Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melepas Rindu
"Udah rapi aja, emang Mas mau ke mana?" tanya Liana ketika melihat kakak lelakinya berdiri menghadap cermin.
"Sebelum masuk biasakan untuk ketuk pintu dulu, Lia," ujar Rizki menegur.
"Dih, sama adek sendiri pun, tadi aku juga udah manggil dari luar, Mas aja yang kagak denger sih. Emang kamu udah nikah, pakek acara ketuk pintu segala," cicit Liana, matanya tak henti-hentinya memandang Rizki yang tampil keren malam ini. Pastinya banyak gadis-gadis di luar sana yang terpesona dengan ketampanannya, pikir Liana.
"Kenapa? Kamu terpesona dengan ketampanan mas mu ini, hah?" tanya Rizki menggoda.
Liana menaikkan ujung bibirnya diiringi dengan senyum kecil. "Kepedean banget kamu, Mas. Tuh, udah ditungguin sama mama dan papa di bawah," ucap Liana kemudian, ia langsung meninggalkan Rizki yang masih mematut dirinya di depan cermin.
"Saatnya bertamu ke rumah calon mertua," ujar cowok itu seraya mengambil kunci mobilnya di atas nakas.
"Hah?" Liana kembali berbalik arah kala mendengar ucapan Rizki. "Mas Rizki mau ke rumah mbak Anya?"
"Iya, malam ini."
"Aku ikut ya! Udah kangen banget sama mbak Anya, boleh kan?"
"Buruan gih siap-siap, aku tunggu di bawah."
"Oke, siap!" Liana bersorak kegirangan, gadis remaja itu buru-buru masuk ke kamarnya untuk ganti baju dengan yang lebih sopan.
***
Rizki tiba di lantai bawah, ia menyapa kedua orangtuanya yang saat itu sedang duduk di ruang tengah.
"Nah, dari tadi kita tungguin, Ma. Ini anak baru nongol sekarang," ucap pak Burhan.
"Sini, Ki. Duduk dulu, ada yang mau mama sama papa omongin." Bu Mila menggeser sedikit duduknya menyisakan tempat untuk sang anak duduk di sana.
"Soal apa, Ma? Rizki lagi buru-buru, mau ke rumah Anya sebentar, gimana kalau nanti pas Rizki pulang?" tanya Rizki.
Bu Mila melirik suaminya, mereka saling pandang, ada sesuatu yang penting, dan mungkin itu menyangkut tentang hubungan anaknya dengan Anya.
Pak Burhan mengangguk pelan, sedangkan bu Mila tampak menghela napas panjang.
"Ya udah, nanti aja," pungkas mamanya.
Setelah adiknya keluar dari kamar, Rizki langsung pergi setelah lebih dulu minta izin pada kedua orangtuanya.
"Ma, beneran Mama mau lamar Anya?"
"Ya, mau gimana lagi, Pa. Rizki desak mama terus," jawab bu Mila.
"Tapi bukannya kemarin-kemarin kamu ngotot banget enggak mau bermenantukan Anya? Kenapa bisa berubah secepat ini?"
"Emang kita bisa apa, Pa? Mama juga enggak punya alasan menolak Anya untuk saat ini," jawab bu Mila.
Melihat sang istri yang dipenuhi kebimbangan, pak Burhan akhirnya memberitahukan tentang kabar baik yang tempo hari didapatnya dari pimpinan pesantren tempat Rizki mondok.
"Abi Ilyas ingin menjodohkan Rizki dengan putrinya, Ma."
Seketika mata bu Mila berbinar mendengar ucapan sang suami. Inilah kabar baik yang dia nantikan, sungguh sebuah keajaiban.
Kalau dengan putri beliau, sudah pasti dia mau merestuinya.
"Alhamdulillah, Pa. Ini yang mama tunggu-tunggu, akhirnya mama punya alasan untuk jauhin Rizki dari Anya."
*****
Rizki masih dalam perjalanan menuju rumah Anya, dan Anya masih berdebat dengan ibunya terkait masalah tadi siang di kafe.
"Bu, Ibu enggak terima atas perlakuan aku sama Sasha?"
"Tentu saja! Ibu enggak pernah sekalipun mukul dia dari kecil, tapi kamu? Berani-beraninya kamu tampar adik kamu seperti itu," ucap bu Aila, amarahnya meledak sudah.
Anya meringis, tamparan sang ibu terlalu keras, bahkan sudut bibirnya terasa berdarah.
