NovelToon NovelToon
TARGET OPERASI

TARGET OPERASI

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Bullying di Tempat Kerja / Mata-mata/Agen / TKP / Persaingan Mafia
Popularitas:550
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?

Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3: Siap tidak siap, harus siap

Pagi itu, rumah dinas perhutani lebih sibuk dari biasanya. Bahkan ayam jago tetangga yang biasanya menjadi alarm andalan tampak kebingungan karena manusia-manusia di rumah Arga sudah bangun jauh lebih awal dari kokokannya.

Di dapur, Bu Ratmi sibuk dengan kompor, memasak nasi goreng yang wanginya sudah menyebar sampai ke jalanan depan rumah. Dengan semangat membara, ia juga menyiapkan telur dadar, irisan tomat, dan kerupuk warna-warni yang entah kenapa selalu menjadi pelengkap wajib. Sementara itu, Sinta duduk di meja makan sambil menggiling cabai di cobek seperti ingin menyalurkan seluruh energi galaknya ke sambal.

"Bu, santai aja, kenapa sih kayak mau masak buat kondangan?" tanya Sinta, yang meskipun galak, tetap tidak bisa menahan diri untuk ikut membantu.

"Eh, mana bisa santai! Ini hari pertama Arga kerja jadi polisi. Harus ada tenaga dari sarapan yang bergizi. Kalau nggak, nanti dia pingsan di lapangan gimana? Malu-maluin keluarga!" jawab Bu Ratmi sambil membalik telur dadar dengan ketangkasan seorang master chef.

Di kamar, Arga berdiri di depan cermin, memandangi dirinya sendiri dengan seragam lengkap. Seragam cokelatnya bersih tanpa cela, lengkap dengan topi polisi yang diposisikan sempurna di kepalanya. Nama “Arga Dirgantara Putra” terpampang di dada kirinya, membuatnya merasa seperti karakter utama di film aksi.

Namun, perasaan bangga itu sedikit terusik ketika Tono dan Tini tiba-tiba masuk tanpa permisi.

"Om Arga! Om Arga kelihatan kayak di TV! Tapi… kok kayaknya serem ya?" komentar Tono dengan polos, sambil memiringkan kepala seperti sedang menilai karya seni abstrak.

"Iya, Om. Jangan-jangan nanti Om tangkap kita kalau kita nggak makan sayur," tambah Tini, membuat Arga terkekeh.

"Ya ampun, kalian ini! Om nggak bakal tangkap kalian, kecuali kalian jadi ketua geng penjahat," balas Arga, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Ketika Arga akhirnya keluar dari kamar, Bu Ratmi langsung berteriak seperti pelatih militer. "Cepetan duduk! Sarapan dulu! Jangan ada yang berani ninggalin rumah ini tanpa makan nasi goreng buatan Ibu!"

Sinta melirik Arga dengan ekspresi sok serius. "Wah, sekarang udah resmi jadi Ipda, ya. Tapi inget, tanggung jawabmu berat. Jangan pulang ke rumah sambil bawa masalah. Kalau nggak, aku siap nyemprot kamu tiap hari."

Arga tersenyum kecil. "Tenang, Mbak. Nanti kalau ada masalah, yang pertama aku telepon pasti kamu," jawabnya sambil bercanda, yang langsung membuat Sinta mendelik.

Di meja makan, suasana sedikit mereda ketika semua mulai sibuk dengan piring masing-masing. Namun, Bu Ratmi tidak bisa menahan rasa harunya. "Arga, Ibu bangga banget sama kamu. Dulu kamu lari-larian main polisi-polisian, sekarang beneran jadi polisi. Jangan lupa jaga diri, ya."

"Siap, Bu," jawab Arga sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa harunya.

Ketika akhirnya waktunya berangkat, Bu Ratmi dan Sinta berdiri di depan rumah untuk melepas Arga. Tono dan Tini melambaikan tangan dengan antusias. "Om Arga, tangkap maling yang banyak, ya! Jangan lupa jadi polisi superhero!"

Dengan langkah tegap, Arga berjalan menuju motor dinasnya yang sudah siap. Tapi sebelum naik, ia berhenti sejenak, menoleh ke arah keluarganya. "Bu, Mbak, doakan ya. Saya janji bakal bikin kalian bangga."

