Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantangan Duel
Perburuan membawa atmosfir berbeda ke dalam gilda. Orang-orang penting dalam anggota lah yang selalu sibuk, entah apapun itu yang mereka rundingkan, sementara anggota biasa terutama para gadis membicarakan tokoh-tokoh ternama yang berpeluang mendapatkan harta paling banyak dengan antusias dan pipi merona.
Sementara itu aku menyibukkan diri mempelajari tetek bengek aturan baru yang diberlakukan di gilda Phoenix. Peraturan kini memiliki banyak sekali poin (yang ingin sekali kulanggar untuk membuat Phoenix kesal) nyaris memenuhi dinding aula keanggotaan.
Administrator masih diduduki Jendral Erlang bersama satu pemuda lain yang tidak kukenali namanya. Lalu ada beberapa nama anggota elite yang juga di ukir di dinding. Dulu posisi penting ini tidak ada.
Ada beberapa nama anggota lama yang kukenal, tapi nama yang kucari tidak kutemukan. Aku memutuskan untuk berhenti lalu pergi dari aula saat Jendral Erlang berjalan ke arahku. Lelaki itu tidak tampak punya beban apapun, malah dia kelewat cerah dipagi ini.
"Apa kau lagi mikir gimana caranya mendepakku dari sana?" Jendral Erlang berdiri disampingku, bersedekap sambil mengusap usap dagunya, menghadapi seribu lebih nama yang terukir di dinding. Dia satu dari sedikit nama-nama di dinding yang merupakan orang lama, jauh sebelum gilda Phoenix berkembang sebesar ini, karena itu Phoenix menjadikannya orang kepercayaannya, orang nomor dua di gilda setelah dirinya.
"Kenapa tidak?" balasku sok pongah.
Jendral Erlang tertawa lepas dan santai, seolah tahu aku tidak sungguh-sungguh. "Bagaimana? Apa kau tidur nyenyak?"
"Dari sekian banyak pertanyaan, apakah itu yang sangat membuat kau penasaran?"
"Ah, sebenarnya..." Jendral Erlang menyodorkan sesuatu yang tadinya tersembunyi di balik pakaiannya. "Nah..."
Aku menunduk menatap apa yang dia berikan. Sebilah pedang yang dibuat dengan desain khusus. Pedangku, hadiah dari Phoenix. Aku nyaris melupakannya. Dulu dia teramat kecewa karena aku menolak hadiahnya tapi pada akhirnya kuterima juga. Pedang ini sepasang dengan miliknya. Saat meninggalkan gilda, aku sungguh ceroboh karena lupa membawa serta hadiahku.
"Terimakasih," gumamku. "Tapi kenapa?"
"Kenapa apanya?" Tanpa menunggu jawaban, Jendral Erlang melanjutkan. "Aku tahu kau menolak hadiah dari Phoenix tapi dia kagak tahu kau mencampakkan hadiahnya. Pedang itu bukankah kau tinggalkan di kamarmu, aku bermaksud menyelamatkanmu."
Aku meringis. "Terimakasih sudah menyimpannya."
"Aku tahu kau bakal balik."
Aku menyipitkan mata pada Jendral Erlang, dan dia balas menatapku dengan geli.
"Aku tahu kau bukannya terlalu peduli sama perasaan Phoenix, kau sangat ingin lihat aku pakai pedang ini kan?"
"Kok betul."
"Begini, apa sebaiknya kubilang padanya kalau sang Jendral mengatai ketua gilda yang termasyur kagak punya selera bagus?"
"Menurutku pedang kau sangat estetik."
"Yak, makasih."
"Jadi simpanlah baik-baik. Kau pasti membutuhkan itu, mau bertaruh?"
"Tidak."
"Ah, itu dia orangnya, Ren, kemari!"
Aula keanggotaan merupakan aula terbuka yang menjadi penghubung beberapa bangunan penting di komplek inti. Jadi banyak orang lalu lalang dan secara dramatis orang yang dibutuhkan Jendral Erlang lewat.
