Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Permintaan Emma
Hawa Harper melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu dengan perasaan campur aduk. Tatapan tajam para bodyguard yang mengawalnya menambah berat langkahnya. Di ruang keluarga, suara tangisan seorang anak kecil menggema, memecah keheningan. Hawa berhenti sejenak, mengatur napasnya.
“Aku tidak mau! Aku mau Kak Hawa! Aku tidak peduli, Papa!” teriak suara kecil itu dengan nada penuh tangis.
Hawa mengenali suara itu. Emma. Gadis kecil yang ia rawat dengan penuh kasih sayang selama seminggu terakhir. Tanpa menunggu aba-aba, ia berjalan lebih cepat menuju sumber suara.
Di ruang keluarga, Harrison Noah tampak duduk di sofa besar, kepalanya ditopang oleh tangannya, wajahnya penuh dengan kelelahan dan frustrasi. Di depannya, Emma berdiri dengan wajah merah dan air mata mengalir deras di pipinya.
“Emma, berhenti menangis. Ini tidak akan mengubah apa pun,” suara Harrison terdengar berat, tetapi tetap tegas.
“Tidak! Aku mau Kak Hawa! Aku tidak akan tidur kalau Kak Hawa tidak di sini!” Emma tetap bersikeras, tangisnya semakin keras.
Harrison mengusap wajahnya dengan kasar, jelas menunjukkan kebingungannya. “Emma, dengar. Kak Hawa sudah pergi. Dia punya hidupnya sendiri, dan dia tidak bisa tinggal di sini selamanya.”
Namun, tangisan Emma justru semakin memilukan. Hawa yang mendengarnya dari balik pintu merasa hatinya seperti ditusuk. Tubuhnya bergetar melihat betapa sedihnya gadis kecil itu.
Salah satu bodyguard yang berdiri di samping Harrison melirik Hawa, berniat memberi tahu kehadirannya. Tapi Hawa menggelengkan kepala, memberi isyarat agar tidak mengatakan apa-apa. Dengan hati-hati, ia melangkah maju, menghampiri Emma.
“Emma...” suara lembut Hawa memecah suasana.
Tangisan Emma langsung berhenti. Gadis kecil itu mendongak, matanya yang bengkak karena menangis langsung berbinar begitu melihat sosok Hawa. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah Hawa dan memeluknya erat.
“Kak Hawa!” serunya dengan suara parau, tetapi penuh kelegaan.
Hawa tersenyum kecil, membelai rambut Emma dengan lembut. “Ssshh, sayang. Tidak apa-apa. Aku di sini. Jangan menangis lagi, ya?”
Emma mengangguk kecil, meski isakannya masih terdengar. Hawa berlutut di depannya, menatap wajah mungil itu dengan penuh kasih sayang.
“Emma, kamu harus istirahat, ya? Kamu tidak boleh terlalu lelah,” bujuk Hawa.
“Tapi... aku tidak mau tidur kalau Kak Hawa tidak di sini,” bisik Emma, matanya berkaca-kaca.
Hawa melirik Harrison, yang kini menatap mereka dengan ekspresi sulit dibaca. Ia menghela napas panjang, lalu kembali menatap Emma. “Baiklah. Kakak akan menemani kamu sampai kamu tertidur, tapi kamu harus janji, ya? Setelah itu kamu harus istirahat dengan baik.”
Emma mengangguk dengan semangat. “Aku janji, Kak Hawa!”
Tanpa menunggu lebih lama, Emma menarik tangan Hawa dan membawanya ke kamar. Hawa mengikuti dengan langkah berat, merasa bahwa keputusannya ini akan membuat segalanya menjadi lebih rumit.
***
Di kamar Emma yang luas dan mewah, Hawa duduk di tepi tempat tidur sambil membelai kepala gadis kecil itu. Emma perlahan mulai terlelap, tetapi tangannya tetap menggenggam erat tangan Hawa, seakan takut kehilangan.
Hawa menunggu dengan sabar sampai napas Emma menjadi tenang dan teratur, tanda bahwa gadis kecil itu benar-benar tertidur. Baru setelah itu ia perlahan melepaskan genggamannya dan bangkit dari tempat tidur.
Namun, saat ia membuka pintu kamar, ia terkejut melihat Harrison berdiri di baliknya. Wajah pria itu terlihat dingin, tetapi sorot matanya penuh dengan sesuatu yang sulit diterjemahkan.
“Kita perlu bicara,” kata Harrison singkat sebelum berbalik dan berjalan menuju ruang kerjanya.
Hawa hanya bisa mengikutinya tanpa berkata apa-apa.
***
Di dalam ruang kerja yang luas dan penuh dengan aura dingin, Hawa berdiri dengan canggung. Tumpukan buku-buku tebal berjajar rapi di rak, sementara meja besar yang terbuat dari kayu mahoni menambah kesan serius ruangan itu. Harrison berdiri di dekat jendela besar, menatap keluar dengan tangan terlipat di dada. Ia tidak segera berbicara, menciptakan jeda yang terasa menekan bagi Hawa.
Hawa berdehem pelan, mencoba memecah keheningan. “Tuan Noah, jika ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan, tolong langsung saja. Aku harus segera pulang.”