Bu Ratmi mengusap matanya yang mulai basah. "Pergi sana, nanti telat. Tapi jangan lupa makan siang!"

Dan dengan itu, Arga memutar kunci motornya, meninggalkan rumah dengan hati penuh semangat—dan perut kenyang berkat nasi goreng terbaik yang pernah ada.

...****************...

Sesampainya di Mabes Polri, Arga merasa seperti memasuki dunia lain. Bangunan besar dengan suasana sibuk itu penuh dengan orang berseragam yang berjalan cepat ke sana kemari, membawa dokumen atau sekadar bercakap serius. Di sudut-sudut ruangan terdengar bunyi telepon yang terus-menerus berdering, diselingi suara laporan yang disampaikan dengan nada formal.

Arga menegakkan punggungnya, berusaha terlihat tenang meski hatinya sudah seperti drum band saat karnaval. "Oke, Arga. Ini hari pertama. Jangan bikin malu," pikirnya sambil menatap dirinya sendiri lewat pantulan di kaca pintu. Tapi baru dua langkah, ia terhenti karena dua polisi senior masuk sambil menyeret seorang pria bertato yang berteriak-teriak.

"Saya nggak salah, Pak! Ini cuma salah paham!" teriak pria itu, sementara seorang polisi menukas, "Oh, salah paham? Jadi laptop di ransel ini tiba-tiba teleport ke tas kamu?"

Melihat itu, Arga merasa adrenalinnya naik, meskipun hanya berdiri di tempat. "Wah, gini ya kerja polisi. Serius banget!" pikirnya, sambil tanpa sadar berdiri di tengah jalan, membuat orang-orang harus menghindar dengan tatapan heran.

"Hei, baru ya?" sebuah suara memecah lamunannya. Arga menoleh dan melihat seorang pria berseragam sama dengannya, lengkap dengan senyum ramah. "Perwira baru, kan? Kelihatan banget dari wajah tegangmu."

"Eh, iya, baru. Saya Arga," jawabnya sambil menjabat tangan pria itu.

"Saya Rahmat. Santai aja, Bro. Kalau kebanyakan tegang, nanti nggak fokus. Kalau nggak fokus, bisa tersesat. Kalau tersesat, senior bakal ngamuk. Kalau senior ngamuk, wah—pokoknya kamu nggak mau tahu." Rahmat menyeringai, membuat Arga sedikit tertawa meski tetap gugup.

"Lihat tuh," Rahmat menunjuk ke arah seorang pria tegap yang duduk di meja besar di pojok ruangan. "Itu Kompol Gunawan. Kalau kamu ditempatkan di timnya, siap-siap aja. Orangnya terkenal galak, tapi jago banget. Jangan bikin dia kesal."

Arga menoleh ke arah yang ditunjukkan. Kompol Gunawan sedang membolak-balik dokumen dengan wajah serius. Sorot matanya tajam seperti sedang menginterogasi kertas yang ada di depannya. Di sebelah meja, ada beberapa borgol, peta, dan cangkir kopi hitam yang terlihat seperti sudah menjadi senjata andalannya.

"Jadi, saya harus ke sana sekarang?" tanya Arga dengan nada ragu.

"Ya iya, siapa lagi? Jangan lama-lama, nanti dibilang lelet. Ingat, kesan pertama itu penting!" Rahmat menepuk bahunya, membuat Arga hampir terlonjak.

Dengan napas dalam, Arga melangkah ke arah meja Kompol Gunawan. Setiap langkah terasa seperti ujian. Baru beberapa meter, ia nyaris tersandung kabel charger yang tergeletak di lantai. Untung tidak ada yang memperhatikan, kecuali Rahmat yang tertawa kecil di belakang.

Saat sampai di depan meja, Arga berdiri tegap dan memberi hormat. "Selamat pagi, Kompol Gunawan. Saya Ipda Arga Dirgantara Putra, melapor untuk bertugas."

...****************...

Gunawan menatap Arga dengan pandangan yang lebih tajam dari pisau dapur. Seperti seorang detektif yang baru saja menemukan bahwa saksi kunci berbohong, matanya menyelidik Arga dari ujung rambut hingga sepatu bot, seolah-olah ia bisa melihat langsung ke dalam hatinya. Arga merasakan panasnya tatapan itu, seperti ada laser yang menembus jantungnya.

