Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Pagi itu, Renaya pergi ke kampus dengan langkah yang sedikit lebih berat dari biasanya. Meskipun semangatnya untuk belajar tidak pernah pudar, ada sesuatu dalam dirinya yang masih gelisah. Pikiran tentang Mario dan semua yang terjadi belakangan ini terus menghantuinya. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada kegiatan sehari-hari.
Saat sampai di kampus, ia bertemu dengan Ivanka, teman dekatnya. Ivanka menyambutnya dengan senyum lebar, terlihat antusias. “Renaya! Gimana kabarmu hari ini?” tanya Ivanka dengan ceria.
Renaya tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahannya. “Baik, Van. Lumayan capek sih, tapi bisa diatasi,” jawabnya sambil berjalan berdampingan dengan Ivanka.
Sambil berjalan ke arah kafe kampus, Ivanka berbicara tentang acara yang akan diadakan besok malam. “Oh iya, Ren, ada acara malam keakraban di kampus besok. Ini buat mahasiswa baru, tapi mereka juga ngajak yang lama buat gabung. Aku udah daftar, kamu ikut nggak?” tanya Ivanka dengan semangat.
Renaya menatap Ivanka dengan tertarik. Sebenarnya, ia ingin sekali ikut. Malam keakraban pasti akan menyenangkan, dan itu bisa menjadi kesempatan baginya untuk sedikit bersenang-senang, melupakan beban yang ada dalam hidupnya sejenak. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu.
Renaya menunduk sejenak, berusaha memilih kata-kata yang tepat. “Aku sih pengen banget ikut, Van. Tapi, aku harus minta izin dulu sama Daddy Mario,” jawabnya akhirnya. “Aku nggak mau dia salah paham lagi. Kamu tahu sendiri, dia nggak suka kalau aku keluar tanpa dia,” lanjut Renaya dengan nada yang sedikit ragu.
Siang itu, Renaya menuju kantor Mario dengan langkah yang agak tergesa, masih memikirkan tentang acara malam keakraban di kampus. Setelah berpikir matang-matang, ia memutuskan untuk memberi tahu Mario, berharap dia akan mengizinkan. Renaya masuk ke ruang kerja Mario dengan sedikit ragu, tapi mencoba untuk tetap tenang.
“Dad,” panggil Renaya sambil duduk di kursi di depan meja Mario. Mario menatapnya dari balik layar komputernya dan memberi senyum kecil. “Ada apa, sayang?”
Renaya menelan salivanya, sedikit gugup. “Aku… aku cuma mau bilang kalau besok malam ada acara malam keakraban di kampus. Teman-teman ngajak aku ikut. Boleh kan kalau aku ikut, Dad?” tanyanya dengan hati-hati, meski dalam hatinya penuh dengan harapan.
Mario mengangkat alis, mendengarkan dengan seksama. Matanya menilai Renaya sejenak sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Boleh, sayang,” jawab Mario sambil melanjutkan pekerjaannya. “Tapi, dengan syarat. Kamu harus selalu bersama Ivanka,” lanjutnya, menatap Renaya dengan ekspresi serius yang tetap terjaga.
Renaya terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Mario. “Beneran, Dad?” tanyanya, tidak percaya. Ia merasa seolah-olah mendengar sebuah kabar gembira yang tak pernah ia duga.
Mario menatapnya dengan lembut dan mengangguk. “Iya, beneran. Tapi kamu harus hati-hati. Jangan lupa untuk selalu bersama Ivanka, ya?” ujar Mario, suaranya tetap terdengar penuh perhatian, meskipun ada sedikit nada peringatan di sana.
Tiba-tiba, Renaya tidak bisa menahan kegembiraannya lagi. “Beneran, Dad! Yeay! Aku bisa pergi!” serunya dengan suara riang. Ia berdiri dari kursinya dan melompat kecil dengan wajah berseri-seri. Kegembiraan yang ia rasakan seolah meledak begitu saja setelah sekian lama menahan rasa khawatir.
Mario hanya tersenyum melihatnya, senang melihat Renaya begitu bahagia. “Tentu, sayang. Tapi ingat, kamu harus tetap hati-hati. Jangan terlalu jauh dari Ivanka, oke?” katanya dengan nada yang lembut, meski tetap ada ketegasan dalam perkataannya.
Renaya mengangguk cepat. “Iya, Dad! Terima kasih! Aku janji gak akan jauh-jauh dari Ivanka!” katanya dengan suara penuh semangat, masih tak percaya bahwa Mario akhirnya memberinya izin untuk ikut acara tersebut.
Mario tersenyum puas, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. “Hati-hati, sayang. Jangan sampai ada yang bikin kamu khawatir, ya,” ujarnya dengan nada lembut, memberikan nasihat yang membuat Renaya merasa sedikit lebih tenang.
Renaya, yang kini penuh dengan semangat, segera keluar dari ruangan Mario dengan langkah ringan. Begitu keluar, ia langsung menghubungi Ivanka, memberitahukan kabar gembira tersebut.
“Van! Aku diizinin! Aku bisa ikut acara malam keakraban!” serunya dengan suara penuh kegirangan.
Ivanka yang mendengar kabar itu langsung tertawa riang. “Wah, akhirnya! Seneng banget deh! Kita bakal seru-seruan bareng besok malam,” jawab Ivanka, terdengar sangat antusias.
