Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Pernikahan Amara dan Ferdi akhirnya dilangsungkan dengan sangat mewah, sesuai dengan semua permintaan Oma yang ingin segala sesuatunya sempurna. Semua keluarga dan sahabat terdekat hadir untuk merayakan kebahagiaan mereka. Amara tidak lupa mengundang Diana, meskipun hubungan mereka sempat terganggu di masa lalu. Diana datang bersama Rafael, suaminya, yang kini tampak lebih bahagia, namun ada sesuatu yang mencuri perhatian: perut Diana yang sudah mulai membuncit, tanda bahwa dia sedang mengandung.
Amara yang melihat itu sempat tertegun. Ada sedikit rasa marah dalam hatinya, mengingat Diana adalah wanita yang dulu pernah merebut rafael darinya. Namun, Amara cepat-cepat menepis perasaan itu. Dia tahu bahwa kini dia sudah bahagia dengan Ferdi, pria yang lebih dari cukup baginya. Diana, meskipun hamil, sudah bukan lagi bagian dari hidup Amara yang sekarang.
Sementara itu, Liana, meskipun tampak tegar di luar, merasakan sedikit kekosongan di hatinya. Namun, dia sudah cukup bahagia dengan keadaan hidupnya. Liana sudah cukup akrab dengan Andrew, dan dia mengundangnya ke pernikahan Amara. Tidak hanya itu, Liana juga mengundang Rian, sahabat dari tempatnya bekerja.
Liana terlihat sangat cantik malam itu dengan gaun yang cukup terbuka, memperlihatkan kulit putihnya yang eksotis. Gaun itu membuatnya terlihat begitu anggun dan mempesona. Andrew dan Rian yang melihatnya tak bisa menahan kekaguman mereka. Andrew yang selama ini lebih tertutup, bahkan sempat tertegun melihat kecantikan Liana yang begitu memukau. Rian pun tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Liana, meskipun dia mencoba untuk tetap profesional. Liana yang menyadari perhatian mereka hanya tersenyum kecil, meskipun di dalam hatinya, dia masih merasa sedikit kosong.
Di tengah keramaian pernikahan, perasaan mereka baik Liana, Andrew, Rian, Amara, maupun Diana semuanya terikat dalam lingkaran kehidupan yang penuh kejutan, konflik, dan perubahan. Masing-masing dari mereka memiliki cerita yang berbeda, tetapi mereka semua tahu, hidup harus terus berjalan.
Rian yang melihat Andrew terpesona oleh kecantikan Liana langsung menghampirinya dengan tatapan tajam. "Heh, jaga mata lu," ucap Rian tegas, membuat Andrew sedikit terkejut.
Andrew yang mendengar itu hanya tersenyum lebar dan dengan santai menjawab, "Kenapa? Dia milik gue," ujar Rian, memperjelas maksudnya.
Andrew mengangkat alisnya dengan ekspresi mengejek, "Liana tidak pernah bilang dia milik orang lain," ujarnya dengan nada yang lebih santai. Dia melanjutkan, "Tapi kalau kamu menyukai Liana, mari kita bersaing secara sehat."
Rian menatap Andrew dengan tatapan tajam namun juga tertarik dengan sikap Andrew yang langsung terbuka. Di sisi lain, Andrew tahu bahwa Liana adalah wanita yang menarik perhatian banyak orang, dan dia sendiri tidak ingin kehilangan kesempatan.
Sementara itu, Liana masih sibuk berbincang dengan tamu-tamu lain dan tidak sadar bahwa dua pria tersebut sedang bersaing untuk mendapatkan perhatiannya. Rian dan Andrew tahu bahwa mereka akan berada di dalam persaingan yang cukup menarik. Namun, Liana sendiri belum menunjukkan minat lebih terhadap siapa pun di antara mereka, meskipun keduanya memiliki rasa tertarik pada Liana.
Sinta berdiri di sudut ruangan, matanya tajam menatap pasangan pengantin yang tengah disibukkan dengan para tamu. Ferdi dan Amara tampak begitu bahagia, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Meskipun ini pernikahan Amara yang kedua, momen itu tetap terasa sangat istimewa, dan semua tampak berjalan sempurna. Bahkan Oma Amara, dengan tulus, memberikan mereka rumah sebagai hadiah pernikahan, seakan tak ada keraguan sedikit pun tentang status Amara.
Namun bagi Sinta, semuanya terasa berbeda. Sejak Ferdi mulai serius dengan Amara, dia merasa semakin terpinggirkan. Dulu, dia selalu menjadi pusat perhatian kakaknya, tetapi sekarang, perhatian Ferdi hanya tertuju pada Amara. Dan yang lebih membuat Sinta marah adalah kenyataan bahwa keluarga Ferdi tidak pernah mempermasalahkan status Amara sebagai janda. Baginya, seorang janda adalah "bekas," seseorang yang seharusnya tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan seperti ini lagi.
