Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Gavin tiba-tiba menghampiri Dasha saat jam makan siang.
"Dasha" Gavin memulai dengan nada tenang "Nathan tidak berhenti membicarakanmu. Dia bilang ingin kamu datang ke rumah kami akhir pekan ini."
Dasha sedikit terkejut, tidak menyangka Gavin akan mengundangnya ke rumah. "Oh tapi Pak, saya tidak ingin merepotkan."
"Tidak merepotkan sama sekali. Selain itu saya pikir Nathan akan sangat kecewa jika kamu menolak," ujar Gavin dengan nada yang lebih santai dari biasanya.
Dasha akhirnya setuju, meskipun hatinya sedikit gugup. Apa yang harus ia harapkan dari kunjungan ini?
Ketika Dasha tiba di rumah Gavin pada Sabtu sore, ia disambut oleh Nathan yang langsung berlari ke arahnya dengan antusias.
"Kak Dasha datang!" Nathan memekik sambil memeluk kakinya.
Gavin muncul dari pintu, mengenakan pakaian santai yang jauh berbeda dari citra CEO formalnya di kantor. "Masuklah, Dasha. Nathan sudah menunggumu sejak pagi."
Dasha tersenyum dan melangkah masuk, merasa sedikit canggung tetapi juga hangat. Rumah Gavin ternyata tidak seformal yang ia bayangkan. Meski besar dan mewah, suasananya terasa nyaman dengan mainan Nathan tersebar di beberapa sudut.
"Kak Dasha, ayo main!" seru Nathan, menarik tangan Dasha menuju ruang bermainnya.
Sepanjang sore itu, Dasha menghabiskan waktu dengan Nathan. Mereka bermain puzzle, menggambar, dan bahkan mencoba membuat kue kecil di dapur dengan bantuan Gavin. Melihat Gavin dalam peran ayah yang penuh perhatian membuat Dasha semakin mengenalnya sebagai seseorang yang jauh lebih kompleks daripada hanya seorang atasan.
Di tengah-tengah aktivitas, Nathan tiba-tiba berkata, "Kak Dasha, kapan pindah ke sini?"
Dasha tertegun, sementara Gavin yang sedang menuang jus hampir tersedak mendengar pertanyaan itu.
"Nathan, tidak semua orang bisa pindah ke sini begitu saja," jawab Gavin sambil tersenyum, mencoba mengalihkan perhatian putranya.
"Tapi aku mau Kak Dasha di sini terus," rengek Nathan, wajahnya serius.
Dasha tertawa kecil untuk mengurangi kecanggungan. "Nathan, Kakak kan punya rumah sendiri. Tapi kalau kamu mau, Kakak bisa sering main ke sini."
Nathan tersenyum lebar, puas dengan jawaban itu.
Malam itu, setelah Nathan tertidur, Gavin mengantar Dasha ke pintu depan.
"Terima kasih sudah datang hari ini," ujar Gavin. "Nathan sangat senang dan saya juga."
Dasha menatap Gavin sejenak, merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. "Tidak masalah, Pak. Nathan anak yang menyenangkan. Saya senang bisa bermain dengannya."
Namun, sebelum Dasha melangkah pergi, Gavin tiba-tiba berkata, "Dasha panggil saya Gavin saja saat di luar kantor."
Dasha terdiam sejenak sebelum tersenyum. "Baik Gavin."
Perjalanan pulang malam itu terasa berbeda bagi Dasha. Hatinya penuh dengan kebahagiaan sederhana, tetapi juga keraguan. Ia tahu hubungan ini mulai berkembang ke arah yang lebih rumit, dan ia tidak yakin apakah ia siap untuk menghadapinya.
Namun, satu hal yang pasti Nathan telah membuka pintu yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan. Dan Gavin? Mungkin ia lebih dari sekadar atasan atau bahkan lebih dari sekadar seorang ayah yang penyayang.
.
.
.
.
.