Orang yang bernama Ren berhenti kemudian tampak berunding singkat dengan beberapa pemuda yang menyertainnya lalu menyuruh mereka pergi. Ren berjalan hingga bergabung bersama kami, memberi gestur salam untuk Jendral Erlang dan barulah menghadapku.
Pemuda ini bukan tipe kacung atau gampangan. Dia menghormati Jendral Erlang untuk alasan sopan santun usia dan kedudukan.
"Kau sudah ketemu? Nah ini dia legenda gilda Phoenix kita yang terkenal, nah Dewandaru ini Ren, partnerku administrator 2."
Legenda gilda Phoenix? Kupikir julukan itu tidak berlebihan, itu bisa kuterima.
Ren dan aku sama-sama mengangguk. Hanya itu saja.
Kupikir Jendral Erlang merasakan ketegangan diantara kami, lantas dia mengambil sikap seolah-olah guru yang hendak mendamaikan dua murid yang telah jadi rival abadi.
Jendral Erlang menyalip ketengah-tengah dan menepuk pundak kami. "Dua kesatria tangguh milik Phoenix, betapa beruntungnya kita hahaha."
Ketika aku maupun Ren sedang tidak berselera untuk ikut tertawa, Jendral Erlang buru-buru melanjutkan.
"Waduh, garing ya?"
"Ren apa kau pernah dengar kehebatannya, nah menurutmu buat apa dia sekarang ada disini, di aula keanggotaan? Betul, dia mencoba mendepak posisimu, karena dia tahu betul keberadaanmu sudah menggantikan posisinya."
Aku nyaris tersedak mendengar pernyataannya yang suka-suka dia. Abang sialan! Aku mencoba menyela tapi Jendral Erlang dengan sengaja menginjak sepatuku.
"Kudengar dia ingin menantangmu atau apa tadi kau bilang..." Jendral Erlang mencubit perutku demi melancarkan bualannya. "Mengujimu, ah ya, menguji apakah kau memang layak berada di posisimu sekarang?"
"Aku menerima tantangannya." Ujar Ren tanpa memandangku. Pedang Phoenix digenggamanku pasti yang membuat perkataan Jendral Elang terdengar masuk akal.
"Kalau begitu bersiaplah, mari kita ke lapangan."
Ren meninggalkan aula lebih dulu dan aku masih punya urusan mendesak dengan om-om ini. Aku berdehem, merapikan pakaian dan urung meninggalkan tempat.
"Aku tidak mau ah bang."
Jendral Erlang menggaet leherku tanpa belas kasih. "Aduh, aw, aw..."
"Jangan bilang kalau kau kagak berani melawannya."
"Kagak ada bilang begitu."
"Bagus kalau begitu."
"Bang, bang, tunggu," aku menggeliat mencoba membebaskan diri secara elegan. "Begini saja, pernah dengar istilah ini? Jika jalan damai bisa ditempuh kenapa harus memilih pertumpahan darah eh?" aku menaikkan alis.
"Jalan damai apa yang kau maksud, apakah dua pemuda yang saling lempar teka-teki atau kontes berapa banyak gadis yang berhasil masing masing rayu?"
Aku berhasil merebut kembali kewibawaanku begitu kami meninggalkan aula dan berjalan menyusuri lorong terbuka.
"Omong-omong, yang kedua itu kau telah kalah dariku."
"Ya, kau rajanya pembual."
"Lagi pula..." aku mendekat dan berbisik. Hanya aku dan jendral Erlang yang boleh mendengarnya. "Seandainya pun ada yang ingin kudepak itu adalah kau bang. Bukankah aku adalah administrator utama dimasa lalu?"
"Si bajingan ini."
Aku menghindar tepat waktu saat jendral Erlang hendak membekukku. Aku tidak bisa menahan godaan untuk terbahak. Aku berbalik, meninggalkan Jendral Erlang di tempatnya.
"Bocah nakal kembali kau!"
