NovelToon NovelToon
Ark Of Destiny

Ark Of Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Mengubah Takdir / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Antromorphis

"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."


Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.


"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"

More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Persiapan

“Mau pulang sekarang?” tanya Pak Kyai dengan nada lembut, matanya menatap penuh perhatian.

“Iya, Pak Kyai,” jawab Hamzah, sedikit ragu.

“Yasudah kalau begitu, hati-hati ya nak.” Suara Pak Kyai yang hangat itu membuat Hamzah merasa tenang meskipun ada sedikit kegugupan di dalam hatinya. Ia dan adiknya, Aan, berdiri dari tempat duduk mereka, mencium tangan Pak Kyai sebagai tanda hormat sebelum berpamitan. Saat mereka melangkah menuju pintu depan, suasana di dalam rumah Pak Kyai terasa hangat dan akrab.

Namun, langkah Hamzah terhenti ketika Ibu Khadijah memanggilnya dari belakang. “Sebentar Nak!” Suaranya lembut namun tegas.

Hamzah menoleh, “Iya, ada apa Bu Nyai?”

Ibu Khadijah mengangguk dan bergegas ke belakang.

“Tunggu sebentar ya, le,” ucap Pak Kyai sambil tersenyum.

“Baik, Pak Kyai.”

Tak lama kemudian, Ibu Khadijah kembali dengan sebuah kotak kardus di tangannya.

“Titip ini buat ibu di rumah ya,” katanya sambil menyerahkan kotak itu kepada Aan.

“Dan ini sedikit untuk nak Hamzah,” lanjutnya, menyerahkan amplop berwarna putih kepada Hamzah.

Refleks, Hamzah menolak dengan sopan, “Sudah tidak usah Bu Nyai. Ini sudah cukup banyak, Hamzah tidak ingin merepotkan lagi.”

“Sudah diterima saja nak Hamzah. Ini cuma sedikit dari bapak ibu,” Ibu Khadijah bersikeras dengan senyuman hangat yang tak bisa ditolak.

“Iya nak Hamzah, sudah itu diambil pemberian dari ibu,” tambah Pak Kyai dengan nada yang sama memaksanya untuk menerima amplop tersebut. Hamzah terjebak dalam dilema; jika ia menerima amplop itu, rasa sungkan menyelimuti hatinya—ia merasa tidak layak menerima bantuan dari mereka yang sudah banyak berbuat baik kepadanya. Namun jika ia menolak, ia tahu akan mengecewakan hati baik mereka.

“Tidak baik menolak rezeki nak Hamzah, ini adalah pemberian dari Allah untuk nak Hamzah,” kata Pak Kyai dengan bijaksana.

Akhirnya, dengan rasa terpaksa dan penuh rasa syukur, Hamzah pun menerima amplop itu. “Baik Pak Kyai. Terima kasih banyak Pak Kyai, Bu Nyai,” ucapnya sambil menerima amplop yang kini terasa berat di tangannya. “Kalau begitu, Hamzah izin untuk pamit Pak Kyai, Bu Nyai,” ucapnya dengan tulus.

“Iya nak, hati-hati di jalan ya. Sekalian titip salam untuk bapak dan ibu di rumah ya nak.”

Hamzah mengangguk penuh rasa hormat. Dengan langkah mantap dan hati yang penuh rasa syukur, Hamzah melangkah keluar sambil mengucapkan salam perpisahan. “Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Pak Kyai dan Bu Nyai secara bersamaan, suara mereka mengalun lembut mengikuti langkah Hamzah dan Aan yang semakin menjauh dari rumah Pak Kyai yang penuh kehangatan itu.

Di luar pintu, angin pagi berhembus lembut seolah menyampaikan pesan harapan baru bagi mereka berdua. Keduanya berjalan berdampingan menuju rumah dengan segudang harapan dan asa yang baru.