"Saya diberi polisi baru tanpa pengalaman lagi," Gunawan mengeluh, suara seraknya terdengar seperti suara seseorang yang baru bangun tidur setelah semalam begadang. "Padahal saya sudah minta yang berpengalaman. Tapi ya, kamu pasti tahu kan? Di sini, semua serba cepat, serba beres-beres, nggak ada waktu buat pelatihan panjang."

Arga mencoba untuk tetap tenang, tapi dadanya berdebar seperti drum band yang sedang latihan. "Saya siap belajar, Kompol," jawabnya, meski dalam hati dia sudah mulai meragukan kemampuannya untuk bertahan hidup di tim ini.

Gunawan mengangkat alis sejenak, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Belajar? Di sini? Hah, kamu pikir kita punya waktu buat ngajarin kamu? Kalau kamu nggak ngerti, kamu akan tercecer di tengah jalan. Terus siapa yang rugi? Ya saya, tentu saja."

Arga hanya bisa mengangguk cepat-cepat. "Siap, Pak!"

Tanpa banyak basa-basi, Gunawan langsung berdiri dan berjalan ke papan tulis besar di pojok ruangan, menggambar sesuatu yang tampaknya sangat penting. Tapi, dari sudut mata Arga, itu lebih mirip gambar rumah dan pohon—yang mana tentu saja membuatnya sedikit bingung. "Lihat sini," suara Gunawan yang datar, namun tegas, kembali menarik perhatian Arga.

"Jadi gini, Arga. Kamu mau jadi polisi? Keren. Tapi di sini, kita nggak main-main. Lihat peta ini. Ini area rawan. Kalau kamu mau bertahan, kamu harus ingat tiga hal: kecepatan, ketepatan, dan... kebersihan. Maksudnya, kebersihan itu jangan sampai kamu kena kasus yang bikin kamu kotor. Paham?"

Arga mengernyit, bingung. "Eh, Pak... kebersihan?"

Gunawan menghela napas panjang. "Iya, kebersihan! Kamu nggak mau kan, tiba-tiba ketahuan ada barang bukti yang 'terjatuh' di tas kamu? Itu yang saya maksud dengan kebersihan."

"Ah... Iya, Pak!" Arga menjawab, berusaha untuk tidak terlihat bingung.

Gunawan menyeringai, seakan melihat keraguan yang terlukis jelas di wajah Arga. "Lihat, kamu ini masih baru. Jadi, belajar cepat atau... kamu bisa keluar. Nggak ada yang bakal sayang."

Arga langsung merasakan darahnya berdesir. Gunawan mungkin tidak berbicara dengan nada mengancam, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti petir yang menggelegar.

"Untuk sementara saya akan lihat kemampuan kamu, sebelum memutuskan kamu bisa bertugas di lapangan." Gunawan mengangkat bahu, menandakan bahwa ia tidak terlalu peduli dengan jawaban Arga.

Arga hanya bisa berdiri kaku, tubuhnya terasa kaku, sementara di dalam hatinya, ia mulai merasa sedikit terintimidasi. "Siap, Pak...," jawabnya, meskipun dalam hati dia sudah merencanakan untuk menghafal setiap detail briefing ini agar tidak kelihatan seperti pemula yang tidak tahu apa-apa.

Gunawan menatapnya satu detik lagi, lalu berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya, menyarungkan tangannya ke saku celana dengan santai. "Oke, itu saja. Kalau ada yang masih kamu bingungin, tanya Rahmat. Jangan tanya saya. Saya nggak punya waktu buat kasih penjelasan."

"Siap, Pak," jawab Arga, sambil merasa sedikit lebih rendah dari semalam.

Ketika Arga berbalik untuk pergi, dia sempat melirik ke arah Rahmat yang kini tersenyum lebar, seakan menantikan reaksi Arga yang baru saja diberi "wejangan" oleh Gunawan.

"Sabar ya, Bro. Itulah Gunawan. Dia nggak pernah gampang." Rahmat melambaikan tangan, sambil berbisik, "Tapi jangan khawatir, kamu bakal tahan. Setidaknya sampai kamu mulai ngerti cara kerja di sini."

Arga menghela napas panjang, menenangkan diri. "Ya, mudah-mudahan."

Namun, saat langkahnya semakin jauh, Arga tahu satu hal: hari-hari selanjutnya akan penuh tantangan. Dan mungkin juga sedikit... kekonyolan.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!