NovelToon NovelToon
Aletha Rachela

Aletha Rachela

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Delima putri

Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21.Sekelompok

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dan masuklah guru mereka, Bu Rina, dengan langkah penuh semangat. Seperti biasa, Bu Rina selalu mampu menarik perhatian seluruh kelas dengan keunikannya.

"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Bu Rina dengan senyum lebar. "Hari ini kita akan melakukan tugas kelompok yang sedikit berbeda. Tugas ini akan menguji kerjasama kalian dan kreativitas dalam menyelesaikan masalah. Setiap kelompok akan diberi sebuah topik, dan kalian harus menyusun presentasi yang tidak hanya informatif, tetapi juga menarik."

Semua siswa mulai mendengarkan dengan penuh perhatian. Aletha, yang duduk di samping Rara dan Rere, menatap Bu Rina dengan antusias. Ia menyukai ide tugas kelompok karena bisa bekerja dengan teman-temannya yang sudah akrab. Namun, ada satu hal yang membuat Aletha sedikit khawatir: Dafit. Setiap kali ia bekerja bersama Dafit, hatinya selalu berdebar lebih cepat. Meskipun mereka sudah lama teman, perasaan itu sulit ia sembunyikan.

"Baiklah," lanjut Bu Rina, "sekarang saya akan membagi kalian ke dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok terdiri dari empat orang. Saya ingin kalian saling berdiskusi, bekerja sama, dan menyelesaikan tugas ini dengan baik. Kelompok pertama, Aletha, Dafit, Rara, dan Rere."

Aletha terkejut mendengar namanya dipanggil bersama dengan Dafit. Meskipun mereka sudah lama berteman, ada sesuatu yang membuat suasana mereka menjadi sedikit canggung. Rara dan Rere, yang duduk di samping Aletha, langsung meliriknya dengan senyuman nakal, seperti sudah mengetahui apa yang sedang terjadi di hati Aletha.

"Selamat ya, Tha, sama Dafit," goda Rara dengan senyuman lebar.

"Seru nih, pasti," tambah Rere sambil menggoda Aletha.

Aletha hanya tersenyum canggung. "Iya, seru banget," jawabnya, berusaha tetap santai meskipun hatinya mulai berdebar.

Setelah Bu Rina membagi kelompok, mereka segera memulai diskusi pertama mereka. Rara dan Rere langsung membuka laptop dan mencari referensi untuk tugas. Aletha dan Dafit, yang duduk di samping mereka, lebih memilih berbicara langsung tentang bagaimana mereka akan membagi pekerjaan. Ada keheningan yang tidak biasa di antara mereka, seolah-olah keduanya enggan memulai percakapan yang lebih dalam.

"Jadi, kita mulai dari mana?" tanya Aletha, berusaha mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang aneh itu.

Dafit menatap layar laptopnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Aletha. "Mungkin kita bisa mulai dengan membagi tugas aja dulu. Lo bisa ambil bagian riset, sementara gue ngerjain bagian presentasinya," usul Dafit dengan suara tenang, seperti biasa.

Aletha mengangguk. "Oke, kalau gitu, gue mulai cari bahan dulu."

Mereka berdua mulai bekerja dengan fokus. Namun, meskipun mereka sibuk dengan tugas, perasaan yang mengambang di antara mereka tetap terasa. Setiap kali mata mereka bertemu, Aletha merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Sesuatu yang lebih dari sekadar teman biasa.

Rara dan Rere, yang sudah sangat akrab dengan keduanya, mulai menyadari perubahan kecil dalam sikap Aletha dan Dafit. Mereka saling berbisik dan tersenyum nakal. "Kalian berdua udah saling suka, kan?" goda Rere, dengan nada yang sangat jelas.

Aletha terkejut dan langsung membelalakkan matanya. "Enggak kok, kita cuma kerja bareng," jawabnya terburu-buru, meskipun hatinya berdebar keras.

Rara menatap mereka berdua dengan senyum tipis. "Iya, iya, kalau cuma kerja bareng. Tapi, lo pasti ngerasa beda kan, Tha? Kalian berdua kayak ada chemistry gitu."