"Kenapa harus memilih janda?" pikir Sinta dengan perasaan kecewa yang mendalam. "Dia sudah pernah dimiliki orang lain. Tidak ada yang akan memilihnya jika ada banyak perempuan lain yang lebih baik."
Ketika melihat Amara tersenyum bahagia, Sinta merasa cemas dan iri. Seolah Amara merebut semua perhatian yang dulu menjadi haknya. "Janda itu bekas, kenapa kakakku memilihnya?" gumam Sinta dalam hati, amarahnya semakin membesar.
Di tengah keramaian, Sinta mencoba untuk tetap tersenyum, tetapi hatinya terasa seperti terjepit. Semua kebahagiaan yang tampak di wajah Ferdi dan Amara hanya menambah sakit hati yang tak terucapkan. Dalam diam, Sinta menatap tajam ke arah pelaminan, berharap bisa mengubah kenyataan, meski dia tahu itu mustahil.
Sinta melangkah dengan penuh percaya diri menuju pelaminan, senyum licik menghiasi wajahnya. Di antara keramaian yang mengelilingi pasangan pengantin, Sinta berusaha memperlihatkan dirinya seolah-olah menjadi pusat perhatian. Dengan langkah anggun, ia mendekati Ferdi yang tengah berbincang dengan beberapa tamu.
"Kak, selamat ya," ucap Sinta dengan suara ceria, sambil menyentuh lengan Ferdi seolah-olah tidak ada yang lebih penting selain dirinya. "Gak ada yang isengin dan bela aku deh," lanjutnya dengan nada bercanda, pura-pura marah.
Ferdi tersenyum, menanggapi candaannya dengan santai. "Adik kakak, ya, bercanda terus," jawabnya, merasa tak ada yang perlu dipermasalahkan. Tetapi, dia tidak sadar bahwa Sinta dengan sengaja mengabaikan keberadaan Amara di sana, menampilkan sikap yang lebih akrab dengan Ferdi dibandingkan dengan kakak iparnya itu.
Amara, yang berdiri di samping Ferdi, merasakan kejanggalan dalam interaksi tersebut. Sinta secara terang-terangan memperlihatkan bahwa dia menganggap dirinya lebih penting, bahkan mungkin merasa Ferdi hanya miliknya, bukan milik Amara sepenuhnya. Ferdi, yang selalu memanjakan Sinta karena dia satu-satunya adik perempuan, tidak menyadari betapa Sinta telah sengaja menunjukkan rasa memiliki yang begitu kuat.
Dengan sikapnya yang penuh percaya diri, Sinta merasa bahwa ia tetap menjadi prioritas Ferdi, tanpa menyadari bagaimana hal ini bisa menyakiti Amara. Dia terus memperlihatkan dominasi tanpa memikirkan perasaan orang lain, terutama kakak iparnya yang kini menjadi istri Ferdi. Namun, bagi Sinta, semuanya seolah memang sudah seharusnya begitu, karena dia adalah adik perempuan satu-satunya.
"Nanti aku akan sering berkunjung ke rumah kakak," ucap Sinta, dengan nada manja dan penuh perhatian, sambil menatap Ferdi.
Ferdi, yang sangat sayang kepada adiknya, menanggapi dengan tenang, "Tentu, Sinta. Kakak senang kalau kamu sering datang. Apalagi sekarang kamu punya kakak ipar secantik Amara," katanya bangga, sambil memeluk Amara di depan adiknya itu.
Namun, mendengar pujian itu, Sinta merasa marah dan iri. Senyumnya terpaksa dipaksakan, meskipun di dalam hati dia merasa cemas dan tidak suka. Tanpa menunjukkan rasa senangnya, Sinta mengabaikan Amara, seolah-olah tidak ada orang lain selain dirinya yang berhak mendapatkan perhatian Ferdi.
Amara, yang melihat sikap Sinta, berusaha tetap menunjukkan senyum manis kepada Sinta. Dia berharap bisa memperbaiki hubungan mereka yang tegang, namun Sinta justru menganggap senyuman itu sebagai ejekan. Sinta berpikir, Kenapa dia bisa tersenyum begitu manis di depanku? Apa dia sengaja mengejekku?
Meskipun Sinta berusaha menyembunyikan perasaannya, sikapnya yang penuh kecemburuan mulai terlihat jelas. Keinginan untuk mendapatkan perhatian Ferdi semakin kuat, dan dia merasa terancam dengan kehadiran Amara yang semakin dekat dengan kakaknya.