Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan
Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya sampai di mobil Raka. Suasana malam yang tenang di terasa kontras dengan kepanikan yang melingkupi Raka. Dia segera menempatkan Karin di kursi belakang mobilnya, dengan hati-hati agar tidak mengguncang tubuhnya yang tampak lemah. Angin malam yang sejuk berembus, menambah kesegaran di luar mobil yang gelap.
Raka merasakan suhu tubuh Karin memanas, seperti bara api yang menyala dalam kegelapan. Tanpa membuang waktu, dia segera bergegas ke vilanya, berharap dokter akan segera datang dan mengobati Karin. Di dalam mobil, cahaya dashboard berkilauan, menerangi wajahnya yang penuh kekhawatiran.
---
Vila.
Begitu melihat Raka datang menggendong tubuh lemah Karin, Bibi Xia segera berlari ke arahnya dengan wajah penuh kecemasan. "Syukurlah, Nona Karin sudah ditemukan," ucapnya, suaranya bergetar sedikit. Dia mengikuti Raka dengan langkah cepat, khawatir kalau-kalau Raka butuh pertolongan lebih lanjut.
Raka berusaha tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Bibi, tolong bersihkan tubuh Karin. Aku akan memanggil Dokter Kang untuk datang ke sini," kata Raka setelah membaringkan Karin di tempat tidur. Keringat dingin mengalir di dahinya saat dia melihat wajah pucat gadis itu.
Setelah memberi instruksi kepada Bibi Xia, Raka juga memanggil anak buahnya untuk kembali, memberitahu mereka bahwa Karin telah ditemukan. Dia akan 'mengurus' siapa yang berjaga malam ini sampai Karin bisa melarikan diri.
“Mengapa Nona terluka seperti ini, Tuan?” Bibi Xia bertanya ketika melihat darah di kepala Karin dan goresan di kaki mulusnya. "Dia terlihat sangat menderita," gumamnya, sambil mengusap lembut kotoran di wajah Karin dengan waslap dan air hangat.
“Dia terpeleset dan berguling-guling di tanah,” jawab Raka, suaranya bergetar. Dia tidak ingin membebani Bibi Xia dengan rincian lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Bibi Xia mengerutkan kening, khawatir. "Tubuhnya juga panas sekali," katanya. Dia segera mengambil kain basah dan meletakkannya di kepala Karin.
Saat Raka duduk di sisi tempat tidur, dia merasakan perasaan panik menyelimuti hatinya. "Karin, bangun!" Raka mengguncang lembut tubuh istrinya, berharap dia bisa terbangun dan melihatnya. Dia sangat panik saat ini, merasa tidak berdaya.
Untungnya, Dokter Kang segera datang, langkahnya cepat dan tegas. Dia mengerutkan kening saat melihat Karin yang terbaring lemah. "Siapa dia?" tanya Dokter Kang, nada suaranya penuh rasa ingin tahu saat ia memeriksa kondisi Karin.
"Dia istriku," jawab Raka tegas, meski ada sedikit rasa canggung dalam nada suaranya.
"Bukankah istrimu Aeri? Apa kau selingkuh?" tanya Dokter Kang sambil menatap Raka dengan heran, seolah-olah baru saja mendengar kabar yang tidak bisa dipercaya.
Raka merasa darahnya mendidih. "Aku tidak pernah mencintai Aeri. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai model. Aku sudah berkali-kali menyuruhnya untuk berhenti," katanya, nada suaranya penuh penegasan. Dia tidak ingin ada keraguan tentang perasaannya kepada Karin.
Bagi Raka, menikah dengan Aeri hanyalah sebuah kecelakaan. Saat itu, dia sedang mabuk dan tidak ingat apa yang terjadi. Yang dia ingat hanyalah bangun di samping Aeri di hotel, lalu Aeri hamil, dan dia dipaksa untuk menikahinya. Profesi Aeri sebagai model membuatnya jarang pulang ke rumah, dan terkadang membuat Raka merasa kesepian.
“Usianya tampaknya jauh berbeda dari usiamu?” tanya Dokter Kang sambil mengamati wajah muda Karin yang terlihat lemah.
"Tidak masalah seberapa jauh perbedaan usia kita. Yang terpenting adalah kita saling mencintai!" Raka menjawab, tegas. Namun, dalam hati, dia tahu bahwa perasaannya tidak sepenuhnya yakin.
"Aku tidak yakin apakah gadis ini mencintaimu. Dia bahkan mencoba melarikan diri," goda Dokter Kang sambil tersenyum, berusaha mencairkan suasana tegang.
"Sudah kubilang, datanglah ke sini untuk menyelidikinya, bukan untuk mengganggu hubungan kita!" Raka membalas dengan nada kesal, merasa waktu terus berjalan dan Karin membutuhkan perhatian lebih.
"Dia baik-baik saja. Aku akan meresepkan obat untuknya," kata Dokter Kang, lalu beralih untuk menyiapkan resep.
Raka menghela napas lega, mengetahui Karin akan baik-baik saja, meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan.
---
Dokter Kang merawat Karin selama tiga hari, namun kondisinya belum pulih. Selama itu, Raka tidak pernah meninggalkan Karin. Dia bekerja dari rumah, menyesuaikan jadwalnya agar bisa selalu berada di samping gadis yang dicintainya. Dia bahkan memberi tahu ayah Karin bahwa mereka akan pergi berlibur sehingga mereka tidak bisa menerima kunjungan.