Sejurus kemudian, Hamzah dan Aan sudah berdiri di depan rumah Pak Kyai Rozi, suasana pagi yang tenang menyelimuti desa mereka. Dengan langkah ringan, mereka berjalan pulang, hati mereka dipenuhi rasa syukur. Tak butuh waktu lama, mereka telah sampai di depan rumah sederhana mereka.

“Assalamu’alaikum,” ucap Hamzah dan Aan bersamaan, suara mereka menggema lembut di udara.

“Wa'alaikumussalam,” jawab Ibu Siti dari dalam rumah, suaranya hangat dan penuh kasih.

Mereka melangkah melewati pintu depan, menuju ruang tamu tempat Ibu Siti duduk, menunggu kedatangan anak-anaknya dengan senyum yang selalu menenangkan. Ibu Siti terkejut melihat Aan membawa sebuah kardus besar.

“Itu apa, Nak?” tanyanya dengan nada penasaran.

“Ini, Bu. Tadi kami habis dari rumah Pak Kyai Rozi. Waktu berpamitan, Bu Nyai Khadijah memberikan ini untuk kita dan juga beliau berdua titip salam untuk Bapak dan Ibu,” sahut Hamzah, matanya berbinar-binar saat menjelaskan.

“Alhamdulillah ya Allah,” jawab Ibu Siti, matanya mulai berlinang haru mendengar kebaikan yang diterima keluarganya. Dengan lembut, Aan meletakkan kardus itu di depan Ibunya. Saat Ibu Siti membuka kardus tersebut, aroma manis dan gurih langsung menyergapnya. Di dalamnya terdapat paket sembako: gula, teh, minyak goreng, telur, dan beberapa camilan yang menggoda selera. “Alhamdulillah ya Allah! Terima kasih ya Allah,” ucapnya penuh syukur, wajahnya berseri-seri. Namun di balik senyuman itu, Hamzah menyimpan rahasia kecil; ia tidak memberitahu ibunya tentang amolop berisi uang tunai yang ia terima dari Ibu Khadijah. Ia ingin menjaga kebahagiaan ini tetap sederhana. Tiba-tiba, suara Bapak Romli memecah keheningan saat ia keluar dari kamar.

“Apa itu nak?” tanyanya dengan penasaran.

“Ini Pak, satu kardus sembako dari Bu Nyai Khadijah dan juga Bapak dapat salam dari beliau berdua,” jawab Ibu Siti mewakili anak-anaknya.

“Alhamdulillah ya Allah,” ucap Pak Romli dengan nada syukur yang dalam. “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” sambungnya menjawab salam.

“Yasudah pak, bu. Hamzah mau pergi mandi dulu,” ucap Hamzah sebelum melangkah menuju kamar mandi melalui pintu belakang.

Di belakang rumahnya terdapat bilik kecil sebagai kamar mandi dan sumur tua yang selalu menyediakan air segar. Di sebelah kiri terlihat kandang ayam yang mungil berukuran 1x2 meter, sementara jemuran terletak sedikit jauh dari sana. Hamzah melangkah menuju jemuran untuk mengambil handuk sebelum menuju kamar mandi. Saat ia membuka pintu bilik mandi, aroma segar tanah basah menyambutnya. Dalam sekejap, pikiran Hamzah melayang pada kebaikan yang baru saja diterima keluarganya—sebuah berkah yang tak ternilai dalam kesederhanaan hidup mereka. Dalam momen-momen kecil seperti ini, ia merasa bahwa hidup adalah tentang memberi dan menerima kasih sayang dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun. Dengan hati yang penuh rasa syukur dan harapan untuk masa depan yang lebih baik, Hamzah menutup pintu kamar mandi dan membiarkan air mengalir, seolah membersihkan segala beban pikiran yang mengganggu. Hari ini adalah hari penuh berkah—dan ia bertekad untuk selalu menghargainya.