Untuk beberapa saat Anya terdiam, ia memandang ke arah Sasha yang duduk di dekat ayahnya.
Ayahnya tampak cuek-cuek saja dengan apa yang sedang terjadi.
Dia pikir suara ribut-ribut tadi karena ayah dan ibunya tengah bertengkar perihal Sasha, tapi ternyata mereka sedang meributkan tentang masalah dirinya menampar Sasha.
Bagi Anya ini tidak adil, mereka selalu membela Sasha bahkan di saat Sasha melakukan kesalahan.
"Sasha, jangan salahkan aku kalau nanti ibu berbalik marah sama kamu. Ini kamu yang memulai," ucap Anya dalam hati, matanya menatap tajam ke arah Sasha.
Sasha memperhatikan tatapan marah kakaknya, dia mulai cemas, takutnya sang kakak akan balik mengadukan apa yang terjadi.
"Apa benar kak Anya bakalan balik ngadu perihal aku sama Arya?" Sasha semakin gelisah. "Tapi kan dia enggak punya bukti," batin Sasha, gadis itu menenangkan hatinya.
Anya tersenyum sinis, ia menarik ponsel dalam saku gamisnya.
Ibunya menerima ponsel itu, melihat bukti dari rekaman cctv yang diambilnya dari kafe Windi. Dia sudah mempersiapkan itu sejak tadi sore, buat berjaga-jaga kalau nanti Sasha ngadu sama ibu dan ayah.
"Ibu lihat sendiri kan? Apa yang dilakukan Sasha anak kesayangan Ibu sama ayah." Anya mengerling ke arah sang adik, lalu ia tersenyum puas.
Sasha langsung menghampiri ibunya saat melihat reaksi ibunya yang mulai berubah semakin marah.
"Gawat! Pasti kak Anya ngaduin soal Arya," gumam Sasha, kaki jenjangnya berjalan cepat menghampiri mereka.
"Apa ini, Sha? Ibu enggak suka_"
"Bu, Sasha bisa jelasin soal ini. Semua enggak seperti yang ibu lihat," potong Sasha cemas.
Bu Aila mengembalikan ponsel itu kepada Anya, beliau lalu menarik tangan Sasha dan membawanya ke hadapan ayahnya.
"Kali ini kamu sudah keterlaluan, ibu enggak mau kamu deket lagi sama dia!" tegas bu Aila.
Kemarahannya mendatangkan rasa gerah, beliau melepaskan kerudungnya dengan kesal dan mencampakkannya begitu saja.
"Kamu itu jangan mau dibodohi, Sha. Ayah ngasih kamu pacaran sama dia bukan buat ngasih dia makan, bikin perutnya kenyang. Emang dia sekere itu, sampe uang lima puluh ribu aja kagak punya," omel ayahnya.
"Ayah, Ibu, itu cuma satu video aja. Cuma sekali doang, Bu." Sasha masih berusaha menyangkal.
Anya kembali menutup pintu kamarnya karena tidak mau mendengar apa pun alasan sang adik, percuma aja Sasha menyangkal semua itu. Kali ini Anya punya beberapa video saat dia membayar makanan yang dipesan bersama Arya.
"Windi emang sahabat terbaik aku, beruntungnya punya dia." Anya mendekap ponselnya sambil tersenyum senang.
Ada beberapa video lain yang didapat Windi dari kafe temannya yang pernah didatangi Sasha.
Semua sama, sepertinya Arya cuma manfaatin Sasha doang.
"Putusin hubungan kamu sama lelaki modelan dia!" tegas ayahnya. Obrolan mereka terdengar jelas sampai ke kamar Anya yang berada tidak jauh dari ruang tengah.
"Tapi, Yah_"
"Enggak ada tapi-tapian, ayah enggak mau lihat lagi kamu berhubungan sama dia. Jadi cowok kok enggak punya modal, mau aja kamu dimodusin sama cowok," ucap pak Faisal marah.
Baru kali ini Anya mendengar ayah dan ibunya memarahi Sasha.
"Kalau sering-sering kek gini kan aku jadi senang," gumam Anya. Rasanya dia sudah menjadi kakak yang sangat jahat di dunia ini, senang saat melihat adiknya sendiri dimarahi.
Bagus juga sih, setidaknya Sasha dapat pelajaran dari hubungannya yang cuma main-main itu.
Tttrrr!
Getar ponsel Anya mengagetkannya, ia bangun dan melirik sekilas bayangannya di cermin, ternyata getar ponsel tadi adalah pesan dari Rizki.