Gavin Pov
Saat Dasha melangkah masuk ke ruang rapat pagi itu, Gavin merasakan sensasi yang sulit dijelaskan. Meski semalam dia sudah bertemu dengan Dasha namun sejak awal dia sudah mengenal Dasha namun sepertinya Dasha tidak mengingat siapa dia. Tentu saja, itu tidak mengejutkan. Mereka berbeda dunia sejak dulu.
Gavin teringat masa kuliah mereka bertahun-tahun lalu. Ia adalah mahasiswa tingkat akhir, seorang senior yang sibuk dengan tugas-tugas besar dan organisasi. Dasha? Seorang mahasiswi baru yang pemalu tetapi selalu tampak menonjol tanpa perlu berusaha.
Ia pertama kali memperhatikan Dasha di perpustakaan kampus, duduk di sudut dengan buku-buku bertumpuk di mejanya. Saat itu, Gavin sedang mencari bahan untuk tugas akhirnya, dan secara kebetulan, buku yang ia butuhkan ada di meja Dasha.
"Maaf, buku ini masih kamu pakai?" tanyanya dengan nada netral.
Dasha mendongak dengan tatapan bingung, wajahnya langsung memerah. "Oh, iya tapi sebentar lagi selesai. Maaf kalau mengganggu."
Gavin hanya tersenyum tipis. Ia tidak pernah peduli pada percakapan kecil seperti itu, tetapi entah kenapa, cara Dasha berbicara membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Sejak itu ia sering melihat Dasha. Di kelas di acara kampus, atau bahkan di kantin. Dasha bukan tipe yang menonjol di tengah keramaian, tetapi ada sesuatu tentangnya yang selalu berhasil menarik perhatian Gavin. Ketika ia tahu Dasha aktif dalam kegiatan sosial kampus, ia diam-diam kagum. Ia sering mendengar cerita dari teman-temannya tentang betapa tulusnya gadis itu membantu orang lain.
Tapi Gavin tahu batasannya. Mereka berbeda. Ia adalah kakak tingkat yang sebentar lagi lulus dan masuk ke dunia kerja. Sementara Dasha masih memiliki banyak tahun di kampus. Jadi perasaan itu ia simpan sendiri.
Setelah lulus, Gavin mencoba melupakan semuanya. Dunia kerja, tanggung jawab keluarga, dan akhirnya menjadi CEO membuatnya sibuk. Ia tidak pernah berpikir akan bertemu Dasha lagi hingga hari itu.
Ketika ia melihat namanya di daftar karyawan yang dipromosikan ke tim khususnya, Gavin tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Bagian dari dirinya ingin percaya bahwa ini kebetulan belaka, tetapi ada sisi lain yang merasa ini adalah kesempatan yang tak boleh ia sia-siakan.
Kini, melihat Dasha di depannya, Gavin merasa canggung. Ia telah menyukai gadis ini sejak lama, tetapi posisi mereka sekarang jauh lebih rumit. Ia adalah CEO perusahaan besar, sedangkan Dasha adalah bawahannya. Ia tidak bisa begitu saja membiarkan perasaan lamanya muncul ke permukaan.
Namun, hari demi hari, bekerja bersama Dasha membuat Gavin semakin sulit menahan diri. Senyum hangatnya, cara Dasha menghadapi tantangan dengan keberanian meski terlihat gugup, semua itu mengingatkannya pada gadis yang dulu ia kagumi.
Ada momen kecil di mana Gavin merasa tak mampu menjaga jarak. Seperti ketika ia melihat Dasha bermain dengan Nathan. Cara Dasha tertawa dan menghibur putranya membuat Gavin berpikir, "Bagaimana jika dia lebih dari sekadar karyawan?"
Tetapi ia tahu risiko yang harus dihadapinya. Jika ia membiarkan perasaan ini tumbuh, apa yang akan orang lain pikirkan? Apa yang akan Dasha pikirkan?
Gavin hanya bisa berharap bahwa waktu akan memberinya kesempatan untuk membuka hati dan akhirnya mengatakan sesuatu yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun
"Aku menyukaimu, Dasha. Dan mungkin, aku tidak pernah berhenti sejak dulu."