Aletha menundukkan kepala, berusaha menahan rasa malu yang muncul di pipinya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Rasa canggung yang selama ini ia coba sembunyikan mulai muncul begitu saja.

Dafit yang mendengar percakapan itu, hanya tersenyum kecil. "Yaudah deh, kita fokus aja ngerjain tugasnya," jawabnya dengan santai, meskipun di dalam hatinya ia tahu ada yang lebih dalam yang ia rasakan terhadap Aletha.

Setelah beberapa saat bekerja, tugas kelompok mereka mulai selesai. Meskipun mereka sempat saling menggoda dan mengobrol ringan, ada satu hal yang tidak bisa mereka hindari—perasaan yang mulai berkembang antara Aletha dan Dafit. Tanpa mereka sadari, kedekatan yang mereka jalin selama ini mulai membentuk sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.

Tiba-tiba, suara bel berbunyi keras, menandakan akhir dari jam pelajaran. Semua siswa langsung bergegas, mengumpulkan barang-barang mereka. Beberapa dari mereka tampak tergesa-gesa menuju pintu, siap untuk pulang. Aletha menoleh ke jam dinding dan terkejut. "Wah, waktu sudah segini aja ya," gumamnya, tidak sadar sudah banyak waktu yang mereka habiskan untuk mendiskusikan tugas.

Dafit yang sedang duduk di sebelahnya, terlihat mengangguk. "Iya, kayaknya kita harus lanjutkan besok," ujarnya dengan suara yang terdengar lebih tenang. "Tugasnya masih banyak, kan? Kita perlu bicarakan lebih lanjut."

Aletha mengangguk setuju, meskipun ia merasa tugas itu tetap mengganggunya. "Iya, kita bisa lanjutkan besok," jawabnya, mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai berkembang di hatinya.

"Kalau begitu, gimana kalo kita lanjut besok di kafe setelah sekolah, ya," ujar Rara, sambil menatap Aletha dengan senyum yang tahu betul apa yang sedang terjadi. "Biar bisa lebih santai, dan kita bisa ngobrol lebih banyak."

Aletha hanya tersenyum canggung, merasa sedikit tertekan dengan situasi itu, namun ia setuju. "Oke, kafe aja," jawabnya.

Rere ikut menambahkan, "Setuju! Kita butuh waktu buat lebih banyak ide."

Mereka semua kemudian mulai berkemas. Namun, sebelum mereka berpisah, Dafit, yang biasanya langsung menuju teman-temannya, tiba-tiba menghadap Aletha. "Ayo Tha, kita pulang." ucap Dafit dengan mengandeng tangan aletha. 

Aletha terkejut dengan tindakan dafit padanya, namun merasa lega. Sejak pertama kali mereka berangkat bersama, mereka memang sepakat untuk pulang bersama. "Ayo angkasa kita pulang," jawab Aletha, dengan semangat dan merasa senang. 

"hmm, Lo gemes banget sih tha, jadi pengen cepet cepet jadiin lo pacar gue." ucap dafit sambil mengacak acak rambut aletha gemas. 

"Ihhh, jangan jangan diberantakin rambut aku angkasa." ucapnya dengan wajah yang cemberut. 

"Maaf yaa, abis nya lo gemes banget, Lain kali jangan gemes gemes gue jadi nggak tahan kan." Dafit  menata kembali rambut aletha, dan dapat dafit lihat wajah menggemaskan itu dengan dekat membuat nya terkekeh gemas. 

"yaudah yuk, pulang." ucap dafit

Mereka berdua berjalan keluar dari kelas bersama, dengan langkah yang sedikit lebih lambat dari biasanya. Dafit memasuki mobilnya namun sebelum itu dia membuka kan pintu mobil untuk aletha terlebih dahulu

 Aletha merasa sedikit canggung dengan perhatian yang diberikan Dafit, tetapi di sisi lain, ia merasa hangat dan tersentuh. Mereka berdua belum pernah seakrab ini sebelumnya, dan meskipun perasaan itu membuatnya ragu, Aletha juga tidak bisa menyangkal bahwa hatinya mulai berdebar lebih cepat setiap kali Dafit berbuat manis seperti itu.