Harrison berbalik perlahan, tatapan tajamnya langsung menusuk ke arah Hawa. "Emma tidak akan membiarkanmu pergi, dia membutuhkanmu," ucapnya tanpa basa-basi.
Hawa terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia menunduk, mencoba meredakan detak jantungnya yang mulai berpacu. “Tuan Noah, aku mengerti Emma merasa nyaman denganku, tapi... aku tidak bisa tinggal di sini. Aku punya pekerjaan, keluarga yang menungguku di rumah. Ini sulit bagiku.”
Harrison mendekat, langkahnya tenang namun tegas. “Kau pikir aku tidak tahu itu? Tapi saat ini, Emma hanya percaya padamu. Dia baru saja kehilangan rasa aman, dan kau satu-satunya yang membuatnya merasa tenang.”
“Tuan Noah, Anda harus mengerti, aku bukan pengasuh. Aku punya tanggung jawab lain di luar sini. Kalau Emma membutuhkan perhatian, mungkin Anda bisa memanggil seseorang yang lebih profesional untuk membantu,” balas Hawa dengan nada tegas, meskipun suaranya sedikit gemetar.
“Aku tidak bisa memercayai siapa pun, belum tentu juga Emma mau,” potong Harrison dengan nada dingin. “Orang-orang di luar sana tidak tahu tentang kecelakaan ini, dan aku ingin tetap seperti itu. Kau satu-satunya yang tahu, dan itu membuatmu berbeda.”
Hawa mengernyit, firasat buruknya semakin kuat. “Tuan Noah, Anda... bukan orang biasa, bukan?” tanyanya pelAn, nyaris berbisik.
Harrison menatapnya tajam, namun tidak menjawab. Tatapan itu cukup untuk membuat Hawa mundur setengah langkah.
“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang... berbahaya,” lanjut Hawa, suaranya melemah. “Dan itu membuatku semakin yakin, aku tidak seharusnya berada di sini.”
“Kau tidak punya pilihan,” jawab Harrison dingin. “Emma membutuhkanmu, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun yang tidak aku kenal berada di dekatnya.”
Hawa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Tuan Noah, ini bukan hanya tentangku. Bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana aku menjelaskan ini pada mereka? Bagaimana aku bisa menjelaskan kenapa aku harus tinggal di rumah orang asing?”
Harrison melangkah lebih dekat, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. “Katakan apa pun yang kau perlu katakan. Katakan kau membantu teman. Katakan kau punya tanggung jawab. Aku tidak peduli, selama mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya dan apa yang terjadi. Bukankah sebelumnya kau mampu menyembunyikan kami dirumahmu?”
“Itu berbeda Tuan! Dan saat ini tidak adil!” sergah Hawa, emosinya mulai memuncak. “Aku tidak bisa hidup dengan kebohongan seperti itu terus! Aku punya kehidupan sendiri, dan aku tidak bisa mengorbankannya hanya karena Anda memutuskan ini!”
“Adil?” Harrison tersenyum tipis, tanpa humor. “Hawa, dalam hidupku, tidak ada yang adil. Kau pikir aku meminta kecelakaan itu terjadi? Kau pikir aku meminta Emma kehilangan rasa aman dan kepercayaannya? Aku juga tidak ingin ini terjadi, tapi aku harus memastikan Emma mendapatkan apa yang dia butuhkan. Jika itu berarti memintamu tinggal, maka aku akan melakukannya.”
Hawa terdiam, hatinya berdebar keras. Kata-kata Harrison seperti cambuk yang menusuk ke dalam dirinya. Ia tahu pria ini berbicara dari rasa tanggung jawab sebagai seorang ayah, tetapi keputusannya terasa begitu sepihak dan memberatkan.
“Tuan Noah... ini sangat sulit bagiku,” ucap Hawa akhirnya, suaranya melemah. “Tapi aku tidak tega melihat Emma terus menangis. Dia gadis kecil yang manis, dan aku ingin membantunya. Hanya saja... butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan semua ini.”
Harrison mengangguk perlahan, meskipun ekspresinya tetap dingin. “Aku tidak meminta lebih. Selama kau ada untuk Emma, itu sudah cukup.”
Hawa menggigit bibirnya, merasa dilematis. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi aku punya syarat. Aku harus tetap bisa menjalankan pekerjaan seperti biasa, dan aku harus tahu bahwa ini hanya sementara.”
Harrison menatapnya dalam-dalam, seolah menilai ketulusan kata-katanya. “Deal,” katanya singkat. “Tapi satu hal lagi, Hawa.”
“Apa?” tanya Hawa, suaranya nyaris bergetar.
“Kalau kau mencoba melibatkan orang lain, atau mencoba pergi tanpa izinku, aku tidak akan segan-segan mengambil tindakan,” ucap Harrison dengan nada rendah, penuh ancaman.
Hawa menelan ludah, merasa tubuhnya bergetar. "Aku mengerti,” jawabnya pelan, meskipun hatinya penuh dengan ketakutan.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa ya like dan komentarnya ya.
Dukung terus ya karya mommy ini. Terima kasih.❤❤❤❤❤