**
**
**
Setelah menyelesaikan urusan di kantor Mario, Renaya memutuskan untuk mampir ke kantor Papi-nya. Meskipun tidak sering mengunjungi, ia merasa perlu meluangkan waktu untuk berbicara dengan Arnold. Siang itu, kantor terlihat lebih sepi dari biasanya. Renaya berjalan menuju ruang kerja Papinya dengan langkah ringan, meski pikirannya masih terbebani dengan berbagai hal yang sedang terjadi di sekitarnya.
Saat pintu ruang kerja Arnold terbuka, Renaya langsung melangkah masuk. Melihat Papi yang tengah duduk di kursinya sambil memeriksa beberapa berkas, ia tak bisa menahan diri untuk segera menghampirinya. Tanpa berkata-kata, Renaya langsung memeluk Arnold dari belakang, memeluknya dengan erat seolah mencari kehangatan yang sudah lama ia rindukan.
"Papi!" Renaya memanggil dengan lembut, suara yang penuh kerinduan.
Arnold menoleh, sedikit terkejut dengan pelukan tiba-tiba dari putrinya. Tapi begitu melihat ekspresi Renaya, ia tersenyum dan melepaskan pelukan dengan lembut.
"Tumben kamu kesini? Kangen sama Papi? Kapan pulang ke rumah? Papi kangen kamu, sayang," tanya Arnold sambil menyentuh pipi Renaya dengan penuh kasih sayang.
"Tapi Papi kan tahu, kamu malas pulang kalau ada Tante Bella di rumah,” balas Renaya.
"Renaya, Papi menikahi Tante Bella karena Papi butuh teman hidup, sayang," kata Arnold dengan suara pelan, mencoba menjelaskan. "Sejak Mami kamu meninggal, Papi merasa kesepian. Aku tidak muda lagi, dan aku butuh seseorang untuk menemaniku."
Renaya menatap Papi dengan tatapan yang tidak bisa disembunyikan. Ada kesedihan dan kecemasan yang tampak jelas di matanya. "Aku nggak melarang Papi menikah lagi, Papi. Aku ngerti Papi butuh teman hidup," katanya dengan suara agak bergetar. "Tapi kenapa harus Tante Bella? Dia sering kali bikin aku merasa nggak nyaman di rumah. Papi nggak tahu saja kelakuannya setiap kali Papi lagi perjalanan bisnis."
Mendengar kata-kata Renaya, Arnold terlihat terkejut. Wajahnya menunjukkan rasa cemas yang tidak biasanya. "Apa maksud kamu, Renaya?" tanyanya, suaranya sedikit lebih rendah, penuh kekhawatiran. "Apa yang Tante Bella lakukan?"
“Tante Bella sering jalan dengan laki-laki lain, itu yang aku tahu,” jawab Renaya.
Arnold terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Renaya. Wajahnya menunjukkan perasaan yang campur aduk—terkejut, cemas, dan juga sedih. "Papi nggak tahu itu, Renaya. Papu akan bicarakan ini dengan Tante Bella," jawabnya, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Terima kasih sudah memberitahu papi.”
“Aku hanya nggak mau Papi diperalat perempuan, apalagi perempuan yang hanya mengincar uang papi,” kata Renaya.
“Lalu bagaimana hubunganmu dengan Mario?” tanya Arnold, “Kamu tahu kan siapa Mario? Usia kalian saja beda jauh sekali. Papi bukannya nggak setuju, tapi apa salahnya kamu mencari pasangan yang seusia dengan kamu.”
“Tapi aku nyaman dengan Daddy Mario,” jawab Renaya, “Bahkan, Daddy Mario berniat menikahi aku.”
"Renaya, Papi hanya ingin yang terbaik untuk kamu," kata Arnold setelah beberapa detik keheningan. "Papi nggak tahu banyak soal Mario, tapi kalau dia serius dengan kamu, Papi ingin tahu lebih banyak. Aku cuma khawatir kalau kamu terjebak dalam sesuatu yang nggak kamu pahami sepenuhnya. Apa kamu yakin dengan semua ini?"
Renaya menatap Papi dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, merasa sangat berat menjelaskan perasaannya. "Aku nggak pernah merasa lebih hidup dan dihargai seperti saat bersama Daddy Mario, Papi," jawabnya, suaranya bergetar sedikit. "Aku tahu usia kami beda jauh, tapi itu nggak masalah buat aku. Dia selalu ada buat aku, bahkan saat aku ragu-ragu, dia nggak pernah pergi. Aku merasa aman dengan dia, Papi."
“Semoga kamu nggak salah langkah, sayang,” kata Arnold. Pria itu tentu saja tidak bisa melarang putrinya berhubungan dengan Mario, bagaimanapun, Mario memiliki pengaruh besar dalam dunia bisnis, dia tidak mau bisnisnya hancur hanya karena dia tidak menyetujui hubungan Renaya dengan Mario.
Renaya akhirnya pamit pulang dan kembali ke apartemen, dia masuk ke apartemen bersamaan dengan Mario yang baru pulang dari kantor.
“Dari mana kamu?” tanya Mario penuh selidik
“Ketemu sama Papi,” jawab Renaya.
Mario seketika mendelik, segera dia dia menarik tangan Renaya untuk masuk ke dalam apartemen, dan menghempaskan tubuh Renaya di sofa, membuat perempuan itu terkejut dengan perlakuan kasar Mario.
“Daddy kenapa?” tanya Renaya
“Sudah Daddy bilang kan!? Jangan pernah temui keluargamu tanpa ijin Daddy atau tanpa Daddy temani!” bentak Mario.
jadi wajib baca dan masuk rak.