Beberapa saat kemudian, Hamzah keluar dari kamar mandi dengan wajah yang tampak segar, seolah-olah air dingin yang membasuhnya telah menghapus semua beban pikirannya. Ia melangkah menuju sumur tua di halaman belakang rumah, di mana air jernihnya selalu menjadi sumber kehidupan bagi keluarganya. Di dekat sumur, sebuah gentong tanah liat berdiri kokoh, tubuhnya yang bulat dihiasi goresan halus dari tangan yang telah mengolahnya. Di bagian bawah gentong, terdapat lubang kecil yang disumbat oleh kayu, menunggu momen untuk dibuka. Dengan keinginan yang menggelora, Hamzah mendekati gentong tersebut. Ia menarik ranting kayu yang menyumbat lubang itu, dan seketika air segar mengalir deras keluar, memercikkan butiran-butiran kecil yang berkilau terkena sinar matahari. Hamzah menaikkan sarungnya, bersiap untuk berwudu. Setiap tetes air yang mengenai kulitnya membawa ketenangan dan kesegaran baru. Setelah selesai berwudhu, Hamzah melangkah masuk ke dalam rumah.

"Lhoh, kok belum pada ganti baju?" tanyanya dengan nada penasaran sebelum ia masuk ke kamarnya.

"Iya tenang saja, ini Bapak sama Ibu tinggal ganti baju," jawab Pak Romli dengan senyum hangat di wajahnya. Hamzah merasa lega mendengar hal itu.

“Emang Bapak sama Ibu sudah mandi?” tanya Aan, dengan tawa ceria dan mengejek.

“Ya tentunya sudah, kamu aja yang belum. Sudah kamu mandi dulu sana le,” sahut Ibu sambil tersenyum lembut.

“Hehehe, iya Bu,” jawab Aan dengan tawa yang menggema sebelum berlari menuju kamar mandi.

Setelah memastikan semua anggota keluarganya dalam keadaan baik, Hamzah masuk ke dalam kamar. Ia mengganti pakaian dengan cepat, merasakan hangatnya kain baru yang menyentuh kulitnya. Setelah itu, ia mengambil sajadah yang terlipat rapi di atas kasur dan menggelarnya dengan penuh khidmat. Sholat sunnah duha menjadi ritual pagi yang tidak pernah ia lewatkan; saat-saat hening itu memberinya kekuatan untuk menghadapi hari-harinya. Selesai sholat, Hamzah duduk di tepi kasur dan memandangi sekeliling kamarnya. Dinding dipenuhi foto-foto kenangan bersama keluarga dan teman-teman. “Sebentar lagi aku akan pergi,” gumamnya pelan, “Semoga selama aku jauh di sana nanti, Bapak, Ibu, dan Aan baik-baik saja.”  Dengan tekad yang bulat dan rasa rindu yang menggelora di dadanya, Hamzah berdiri mengambil koper serta tas kecilnya yang berada di samping meja belajar. Koper itu adalah simbol perjalanan baru dalam hidupnya—sebuah langkah menuju masa depan yang penuh harapan.

Saat ia melangkah menuju ruang depan untuk menunggu keluarganya siap, suasana hangat menyelimuti rumah sederhana mereka. Di ruang depan terlihat Bapak sudah siap dengan baju batik dan celana hitamnya yang rapi; sosoknya selalu memberikan ketenangan bagi Hamzah. Namun pintu kamar Ibu masih tertutup rapat, menandakan bahwa Ibu masih sibuk berdandan seperti biasa sebelum bepergian. Hamzah tersenyum melihat semua persiapan ini; setiap detail kecil menambah rasa syukur dalam hatinya. Namun saat pandangannya beralih ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup—di mana Aan masih belum juga selesai mandi—ia tak bisa menahan tawa kecil. Momen-momen seperti ini adalah kenangan berharga yang akan selalu ia ingat. Dengan sabar menunggu keluarganya siap, Hamzah merasakan getaran semangat dan kecemasan bercampur aduk dalam dirinya. Hari ini bukan hanya sekadar perjalanan; ini adalah awal dari petualangan baru—sebuah langkah menuju dunia luar yang penuh misteri dan tantangan.

