Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Teka-teki Cancan
"Ini mbak. Dengan senang hati, Icha-nya kita serahkan ke mbak."
Cancan mendorong tubuhku kuat-kuat hingga hampir terjungkal ke depan. Untung saja mbak Bian dengan sigap menangkapku yang otomatis membuat aku kini berada di pelukannya.
"Eciee, uhuk uhuk. Ani, datanglah ke pelukanku Ani! Aku akan menangkapmu!"
"Tidak Rhoma, Tidakkk!!"
"Tumpa se ae, teret. Yumus kuraye, teret. Tum nena jane ja, kuch kuch hota hai.."
Siska dan Cancan menari kegirangan dengan ekspresi lebay yang menurutku sangat receh sekaligus membuat jiwa bar-barku ingin segera membogem mereka sekarang juga. Dasar memang dua manusia ini, lagi parodiin bang haji Rhoma Irama atau film india sih? Nggak konsisten banget!
Dengan kesal aku segera menarik mbak Bian yang mulai tertawa melihat kelakuan Cancan dan Siska. Tak kupedulikan lagi rasa canggung yang membuatku malas untuk pulang apalagi pergi bersama mbak Bian. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah bagaimana caranya agar aku secepat mungkin mencegah Cancan dan Siska bertindak lebih gila daripada ini.
"Teman-teman lo lucu juga ya."
Komentar mbak Bian disela-sela tawanya.
Aku hanya menganggukkan kepala sambil bergegas memasang sabuk pengamanku sebaik mungkin, agar kejadian tadi pagi tak terulang lagi.
"Iya mbak, mereka memang berbakat jadi pelawak. Tapi keseringan sih jadi pelawak dedemit. Cuma para demit yang nyambung sama candaan mereka."
Jawabku asal sambil melemparkan pandanganku ke arah jendela. Dalam hati aku mulai menghitungi jumlah mobil berwarna silver yang berpapasan dengan kami untuk menghilangkan pikiran aneh di kepalaku.
"Lha? Gue demit dong kalo gitu?"
Tanya mbak Bian dengan nada protes.
Aku hanya mengangkat bahu sekilas
"Ya tergantung pemahaman mbak aja sih."
Jawabku cuek.
Mbak Bian lagi-lagi terkekeh. Tangannya mulai terangkat, mengacak-acak rambutku gemas.
Lagi-lagi aku hanya bisa terplongo saat tangan mbak Bian yang berada di rambutku mulai berpindah ke pipiku. Mencubit pipi gembulku yang memang sering mbak Bian lakukan saat dia merasa gemas. Jadi teringat, dulu aku pernah meminta resep dari mbak Bian untuk menjadi langsing dan memiliki wajah tirus dan runcing. Tapi mbak Bian langsung melarang keras. Katanya pipi gembulku menggemaskan dan tubuhku sudah sangat ideal, malah enak untuk dipeluk.
Tentu saja aku tak serta merta percaya ucapan mbak Bian. Orang cantik dan langsing mah gitu, nggak pernah ngerasai penderitaan orang berpipi tembem sepertiku. Aku lalu memutuskan untuk melakukan senam aerobik yang banyak bertebaran di youtube. Maklumlah, aku hanya seorang anak kos dan termasuk ke dalam jajaran sobat misqueen. Jadi ke gym bukanlah opsi utamaku.
Tapi, usaha dietku langsung gagal karena ulah mbak Bian. Setiap malam dia akan mengetuk pintu kamarku, menyodorkan berbagai makanan yang teramat sangat menggoda iman. Membuat resolusi diet mulai hari ini milikku berubah menjadi diet mulai besok. Alhasil beginilah aku, tetap tembem dan bulat.
"Kita mau kemana nih?"
Tanya mbak Bian, kembali fokus menatap jalan.
"Ke cafe aja mbak"
Usulku, setelah berpikir keras bagaimana cara agar aku tidak berduaan saja dengan mbak Bian.
Setidaknya kalau di cafe, aku bisa menghindari mbak Bian dan fokus bekerja. Rela deh akutuh harus menghadapi gombal-gembel receh mas Raka.
"Loh? Bukannya kita mau jalan-jalan ya?"
Mbak Bian mengerutkan alisnya, heran.
"Besok-besok aja mbak. Mending ke cafe dulu. Lagian aku nggak mau makan gaji buta mulu mbak. Datang kagak dapat gaji iya."
Jelasku panjang lebar, sok diplomatis. Padahal biasanya aku orang yang paling bahagia menerima gaji sekalipun nggak kerja. Ucapanku langsung ditanggapi dengan anggukan kepala dari mbak Bian.
"Oke deh"
Suasana kembali hening karena mbak Bian fokus mengamati jalanan. Tiba-tiba aku memajukan posisi dudukku, mengamati dengan teliti apa yang baru saja aku lihat di tepi jalan yang baru saja kami lewati. Bahkan kepalaku sampai memutar ke belakang saking penasarannya.
Bukankah itu Cancan?