Setelah memasuki mobil, Dafit menyalakan mesin dan memutar musik yang lembut, menciptakan suasana yang lebih santai di antara mereka. Di dalam mobil yang tenang itu, mereka berdua hanya duduk sejenak, menikmati kebersamaan tanpa banyak bicara. Namun, Aletha merasa ada ketegangan yang tak terucapkan, sebuah perasaan yang mengambang di udara.

"Tha, gue..." Dafit mulai berbicara dengan suara pelan, memecah keheningan yang ada. Aletha menoleh dengan sedikit terkejut, menunggu kelanjutannya. "Gue cuma pengen bilang, gue nggak tahu kenapa, tapi setiap kali kita ngobrol atau bahkan cuma ada bareng, gue merasa nyaman banget. Entah kenapa, semuanya kayak nggak ada yang perlu dipikirin. Gue suka..."

Aletha menatap Dafit, hatinya mulai berdebar lebih cepat lagi. Ia tahu apa yang dimaksud Dafit, tapi tidak tahu bagaimana harus meresponnya. "Dafit, gue... gue juga merasa sama, tapi... kita kan teman, ya." Aletha mencoba berkata dengan suara tenang meskipun ada kegugupan di dalam hatinya. Ia tidak ingin merusak persahabatan yang telah mereka bangun, tetapi ia juga tidak bisa menafikan perasaan yang muncul di hatinya.

Dafit tersenyum lembut, seolah mengerti kebingungannya. "Iya, kita teman. Tapi kadang, teman bisa jadi lebih dari itu, kan? Gue nggak tahu gimana jelasinya, tapi gue cuma merasa kita bisa lebih, dan gue nggak mau lo terus terusan nggangep gue temen tha. Gimana kalau kita coba, Tha?" ujar Dafit, dengan tatapan yang penuh harap.

Aletha terdiam sejenak, pikirannya berputar. Ia tahu bahwa mereka sudah sangat dekat dan memiliki ikatan yang kuat. Tetapi, apakah ini waktu yang tepat untuk melangkah lebih jauh? Aletha merasa terombang-ambing antara perasaan yang ingin ia pertahankan dan kemungkinan untuk melangkah ke arah yang lebih dalam.

"Guee nggak tahu, Angkasa," jawab Aletha dengan suara lembut. "gue butuh waktu untuk mikir."

Dafit mengangguk, wajahnya tidak menunjukkan kecewa. "Nggak apa-apa, Tha. Gue nggak mau maksa. Gue cuma pengen Lo tahu kalau gue serius. Jadi, kita bisa jalanin ini pelan-pelan aja, kalau kamu mau."

Aletha merasa lega mendengar kata-kata Dafit. Rasanya, beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia tersenyum tipis, merasa lebih tenang. "Makasih, Angkasa. Aku juga nggak mau buru-buru. Kita lihat aja nanti."

Perjalanan menuju rumah Aletha pun berlangsung dengan tenang, meskipun di dalam mobil, ada rasa berbeda yang mengalir di antara mereka. Setiap kali mata mereka bertemu, ada sesuatu yang tak terucapkan—sebuah perasaan yang semakin jelas. Sesuatu yang lebih dari sekadar teman.

Setibanya di rumah, Dafit membuka pintu mobil dan menatap Aletha. "Gue tunggu jawaban dari lo, ya. Tapi santai aja, lo nggak perlu terburu-buru."

Aletha hanya mengangguk, merasa bingung sekaligus senang. "Thanks angkasa. gue hargain banget itu."

Dafit tersenyum lebar, sebelum memberi isyarat untuk Aletha agar masuk ke dalam rumah. "Sampai besok, Tha. Jangan lupa pikirin yang gue bilang, ya."

Dengan langkah ringan, Aletha berjalan ke dalam rumah, namun hatinya masih berputar dengan kata-kata Dafit yang masih terngiang di telinganya. Meskipun ia belum bisa memutuskan, ada satu hal yang pasti: hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi setelah hari ini.

1
Febrianto Ajun
cerita ini bisa bikin saya menangis! Tapi juga sukses bikin saya tertawa geli beberapa kali.
Hitagi Senjougahara
Boss banget deh thor, jangan lupa terus semangat nulis ya!
Dear_Dream
Senang banget bisa menemukan karya bagus kayak gini, semangat terus thor 🌟
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!