Cowok itu sudah tiba di depan rumahnya. Anya buru-buru membuka pintu dan keluar dari kamar menuju teras depan.
***
Lama tidak bertemu membuat obrolan di antara mereka sedikit canggung. Anya bahkan beberapa salah ngomong di depan Rizki, dan hal itu membuat Liana cekikikan sendiri melihatnya.
"Oh ya!" ucap Rizki dan Anya bersamaan, Liana semakin melebarkan senyumnya. Anak itu memandang secara bergantian dua orang di depannya.
"Mas Rizki duluan!" suruh Anya.
"Kamu aja, kayaknya kamu lebih penting deh," tolak Rizki.
"Enggak apa-apa, Mas aja!"
"Cie cie .... Yang lama enggak jumpa, jarang berkabar, sekali ketemu kok jadi kikuk gini," goda Liana.
"Ssttt!" Rizki menempelkan telunjuknya di bibir Liana. "Anak kecil diem!"
"Mau ngomong apa tadi, Mas?"
Terpaksa Rizki yang ngomong duluan, cowok itu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
Mungkin ini cukup membuatnya deg-degan, karena apa yang akan disampaikannya adalah masalah pertunangan mereka.
"Soal pertunangan kita, aku udah kasih tahu hal ini sama mama dan papa," ucap Rizki.
Liana tidak berkomentar sama sekali, pembicaraan kali ini kelihatannya lebih serius, jadi dia cuma diam dan menyimak.
"Keluarga kamu setuju?"
"Ya pasti dong, Mbak. Aku juga setuju, mama dan papa juga pasti setuju, ya kan, Mas?" yang dijawab Liana, gadis itu sangat bersemangat.
Dari awal perkenalan dengan Anya, dia memang sudah mengagumi sosoknya. Menurut Liana, calon kakak iparnya adalah gadis idaman semua laki-laki.
"Iya, mereka semua setuju. Jadi, buat tanggal sama harinya nanti aku pastiin dulu sama mama. Kalau udah siap, aku bakal ke sini lagi buat ngelamar kamu," ucap Rizki. Hati Anya jadi berbunga-bunga, malam ini dia pasti akan mimpi indah, tidak seperti malam-malam biasanya.
"Wah, sebentar lagi aku bakal punya kakak ipar dong," celetuk Liana, tangannya segera menempel di pundak Anya, dan dia memeluk perempuan yang sekarang berada di sampingnya.
"Reaksinya biasa aja, Neng!"
"Emang kenapa? Enggak boleh aku meluk kakak ipar sendiri? Atau kamu cemburu ya, Mas? Kamu cemburu karena enggak bisa sedekat ini sama mbak Anya?" tanya Liana menggoda kakak lelakinya.
"Baru calon, Liana. Bukan kakak ipar," sanggah Anya.
"Siapa juga yang cemburu," balas Rizki dengan bibir mengerucut.
"Ye, sama aja, Mbak. Nanti kalau Mbak Anya udah resmi jadi kakak ipar aku, sering-sering masak ya buat aku," pinta Liana sembari memamerkan senyum manisnya.
"Emang kamu siapa? Suaminya kan aku," timpal Rizki.
"Palingan kamu jarang pulang, Mas. Pasti nanti bakal kembali sibuk di pesantren," ucap Liana. Mendengar hal tersebut, membuat Anya terdiam sesaat, pandangannya berpaling ke arah pagar rumahnya.
"Anya, kamu kenapa?"
"Kamu akan terus di sana, Mas?"
"Mau gimana lagi, aku disuruh jadi guru ngaji di sana, tapi kamu jangan takut. Nanti kalau kita udah nikah, aku juga bakal bawa kamu tinggal di sana, kamu pasti suka suasana pesantren."
Mereka terus mengobrol hingga tak terasa larut malam tiba.
Bu Aila dan suaminya ternyata diam-diam mendengar obrolan anaknya itu. Mereka tampak senang saat mendengar kalau Rizki akan segera melamar Anya.
"Kabar bagus, Yah. Akhirnya Anya dilamar juga, aku hampir kewalahan dibuatnya karena tiap ada yang datang melamar pasti ditolak, hanya karena nungguin anaknya haji Burhan datang melamar dia," keluh bu Aila pada suaminya.
"Lebih cepat lebih baik, biar anak itu segera keluar dari rumah ini. Pusing aku dengerin perdebatan dia dan Sasha tiap hari," ungkap pak Faisal mengakhiri obrolannya.