Hamzah duduk di samping bapaknya, menunggu kedatangan ibu dan Aan. Suasana di halaman rumah terasa hangat, dengan sinar mentari pagi yang lembut menyentuh kulitnya. Dia mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya. Dengan hati-hati, Hamzah menyalakan rokok itu, menghirup asapnya dalam-dalam sebelum mengeluarkannya perlahan.

“Pak,” ucap Hamzah, memecah keheningan yang nyaman.

“Apa le?” jawab bapaknya dengan nada tenang, matanya tetap tertuju pada jalanan di depan rumah.

“Mmm, ini pak. Hamzah mau tanya. Nanti kita berempat berangkatnya naik apa ya pak? Di rumah cuma ada satu motor dan satu sepeda ontel. Sedangkan kita berempat.” Bapaknya tersenyum, seolah sudah menyiapkan jawaban.

“Masa iya bapak sama ibu boncengan naik sepeda ontel?” Hamzah melanjutkan, setengah bercanda.

“Tenang saja, sebentar lagi juga sampai,” jawab bapaknya, suaranya menenangkan.

“Maksudnya pak?” Hamzah bertanya bingung, tetapi bapaknya hanya tersenyum sambil mengusap rambutnya yang berantakan. Tiba-tiba, dari belakang rumah, Aan berlari dengan semangat, baru saja selesai mandi.

“Kamu mandi apa ternak lele? Lama banget,” ejek Hamzah dengan nada menggoda.

“Ternak lele mas,” jawab Aan sambil tertawa ceria, wajahnya bersinar seperti matahari sore yang menyinari halaman rumah mereka. Setelah itu, Aan segera masuk ke kamar untuk bersiap-siap. Beberapa saat kemudian, suara pintu kamar ibu terbuka.

"Ibumu ini kalau mau pergi dandanya juga lama,” ucap bapak Hamzah sambil tertawa.

“Yho biar cantik kok mas,” jawab ibu dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya.

“Wis ibu sama anak sama saja,” timpal bapak, dan tawa mereka mengisi udara pagi itu.

Di tengah tawa mereka, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil dari depan rumah, “pim pim.”

“Alhamdulillah sudah datang,” sahut bapak dengan lega.

“Siapa pak?” tanya Hamzah singkat.

“Itu Pak Min. Jadi kemarin waktu bapak pulang dari sawah, di jalan bapak ketemu sama beliau. Terus beliau bertanya sama bapak, kapan kamu mau berangkat. Bapak jawab berangkat besok, tapi ke stasiun dulu. Terus Pak Min bilang kalau beliau ingin mengantarkanmu naik mobilnya dan sekalian biar sekeluarga bisa ikut,” sambung bapak menjelaskan dengan penuh rasa syukur.

“Jadi nanti kita berangkat naik mobilnya Pak Min ya pak?” tanya Hamzah penuh harap.

“Iya.” jawab Pak Romli mantab.

“Alhamdulillah kalau begitu". Hamzah mengangguk dan tersenyum. Dalam suasana hangat dan penuh tawa itu, Hamzah merasakan betapa berharganya momen-momen sederhana bersama keluarga. Dia tahu bahwa perjalanan mereka ke stasiun bukan hanya sekadar perjalanan fisik; itu adalah perjalanan menuju kebersamaan yang lebih dalam lagi.

1
eterfall studio
keburu telatt
eterfall studio
menarik
Perla_Rose384
Aku tahu pasti thor punya banyak ide kreatif lagi!
Antromorphis: Hehehe, stay tune yha kk, masih banyak misteri di depan sana yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
yongobongo11:11
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
Antromorphis: Hehehe, terimakasih banyak kk, nantikan Bab selanjutnya yha, masih banyak misteri yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
Heulwen
Ngerti banget, bro!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!