta maaf."
Dia langsung berhenti, tapi nggak muter badan. Syukur deh, jadi lebih gampang buat gue bilang ini.
"Gue nyesel soal kejadian kemarin. Gue udah keterlaluan. Nggak bakal kejadian lagi."
Gue nggak nunggu jawaban. Gue kenal dia. Permintaan maaf doang nggak bakal cukup buat ngilangin rasa keselnya.
Kenal dia?
Maksud lo, kenal dia dulu.
Sekarang lo nggak tahu apa-apa soal dia.
Dan lo juga nggak peduli.
"Lo nyesel?" Akhirnya dia muter badan, matanya masih nyala karena marah. "Lo ngerendahin gue di depan saudara lo, nginjek harga diri gue, dan lo cuma nyesel?"
Gue bangkit berdiri. "Ellaine…"
Dia maju tiga langkah, sampe sekarang dia berdiri tepat di depan gue. Sebelum gue sempat ngomong lagi,
...Plaaakkkkk...
Tamparannya bikin kepala gue sedikit miring ke samping. "Nah, gini baru namanya permintaan maaf."
Gue benerin kepala gue pelan, tangan gue megang rahang yang mulai panas.
Anjir, dia mukulnya keras juga.
Matanya masih nyala penuh amarah. Dan gue nggak bisa bohong, sedikit takut juga.
"Coba lo kurang ajar lagi sama gue, yang kena bukan cuma muka lo."
Gue memperhatikan dia lebih dekat. Ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya, kelihatan capek… tapi tetep aja, dia masih secantik dulu.
"Gue udah minta maaf, lo udah mukul gue. Anggap aja kita impas." Nada gue datar.
Dia menyeringai sinis.
"Ya udah. Kita coba hubungan profesional aja. Gue cuma pegawai di rumah ini. Lo cuma anak bos gue. udah, itu aja."
Cuma anak bos?
Itu doang gue di mata dia sekarang?
Oke.
Kalau gitu, dia juga cuma pegawai.
Enggak.
PEMBANTU.
Itu lebih tepatnya.
Nggak lebih.
"Oke."
Dia melihat gue sebentar sebelum jalan keluar dari dapur.
Gue diam di sana, sendiri, dikelilingi jarak yang selalu dia pasang di antara kita.
Jarak yang begitu jauh, sampe bahkan ketika dia ada di depan mata gue, rasanya seperti dia nggak pernah ada.
setelah antari beneran selesay sama maurice,tetap aja masih sulit buat bersatu dgn ellaine,blm lagi masalah restu dari orangtua antari
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