Sebagai jawaban aku mengangkat sebelah tangan.
Aku masih tertawa ketika berpapasan dengan seorang gadis yang mengenaliku.
"Kak Dewandaru?"
"Ah, yak, Ji-La kan?" Pelajaran pertama untuk memenangkan hati wanita, jangan pernah lupakan nama mereka. "Apa kabar?"
"Baik kak, kok ada kakak?"
Aku angkat bahu. "Eh, mau kemana kok kelihatan buru-buru?"
"Ke lapangan, katanya ada yang menantang wakil admin, kita semua penasaran memangnya siapa yang berani menantangnya?"
Aku mengangguk. "Kalau begitu, Ji-La yang manis bertaruh di sisi yang mana?"
"Aku harus lihat dulu siapa lawannya."
"Kusarankan jangan pilih Ren Ren itu."
"Lah memangnya kenapa?"
"Karena dia akan kalah."
Area penonton sudah dipadati orang-orang yang penasaran, sungguh berita ini menyebar sangat cepat seperti wabah. Gumaman dan bisik-bisik berdengung. Beberapa gadis di kerumunan menyerukan nama Ren dan bersorak sorai meski pemuda itu bersikap dingin.
Sudah jelas duel spektakuler ini ide sinting jendral Erlang. Phoenix tampak berdebat dengannya tapi pada akhirnya mau duduk di kursi kehormatan.
"Bolehkah aku lewat sini nona-nona?" Ucapku dengan nada sedikit menggoda.
"Ah, eh... ya silakan."
"Kakak baru disini ya? Kami pertama kali melihatmu, ya kan?"
Gadis-gadis lain yang diajaknya bicara mengangguk gugup dan tidak pula memandangku.
"Aku tiba kemarin siang." jawabku. "Bolehkah aku permisi dulu?"
"Ah tunggu," Gadis ini menahan lenganku, "Tinggalah dengan kami, kita lihat duelnya dari sini. Bukankah kita dapat posisi yang bagus?"
"Aku mau-mau saja tapi sepertinya sebentar lagi seseorang akan mencariku."
"Begitukah?"
"Bocah nakal dimana kau, ayo masuk!" Melalui pengeras, suara jendral Erlang menusuk telingaku seperti tombak petir, sampai-sampai aku meringis. Meskipun dia tidak menyebutkan nama, aku tahu akulah yang dimaksud.
Gadis ini akhirnya mengalihkan perhatian dariku dan berkata pada teman-temannya. "Masih belum muncul kah orang itu?"
"Mungkin dia menciut."
"Kalau Ren begitu hebat bukankah sebaiknya orang itu kabur?" kataku.
"Itu benar-benar pecundang."
Aku menjentik kan jari. "Tepat sekali, sampai jumpa lagi kalau begitu?" Aku menyampirkan satu tangan di dada lalu membungkuk.
"Bocah..." Jendral Erlang bersiap memanggilku lagi saat dia melihatku di sisi lain arena. "Nah para hadirin, nampaknya penantang kita sudah tiba."
Disaksikan hadirin, aku membawa diri memasuki arena. Keadaan di sekitarku berubah senyap sampai nyaris rasanya langkah langkahku bergema. Aku menapaki beberapa anak tangga seirama dengan detak jantungku. Pedang Phoenix terasa berat digenggamanku.
Aku legenda gilda Phoenix, dengan gagasan itu aku mengenyahkan ide pergi ke toilet untuk buang air karena Jendral Erlang pasti akan menyeret bokongku sampai aku bersedia melawan Ren.
Praktisnya Ren lah yang benar-benar menantangku jika keadaannya tidak diplintir om-om merepotkan itu. Rupanya Jendral Erlang memang sudah merencanakan ini dan sekarang berhasil dengan amat gemilang.
"Katakan peraturannya Jendral," Renn berkata, begitu aku berdiri tepat di hadapannya.
Jendral Erlang berseru. "Kagak susah, yang pertama tumbang dialah yang kalah."
masih nyimak