Hari-hari berlalu, dan tubuh kurus Karin kini semakin menyusut. Dia tidak mau makan sama sekali, matanya yang dulunya ceria kini tampak suram. Raka menatap Karin yang terbaring di tempat tidur dengan penuh perhatian, tidak ada yang lebih menyedihkan baginya daripada melihat gadis itu dalam keadaan seperti ini.
"Karin, makanlah!" Raka menyodorkan sendok berisi bubur hangat ke mulut Karin, berharap ada sedikit semangat dalam dirinya.
Namun, Karin menggelengkan kepalanya dengan wajah cemberut. Bibirnya pucat, matanya bengkak hingga tulang pipinya terlihat jelas, dan Raka merasa hatinya remuk melihat keadaannya.
Kalau saja Raka mengizinkannya pulang, mungkin segalanya tidak akan seperti ini. Namun, Raka tidak ingin kehilangan Karin, apapun risikonya.
"Makanlah, kalau kau sudah sembuh aku janji akan melakukan apa yang kau mau," ucap Raka dengan nada serius, berusaha meyakinkan Karin.
"Benarkah?" tanya Karin dengan mata berbinar, harapan seolah muncul kembali di dalam dirinya. Tubuhnya menoleh ke arah Raka, seolah menanti janji yang akan diucapkan.
"Tentu saja, katakan saja apa yang kau inginkan!" ucap Raka, tersenyum lembut untuk membangkitkan semangatnya.
"Aku ingin pulang," kata Karin, dengan suara yang hampir tak terdengar.
Raka terdiam. Hatinya bergetar mendengar permintaan itu. Dia sedih setiap kali Karin ingin pulang, merasa seperti dia tidak memberikan kebahagiaan yang seharusnya.
"Ini juga rumahmu. Kenapa kau tinggal di rumah kontrakan kecil itu?" tanya Raka sambil mengerutkan kening, berusaha menyingkirkan ketegangan yang ada.
"Di sini membosankan! Aku tidak bisa pergi ke mana pun," jawab Karin, wajahnya kembali cemberut.
"Baiklah. Aku akan menemanimu saat kau sudah pulih."
Raka akhirnya menyetujui permintaan gadis itu, dan seketika, wajah Karin bersinar. Dia segera menghabiskan makanannya dengan lahap, seolah-olah satu janji kecil itu membangkitkan semangat juangnya.
Dari kecil, Karin terbiasa hidup bebas tanpa ada yang mengekang. Dia bebas pergi ke mana pun karena ayahnya, selalu memanjakannya.
“Ayah akan segera pulang, kondisinya sudah pulih,” kata Raka sambil menatap Karin yang tengah menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, menyimak dengan penuh perhatian.
"Kapan kamu mengunjungi Ayah?" tanya Karin, matanya berbinar seolah mendengar berita bahagia.
"Kemarin. Ayah akan tinggal bersama kita nanti," jawab Raka, tersenyum bangga. Dia cukup yakin bahwa membawa Ardi ke vila ini adalah satu-satunya cara bagi mereka untuk tetap bersama.
Karin meludahkan makanan yang ada di mulutnya, terkejut mendengar kabar bahwa ayahnya akan tinggal bersama mereka. "Apa? Ayah akan tinggal di sini?" tanyanya, suara penuh keheranan.
Raka mengambil segelas air yang ada di meja samping tempat tidur, lalu menyerahkannya kepada Karin
"Kau tampaknya tidak senang ya?" Raka menatapnya dengan rasa ingin tahu, mencoba memahami keraguan di mata Karin.
Karin ingin sekali merasa bahagia atas kesembuhan ayahnya, tetapi hatinya dipenuhi dengan ketakutan. Kembalinya Ardi ke rumah berarti rencananya akan gagal. Dia berharap Raka akan mengizinkannya untuk pergi, tetapi semua itu terasa semakin jauh dari harapannya.
Dengan tubuh yang lemah, dia merasa upayanya untuk bebas tak ada artinya lagi. Dia terjebak dalam pikirannya sendiri.
"Karin!" Raka memanggil dengan lembut, menggerakkan tangannya di depan wajahnya agar gadis itu kembali fokus.
" Benarkah Ayah sudah bisa pulang?” Tanya Karin, suaranya pelan namun penuh harapan.
"Iya, aku akan menelepon dokter untuk memastikan semuanya baik-baik saja," kata Raka, berusaha memberi jaminan pada Karin.
Namun, Karin masih ragu. "Kalau ayah tinggal bersama kita, apa yang harus aku katakan jika kamu jarang di rumah?" tanyanya sambil menyipitkan mata, ketidakpastian jelas terlihat di wajahnya.
"Tenang saja! Aku akan sering berada di sini untukmu," ucap Raka dengan nada santai, berusaha menenangkan Karin dan membuat situasi ini terdengar lebih baik.
Dia merasa seolah sedang memainkan permainan, dan saat ini, dia merasa sudah memenangkan satu putaran.
“Bagaimana dengan Aeri? Dia akan mencarimu. Aku tidak ingin terjebak dalam masalah,” kata Karin, suaranya semakin tinggi, seolah takut akan konsekuensi dari situasi ini.
Raka merasakan ketegangan di udara. Dia tahu betul apa yang dirasakan Karin, tetapi dia juga tidak ingin terjebak dalam pandangan Aeri yang selalu berusaha mengontrol hidupnya. "Karin, kita akan membahasnya nanti. Yang terpenting adalah kesehatanmu saat ini."