Aku yakin karena Cancan adalah satu-satunya orang yang suka memakai kemeja bermotif bunga-bunga setiap hari. Dan kemeja yang dia gunakan hari ini bermotif bunga bangkai, motif yang sangat langka sejagat raya dan baru pertama kulihat, entah dari mana dia mendapatkan kemeja seperti itu. Tapi bukan kemunculan Cancan yang membuatku kaget, melainkan seseorang yang sedang berdiri bersamanya. Kepala plontos dan wajah sangar yang sangat membekas di ingatanku, yaitu Johan! Kenapa Cancan bersama Johan?
"Liat apa Cha?"
Mbak Bian mengerutkan alis, membuatku sontak kaget dan kembali memandang ke depan.
"Ngg, itu, tadi aku pikir aku ngelihat salah satu teman kuliahku. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, kayaknya bukan deh."
Jawabku gugup.
Aku memang yakin yang barusan kulihat adalah Cancan dan Johan. Tapi, entah kenapa aku nggak berani mengatakan ke mbak Bian apa yang baru saja kulihat. Bukankah selama di kampus tadi Cancan semangat 45 memaki-maki Johan?. Bahkan dari ekspresinya aku yakin Cancan tak tahu siapa Johan yang kumaksud. Tapi, kenapa mereka mengobrol akrab begitu? Apa jangan-jangan Cancan mengenal Johan? Ya, bisa saja Cancan ternyata mengenal Johan, tapi Cancan tak tahu bahwa botak penganiaya yang kami sumpahi keluar paku dari kepala botaknya adalah Johan yang sama dengan yang Cancan kenal.
Aku menarik rambut frustasi, pusing memikirkan pertanyaan yang berseliweran di kepalaku.
Saking frustasinya, aku tak menyadari bahwa kami sudah memasuki parkiran cafe. Tangan mbak Bian lagi-lagi terulur, menggenggam pergelangan tanganku dan mencegah agar aku tak menarik rambut lagi.
"Hei, berhenti Cha! Sakit dong kepala lo!"
Serunya khawatir, lalu mengelus kepalaku sambil memperbaiki rambutku yang berantakan.
Ini lagi, nambah-nambahi dilema orang aja! Gerutuku dalam hati. Dengan kesal aku menepis tangan mbak Bian dan turun dari mobil, tak lupa membanting pintu kuat-kuat. Meninggalkan mbak Bian yang menatapku dengan penuh keheranan.
***
Aku menopang dagu sambil memerhatikan pintu masuk cafe, memantau apakah ada pengunjung yang datang. Setelah beberapa saat sempat berjibaku menghadapi tingkah aneh mbak Bian yang bisa menimbulkan fitnah dan tingkah abstrak mas Raka yang bisa menimbulkan emosi, aku akhirnya bisa menikmati waktu tenang tanpa mereka. Kebetulan Mbak Bian dan mas Raka sedang pergi keluar sebentar, katanya sih ada sesuatu hal yang terjadi dengan mas Jems. Wajah mereka sempat terlihat panik saat buru-buru keluar dari kafe sembari mewanti-wantiku untuk berhati-hati.
"Jangan bicara sembarangan dengan orang asing!"
Peringatan mbak Bian langsung membuatku memanyunkan bibir. Dikata aku anak SD apa sampai harus hati-hati dengan orang asing karena takut diculik?.
"Selamat datang, untuk berapa orang?"
Aku langsung mengucapkan kalimat standar yang selalu keluar dari mulutku setiap kali tamu datang begitu mendengar suara pintu cafe.
"Dua."
Seorang wanita cantik tersenyum ke arahku, membentuk gestur dua dengan jari lentiknya.
"Baik mbak, silahkan ikuti saya."
Ucapku ramah sambil menuntun si mbak cantik menuju mejanya.
Entah perasaanku saja, wajah si mbak cantik terasa sangat familiar di mataku. Seakan-akan aku sudah sering bertemu dengannya. Hanya saja biasanya yang kutemui adalah versi lebih sederhana daripada mbak cantik supermodis ini.
Lala yang melihatku menuntun tamu segera berjalan cepat menghampiri kami, membawa menu dan kertas untuk mencatat pesanan si mbak cantik. Saat Lala siap mencatat, si mbak cantik tiba-tiba mengangkat tangan kanannya, menyodorkan selembar uang bergambar bapak proklamator yang selalu aku rindukan di awal bulan.
"Ini buat kamu."
Dia menyodorkan uang itu ke arah Lala yang sontak berusaha menahan senyum girang.
"Tapi syaratnya, biar dia aja yang ngelayani saya."
Lanjut wanita itu sambil menatap ke arahku dengan senyum manis yang entah kenapa membuatku merinding. Lala awalnya terlihat ragu dengan permintaan wanita itu. Tapi begitu dia menyodorkan lagi beberapa lembar uang, tanpa banyak babibu, Lala langsung mendorongku ke arah wanita itu.
"Jadi, nama kamu siapa?"